Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI bawah bayang-bayang kekhawatiran akan kehilangan lahan kerja, para pemimpin asosiasi jasa kepelabuhanan mulai merapatkan barisan. Mereka menggelar sejumlah pertemuan untuk membahas langkah bisnis dan ekspansi yang gencar dilakukan PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. "Kami merasa terjadi perlakuan kurang adil dari Pelindo II," kata Irwan Ardi Hasman seusai rapat bersama asosiasi, Selasa pekan lalu.
Ketua Komite Tetap Pelaku dan Penyedia Jasa Logistik di Kamar Dagang dan Industri Indonesia itu mengatakan langkah Pelindo II selama tiga tahun terakhir cenderung mematikan bisnis jasa kepelabuhanan. Perkembangan paling anyar yang membuat mereka makin ketar-ketir adalah berdirinya lima anak usaha badan usaha milik negara itu pada 2012 dan rencana pendirian delapan anak usaha lainnya sepanjang tahun ini. "Ada kekhawatiran teman-teman pelaku usaha bahwa Pelindo ingin mengambil alih semua bisnis jasa kepelabuhanan," ujarnya. "Pelindo II seharusnya jadi regulator, bukannya jadi pesaing bisnis buat kami."
Bagi Bambang Rakhwardi, hilangnya rezeki di pelabuhan itu bahkan pelan-pelan sudah terjadi dalam tiga tahun ini. Ketua Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia itu mengungkapkan, dari 129 perusahaan bongkar-muat yang sebelumnya ada di Priok, kini tersisa 16 perusahaan. "Yang lain tutup atau menunggu order tumpahan di luar servis area," katanya.
Pengelola pelabuhan juga menetapkan aturan baru bagi perusahaan bongkar-muat. Mereka diwajibkan berinvestasi peralatan dan pembayaran aktivitas bongkar-muat melalui single billing (penagihan tunggal) ke Pelindo II. Hanya 60 persen dari penagihan yang dibayarkan ke perusahaan. "Kalau memang perusahaan yang harus investasi, mengapa pembayaran jasa dipotong?" Bambang memprotes.
Rencana kenaikan tarif terminal handling charge (THC) tahun ini juga jadi keluhan pengusaha. Menurut Akbar Djohan, Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Logistik dan Forwarding Indonesia, tarif THC di Tanjung Priok saat ini sudah kelewat tinggi. "Paling tinggi di ASEAN," ujarnya.
Tarif THC untuk kontainer 20 kaki di Indonesia mencapai US$ 95. Di Bangkok, ia membandingkan, tarif THC hanya US$ 60, sementara di Manila US$ 82. "Masak, di Priok mau dinaikkan 40 persen tahun ini? Seharusnya asosiasi seperti kami diajak berembuk. Kami ingin dialog dalam penentuan tarif ini," ucap Akbar. Kenaikan tarif THC, kata dia, selayaknya bisa dilakukan selama pelayanan meningkat.
Akbar merujuk pada data dwelling time (waktu kepengurusan surat untuk mengeluarkan barang) yang semakin lama. "Dua bulan lalu, dwelling time enam hari. Dua minggu lalu 7,2 hari," ujarnya. Itu belum termasuk tambahan biaya yang tak dihitung akibat keterlambatan pengiriman. "Berapa kerugian pabrik di Cikarang kalau raw material terlambat?" katanya.
Pelindo, menurut dia, seharusnya berfokus pada perbaikan pelayanan serta penambahan kapasitas dan alat, bukan pada ekspansi anak usaha dan kenaikan tarif THC, yang berdampak pada meningkatnya biaya logistik. "Bukankah Pelindo selalu bilang ingin efisiensi? Ingin menekan biaya logistik?"
Ringkas cerita, protes datang bertubi-tubi kepada Pelindo dalam beberapa pekan terakhir. Sejumlah asosiasi ini juga aktif melobi kanan-kiri untuk mendapat sokongan, termasuk ancaman untuk melayangkan protes resmi ke Menteri BUMN dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Diprotes dan dicecar, Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino mengaku tak gentar. Dia menunjukkan laporan keuangan Pelindo II kuartal pertama tahun ini. Perseroan mencatatkan laba bersih Rp 900 miliar, naik 76 persen dibandingkan dengan laba bersih kuartal pertama tahun lalu. Menurut dia, laba bersih merupakan hasil dari efisiensi yang ia lakukan selama tiga tahun terakhir. "Traffic angkutan hanya bertambah 10 persen, tapi laba naik 76 persen," ucapnya.
