Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Subsidi energi akan melonjak menjadi Rp 650 triliun hingga akhir tahun.
Harga minyak di atas US$ 100 per barel menjadi masalah besar bagi Indonesia.
Pemerintah masih harus menutup selisih harga pasar BBM dengan subsidi dan kompensasi.
MESKI sudah menaikkan harga BBM atau bahan bakar minyak jenis Pertalite, Pertamax, dan solar, beban pemerintah tidaklah hilang, bahkan lebih berat. Subsidi energi akan melonjak menjadi Rp 650 triliun hingga akhir tahun. Jumlah ini jauh lebih besar ketimbang anggaran yang tersedia, Rp 502,4 triliun.
Kenaikan harga itu hanya “sedikit” mengurangi potensi beban pemerintah. Jika harga Pertalite dan solar tidak naik, subsidi energi bakal menggelembung menjadi Rp 698 triliun. Dus, kenaikan harga Pertalite dan solar hanya memangkas Rp 48 triliun saja. Perlu dicatat, kenaikan harga Pertamax tidak berdampak pada pengeluaran pemerintah. Tak ada subsidi ataupun kompensasi dari pemerintah untuk Pertamax.
Sayang sebetulnya, ketika Presiden Joko Widodo sudah berani mengambil risiko politik dengan menaikkan harga BBM, efeknya ternyata tidak optimal untuk mengurangi beban negara. Nilai subsidi energi yang tetap melonjak amat tajam itu pun kontradiktif dengan narasi pemerintah ketika menaikkan harga BBM: mengalihkan subsidi supaya lebih tepat sasaran. Lah, apa yang dialihkan jika ternyata subsidi BBM malah menyedot uang lebih besar?
Ada beberapa penyebab subsidi energi malah menggelembung. Pertama, kenaikan harga masih terlalu kecil. Harga Pertalite dan solar setelah naik masih jauh di bawah harga pokoknya. Jadi pemerintah masih harus menutup selisih itu dengan subsidi dan kompensasi.
Kedua, tingkat konsumsi BBM melonjak tak terbendung karena ekonomi menggelinding kencang setelah bebas dari belenggu pandemi. Pemerintah terpaksa menambah jatah volume solar dari 15 miliar liter menjadi 17,4 miliar liter. Untuk Pertalite, jatahnya melembung dari 23 miliar liter menjadi 29 miliar liter. Subsidi untuk solar dan kompensasi buat Pertalite jelas ikut membesar setara dengan penambahan jatah itu.
Ketiga, harga minyak dunia tidak kunjung turun. Harus selalu kita camkan, Indonesia sudah menjadi net importir minyak bumi dan produk-produk turunannya. Maka, jika harga minyak dunia naik, semestinya harga BBM di dalam negeri ikut naik. Jika harga tidak naik, selisihnya akan menjadi kerugian Pertamina atau menjadi beban subsidi dan kompensasi dari anggaran negara.
Saat ini kondisi pasar komoditas energi dunia, termasuk minyak bumi, makin genting. Invasi Rusia ke Ukraina sudah beralih rupa menjadi perang energi. Menjelang musim dingin, ketika kebutuhan energi meningkat pesat, penduduk Eropa harus mengatasi manuver Rusia mencekik pasokan energi sebagai balasan atas pelbagai sanksi ekonomi dari negara-negara Eropa.
Akibatnya, harga energi terus melonjak. Harga gas di Eropa mencapai rekor tertinggi. Inflasi terbang tinggi. Sampai-sampai kertas toilet pun mahal dan langka karena ongkos produksinya melonjak ratusan persen. Tentu saja harga minyak bumi ikut terkerek naik lantaran perang energi ini. Harga minyak setinggi US$ 100 atau lebih seolah-olah sudah menjadi patokan harga normal yang baru. Ini masalah besar bagi Indonesia yang bergantung pada minyak impor untuk menggelindingkan ekonomi.
Masalah itu akan terus bergulir hingga 2023. Solusi atas perang energi di Eropa belum terlihat, apalagi akhir ceritanya. Dus, harga minyak sangat mungkin akan tetap tinggi. Sedangkan jumlah konsumsi BBM di dalam negeri akan tumbuh lebih besar, sejalan dengan pulihnya ekonomi.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan penting. Seberapa kuat pemerintah mampu menanggung beban subsidi energi tahun depan? Dalam rancangan anggaran 2023 yang kini masih dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah mengusulkan subsidi energi “hanya” Rp 210 triliun. Jika tahun ini saja subsidi energi diperhitungkan akan menyedot Rp 650 triliun, bagaimana mungkin anggaran Rp 210 triliun bakal cukup untuk menopang harga Pertalite dan solar tahun depan?
Begitulah. Masalah sama sekali tak selesai dengan kenaikan harga BBM, Sabtu, 3 September lalu. Tahun depan, situasi malah bisa makin berat. Jika tak ingin anggaran terkuras subsidi, pemerintah harus kembali menaikkan harga BBM dengan cukup signifikan. Hanya dengan cara itu subsidi energi benar-benar dapat terkendali dan pemerintah terhindar dari bencana fiskal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo