Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga bawang putih terus meroket karena pasokan kurang dan impor terlambat.
Impor bawang putih tak terhindarkan karena berbagai persoalan.
Pemerintah masih mengejar target swasembada bawang putih.
BAGI para pedagang di pasar tradisional, kenaikan harga bawang putih sepanjang tahun ini adalah yang tertinggi. Tahun lalu, harga eceran rata-rata bawang putih di Jakarta berkisar Rp 23-28 ribu. Kini harga bumbu dapur itu sudah melampaui Rp 41 ribu per kilogram. “Itu belum pernah terjadi dalam lima tahun terakhir, belum pernah harganya Rp 41 ribu di pasar,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia, Abdullah Mansuri, pada Jumat, 27 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional Bank Indonesia menunjukkan harga rata-rata bawang putih di pasar modern sempat mencapai Rp 49 ribu per kilogram pada pertengahan Oktober lalu. Pekan ini, harganya mulai turun menjadi Rp 38 ribu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies, Hasran, mengatakan kenaikan harga bawang putih terjadi lantaran jumlah konsumsi yang melejit tak sebanding dengan pasokan, baik produksi dalam negeri maupun impor. Penyebab lain adalah naiknya harga bawang putih di pasar global serta impor yang terlambat.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan kenaikan angka konsumsi bawang putih mencapai 1,38 persen per tahun. Sebaliknya, jumlah produksi bawang putih menurut data Badan Pusat Statistik turun dari 45 ribu ton pada 2021 menjadi 30.582 ton tahun lalu. Angka produksi jauh di bawah periode 2020-2021 yang mencapai 80 ribu ton.
Padahal Outlook Komoditas Bawang Putih 2020 yang dirilis Kementerian Pertanian menyatakan target produksi pada 2020 mencapai 105.289 ton. Pada 2024, jumlah produksi bawang putih bisa meningkat sampai 115.325 ton atau 2,3 persen per tahun.
Kondisi ini yang menempatkan Indonesia sebagai importir bawang putih terbesar di dunia. Data TrendEconomy menunjukkan angka impor bawang putih Indonesia pada 2021 mencapai 22 persen dari total impor global. Posisi berikutnya ditempati Amerika Serikat dengan porsi impor 8,72 persen dan Brasil 6,12 persen. Pada Januari-Juli lalu, jumlah impor bawang putih Indonesia mencapai 244.420 ton dengan nilai US$ 262,92 juta.
Pasokan bawang putih Indonesia hampir sepenuhnya diperoleh dari Cina. Data Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan menyebutkan 99,6 persen bawang putih Indonesia berasal dari Cina dan sisanya dari India, Mesir, dan negara lain. Bawang impor diserap paling banyak oleh industri, restoran, dan rumah tangga.
Kondisi saat ini berbeda dengan pada 1994-1995, saat Indonesia bisa memproduksi bawang putih besar-besaran. Ketika itu, menurut pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, Indonesia bisa memproduksi 152 ribu ton bawang putih dengan luas tanam 21 ribu hektare. Kehancuran petani bawang putih, menurut dia, bermula pada 1997-1998, ketika Indonesia menjadi "pasien" Dana Moneter Internasional (IMF). IMF mempersyaratkan liberalisasi pasar pangan bagi Indonesia jika hendak mendapatkan pinjaman. “Tak ada lagi perlindungan, petani bawang putih selalu merugi,” ujarnya.
Pada 2017, Kementerian Pertanian mencanangkan peta jalan pengembangan bawang putih 2016-2045 yang lantas dipercepat menjadi 2016-2019 dengan target bisa menghasilkan 603 ribu ton dengan luas tanam 72.249 hektare. Jika target ini tercapai, impor bawang putih bakal nihil.
Menurut Khudori, ada tiga kendala upaya swasembada bawang putih. Yang pertama adalah kurangnya ketersediaan bibit lokal yang unggul dan memadai. Sejauh ini, ada bibit lokal seperti Lumbu Putih, Geol, Lumbu Kuning, dan Lumbu Hijau, tapi stoknya terbatas dan harganya mahal.
Kendala kedua adalah tak banyak lahan yang cocok ditanami bawang putih. Di atas kertas, ada potensi lahan 600 ribu hektare, tapi penanaman tak bisa direalisasi. Kendala lain adalah tidak ada insentif ekonomi yang menarik bagi petani untuk menanam bawang putih. “Karena setiap saat harga bawang putih bisa turun ketika bawang impor supermurah dari Cina masuk,” tutur Khudori.
Ketua Umum Perkumpulan Pelaku Usaha Bawang Putih dan Sayuran Umbi Indonesia Antonius Reinhard Batubara mengatakan kebutuhan bawang putih dalam negeri mencapai 600 ribu ton per tahun. Sedangkan jumlah produksi dalam negeri hanya 18 ribu ton, yang sebagian di antaranya dijadikan bibit. Biaya produksi bawang putih pun lebih mahal daripada ongkos impornya. “Petani tidak bisa berjualan karena modal untuk menanam 1 kilogram bawang putih Rp 40 ribu, sedangkan impor hanya Rp 30 ribu,” ucapnya pada Rabu, 25 Oktober lalu.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso mengatakan tahun ini pemerintah menetapkan sejumlah prognosis mengenai bawang putih. Rinciannya, stok awal 102.364 ton, perkiraan produksi 21.663 ton, dan rencana impor 561.926 ton. Data itu, menurut Budi, disampaikan dalam rapat koordinasi terbatas Kementerian Koordinator Perekonomian pada 25 Januari 2023.
Ihwal impor, Budi mengaku sudah menerima permohonan persetujuan impor bawang putih sebanyak 1,14 juta ton. Angka ini hampir dua kali lipat kuota impor yang tercatat dalam rapat koordinasi 25 Januari. Karena itu, Kementerian Perdagangan hanya menerbitkan persetujuan impor 524.224 ton. "Sebesar 93,29 persen dari total rencana impor bawang putih,” ujarnya pada Sabtu, 28 Oktober lalu.
Budi mengatakan, meski ketergantungan pada impor sangat tinggi, impor bawang putih perlu dikendalikan. Apalagi kenaikan harga menjadikan bawang putih komoditas penyumbang inflasi yang cukup penting. “Pada 2024 akan diatur sepenuhnya melalui neraca komoditas yang dikoordinasikan Kementerian Koordinator Perekonomian,” ucapnya.
Namun pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, mengatakan penetapan kuota impor mudah dipermainkan oleh pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan. Menurut dia, pemerintah membuat aturan kuota serta wajib tanam untuk importir karena masih berupaya mengejar swasembada bawang putih, yang sebenarnya sulit tercapai. “Serahkan saja ke mekanisme pasar. Pemerintah tinggal mengawasi realisasi impor untuk memastikan pasokan tersedia agar harga tidak bergejolak.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Target Berat Nihil Impor"