Lino, yang menjabat direktur utama pada pertengahan 2009, mengatakan jumlah perusahaan bongkar-muat di Priok sudah kelewat banyak. "Perusahaan bongkar-muat itu masalah di Indonesia. Sebagian besar tak punya aset, tapi kasih fasilitas dengan tarif mahal." Dia lantas menyeleksi 129 perusahaan bongkar-muat hingga menyisakan 76 perusahaan. Mereka yang lulus seleksi kemudian diminta mengikuti tender untuk aktivitas bongkar-muat, hingga akhirnya dimenangi 16 perusahaan.
Perusahaan yang menang pun dia wajibkan berinvestasi alat bongkar-muat, sementara modal Pelindo ialah dermaga. "Kalau kebanyakan perusahaan, enggak ada skala ekonominya," ujarnya. Potongan pembayaran 40 persen untuk aktivitas bongkar-muat yang diambil Pelindo, kata dia, merupakan pembagian revenue yang disepakati dengan perusahaan bongkar-muat. "Ini lahan Pelindo. Mereka cari rezeki di lahan kami, wajar dong kalau kami mengaturnya."
Lino mengklaim dampak pembatasan usaha bongkar-muat itu membuat konsumen lebih leluasa menyandarkan kapal dan membongkar muatan. "Bohong kalau mereka bilang waktu sandar kapal jadi lebih lama."
Dia mengaku paham dan maklum benar bila langkahnya dianggap membuat banyak pihak yang bertahun-tahun mengais rezeki di Priok menjadi tak suka. "Tapi, harap diingat, pelabuhan bukan lembaga sosial. Bukan tempat menampung orang-orang yang tak jelas pekerjaannya," ujarnya.
Lino membenarkan jika disebut telah mengirimkan surat kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut untuk menaikkan tarif THC, dua bulan lalu. Surat itu dikirim menyusul adanya kesepakatan antara PT Jakarta International Container Terminal, PT Terminal Petikemas Koja, PT Mustika Alam Lestari, dan Indonesia National Shipowners Association Jakarta. Intinya, mereka setuju menaikkan komponen tarif container handling charge dari US$ 83 menjadi US$ 93 untuk kontainer bermuatan 20 kaki. "Mana mungkin saya mengajukan kenaikan tarif tanpa kesepakatan para pemangku kepentingan?" ucapnya. Sedangkan soal dwelling time, kata dia, itu merupakan masalah yang seharusnya diatasi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. "Itu di luar otoritas saya."
Berdirinya sejumlah anak usaha, ujar Lino, juga bukan rencana baru. "Rencana pengembangan bisnis itu sudah seharusnya terjadi di Pelindo II. Tapi, karena kami BUMN yang mengoperasikan pelabuhan, pengembangan itu dilakukan anak usaha agar lebih leluasa," ucapnya.
Pihak swasta di arena yang sama, menurut dia, seharusnya tak perlu khawatir terhadap persaingan bisnis yang bakal terjadi. "Persaingan akan mendorong usaha jasa kepelabuhanan lebih efisien dan produktif. Pada akhirnya akan menguntungkan masyarakat. Kalau mereka memang efisien dan benar-benar kerja, mengapa mesti takut?"
Meski belum terang-terangan menyatakan dukungan kepada Pelindo, Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan mengatakan BUMN memiliki peluang untuk berkembang. "Bisa bergerak ke mana saja. Bisa di hulu ke hilir atau kanan-kiri," kata Dahlan, Kamis dua pekan lalu.
Lino juga bertekad tak akan berhenti. Mei mendatang, dia akan menerapkan aturan baru untuk less container load atau kontainer yang diisi lebih dari satu pemilik barang. Aturan itu akan memangkas komponen biaya warehousing Rp 650 ribu per meter kubik menjadi Rp 125 ribu per meter kubik dengan pembayaran single billing. Selama ini pemakaian kontainer satu meter kubik bisa sama ongkosnya dengan pemakaian penuh satu kontainer 20 kaki. Akibatnya, eksportir atau importir kerap harus membayar ke forwarder 20-30 persen lebih mahal dari tarif seharusnya.
Biaya tinggi itu yang hendak dikurangi oleh Pelindo II. "Hitungan kami, efisiensi bagi masyarakat bisa Rp 1 triliun lebih," ujar Lino. "Ini menekan biaya logistik bagi ekonomi kita. Tapi banyak yang marah karena kehilangan rezeki dari biaya mahal yang tak perlu itu. Kalau itu masalahnya, saya tak akan mundur."
Amandra Mustika Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo