Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ombudsman RI menerima laporan importir bawang putih tentang permainan izin impor.
Izin impor hanya dikuasai segelintir pengusaha.
Laporan Ombudsman menyebutkan ada biaya untuk penerbitan izin impor bawang putih.
HARGA bawang putih ibarat roket yang terus melesat ke langit. Sejak April lalu, harga komoditas hortikultura itu mencapai Rp 31.830 per kilogram, naik 4 persen dibanding pada bulan yang sama 2022. Dari bulan ke bulan, harganya tak kunjung turun. Menjelang akhir Oktober 2023, harga bawang putih mencapai Rp 36.550 per kilogram, melambung 44 persen dibanding pada bulan yang sama tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lesunya kurs rupiah dibanding dolar Amerika Serikat menjadi salah satu penyebab meroketnya harga bawang. Harus diakui, nilai dolar Amerika berpengaruh karena hampir 80 persen bahan penyedap masakan ini memang mesti diimpor dari berbagai negara. Salah satunya Cina. Tapi anggota Ombudsman Republik Indonesia, Yeka Hendra Fatika, mengendus dugaan lain, yaitu praktik oligopoli atau penguasaan pasokan oleh segelintir orang. "Ada beberapa importir yang menguasai sebagian besar pasokan bawang putih,” kata Yeka kepada Tempo pada Kamis, 26 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yeka menyimpulkan hal itu setelah Ombudsman memeriksa laporan para importir yang tak kebagian jatah impor. Ombudsman merilis laporan akhir hasil pemeriksaan tentang importasi bawang putih pada Selasa, 17 Oktober lalu. Berdasarkan penelusuran Ombudsman, harga bawang putih di distributor besar pada April 2022 hanya Rp 12.500 per kilogram. Dengan harga itu, importir mendapat margin Rp 667 per kilogram. Pada September lalu, harga di tingkat distributor besar melesat menjadi Rp 25 ribu per kilogram. Walhasil, importir menikmati margin Rp 5.000 per kilogram.
Aktivitas bongkar muat bawang putih di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, 19 Oktober 2023. Tempo/Tony Hartawan
Dugaan oligopoli impor bawang putih terdengar sejak awal tahun ini. Pada Mei lalu, anggota Perkumpulan Pengusaha Bawang dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo), Jaya Sartika, menuding Kementerian Perdagangan hanya menerbitkan surat persetujuan impor (SPI) bawang putih kepada kelompok importir tertentu. Sebagian besar importir yang tergabung dalam Pusbarindo tak kebagian jatah tahun ini.
Anggota Pusbarindo sempat akan melaporkan kisruh impor bawang tahun ini kepada Ombudsman, tapi mereka mengurungkan niat tersebut. Malah, pada akhir Juli lalu, sejumlah perusahaan yang tidak tergabung dalam Pusbarindo mendatangi Ombudsman.
Kepada Ombudsman, para pelapor ini mengaku sudah mengadu ke mana-mana. Mereka adalah importir lama yang kali ini tak kunjung mendapatkan SPI dari Kementerian Perdagangan kendati sudah mengantongi Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian. Calon importir memang harus mengantongi RIPH untuk memperoleh SPI. Untuk mendapatkan RIPH, para importir wajib menanam dan memanen bawang putih sebanyak 5 persen dari permohonan kuota impor yang mereka ajukan.
Bawang putih impor asal Cina di salah satu agen di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Mei 2023. Tempo/Tony Hartawan
Data Sistem Nasional Neraca Komoditas menyebutkan, hingga pertengahan Oktober lalu, ada 230 perusahaan yang mengantongi RIPH bawang putih dari Kementerian Pertanian dengan volume 1,2 juta ton. Namun hanya 102 perusahaan atau 44 persen dari pemegang RIPH yang mendapatkan SPI dari Kementerian Perdagangan dengan kuota impor 518.224 ton. Dari jumlah kuota yang ditetapkan, sudah ada 374 ribu ton bawang putih yang masuk dari Cina.
Kepada Tempo, seorang importir mengatakan, dari 102 perusahaan yang telah mendapatkan SPI, sebagian besar mengerucut ke tiga pengusaha. Perusahaan yang masuk kelompok pengusaha itu selalu mendapat kuota penuh atau sesuai dengan yang mereka minta. Mereka adalah Tjie Kok Soetrisno alias Akok, Bang Bang Santoso alias Inbang, dan Lim Hidayat alias Akam.
Importir lain mengatakan tiga pengusaha itu menggunakan banyak perusahaan agar beroleh kuota impor berlimpah. Selain memakai perusahaan sendiri, mereka meminjam perusahaan orang lain. “Ini perusahaan saya dipinjam teman buat mendapatkan kuota impor dari mereka,” tutur sumber Tempo.
Di atas kertas, nama Akok tercatat berada di dua perusahaan yang mendapatkan SPI bawang putih, yaitu PT Kolin Makmur Jaya dan PT Seluas Lautan Indonesia. Dua perusahaan itu memperoleh kuota impor 11.977 ton. Seluas Lautan dan Kolin Makmur mendapatkan SPI pada 28 Maret dan 31 Maret lalu. Ketika dimintai tanggapan, Akok mengakui dua perusahaan tersebut miliknya. Namun dia membantah tuduhan meminjam perusahaan lain agar mendapatkan kuota lebih banyak. “Semua kuota diberikan sesuai dengan kapasitas pendingin. Itu salah satu persyaratannya,” ujar Akok kepada Tempo pada Kamis, 26 Oktober lalu.
Adapun nama Lim Hidayat hanya tercatat di satu perusahaan penerima kuota impor, yaitu PT Setia Maju Sejahtera Abadi. Perusahaan ini kebagian 4.872 ton dengan realisasi impor 2.030 ton atau 41,66 persen sampai pertengahan Oktober lalu. Saat dimintai tanggapan, Lim alias Akam tidak menjawab. Adapun Inbang mengantongi jatah paling besar di antara ketiganya, yaitu 16.327 ton untuk tiga perusahaan: PT Haniori, PT Haniori Maju Bersama, dan PT Bawang Putri Nusantara.
Inbang mengakui tiga perusahaan tersebut miliknya. Namun dia membantah jika disebut meminjam perusahaan orang lain untuk mendapatkan kuota lebih besar. “Hanya itu,” katanya ketika ditemui di kawasan Kota, Jakarta, pada Jumat, 27 Oktober lalu. Inbang menyebut orang yang mengatakan dia meminjam perusahaan lain sebagai pihak yang iri hati. Dia mengaku tahun ini sedang beruntung, mengingat pada 2020 permohonan kuota impor yang ia ajukan dipangkas dan pada 2021 tidak memperoleh kuota sama sekali. “Saya tak mengeluh, tahun kemarin enggak kerja, sekarang kerja,” ujarnya.
Inbang dan Akok membantah kabar bahwa mereka tahun ini meraup margin hingga Rp 5.000-6.000 per kilogram, seperti yang diadukan ke Ombudsman. “Itu sangat tidak mungkin,” ucap Akok. Menurut Inbang, saat ini harga jual bawang putih dari importir kepada distributor Rp 23 ribu per kilogram. Dia mengaku pernah mendapat margin sampai Rp 5.000 per kilogram, tapi tidak terus-menerus. “Kalau mau lihat margin dibuat rata-rata, sekarang jual Rp 23 ribu per kilogram kepada distributor saja susah,” tutur Inbang, yang mengaku masih punya stok 1.000 ton bawang putih di gudang pendinginnya.
•••
PENGUASAAN kuota impor bawang putih oleh segelintir perusahaan bukan pertama kali ini terjadi. Investigasi majalah Tempo pada 2020 menemukan sejumlah perusahaan menguasai kuota impor meski tak memenuhi syarat wajib tanam untuk mendapatkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura. Selain itu, ada dugaan pengusaha harus membayar pungutan dalam jumlah tertentu untuk mengantongi kuota impor.
Masalah serupa muncul dalam laporan akhir hasil pemeriksaan Ombudsman. Tapi kali ini kuota impor yang dipegang satu importir tak sebesar pada tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada importir yang menguasai kuota impor lebih dari 7.000 ton. Berbeda dengan pada 2018, saat perusahaan seperti PT Maju Makmur Jaya Kurnia, PT Sapta Agro Mandiri, dan PT Sedap Agro Makmur bisa meraih kuota impor di atas 10 ribu ton.
Kepada Tempo, dua importir bawang putih mengungkapkan bahwa modus bagi-bagi kuota impor tahun ini berubah. Menurut mereka, kuota dipotong kecil-kecil. Namun muncul banyak perusahaan baru yang dipasang untuk mengepul kuota dan mengakali syarat wajib tanam bawang putih guna mendapatkan RIPH. Dua sumber tersebut mengatakan pengusaha "Kelompok VVIP" akan mendapatkan kuota impor penuh, sesuai dengan RIPH yang mereka peroleh dari Kementerian Pertanian.
Di pihak lain, banyak perusahaan yang memperoleh izin impor tapi tak sesuai dengan kuota yang mereka mohon. Salah satunya PT Adib Global Food Supplies milik Budi Mulyono, eksportir makanan halal. Adib Global mendapatkan RIPH sebanyak 6.000 ton dari Kementerian Pertanian. Namun Kementerian Perdagangan menerbitkan surat persetujuan impor untuk 1.800 ton saja. “Baru sekali ikut minta kuota sudah tertatih-tatih,” ujar Budi pada Selasa, 24 Oktober lalu.
Kementerian Perdagangan memang punya wewenang memotong permohonan kuota impor sesuai dengan neraca komoditas yang disusun dalam rapat lintas kementerian. Pemberian kuota kepada importir juga disesuaikan dengan kapasitas gudang pendingin mereka. Dua alasan ini yang membuat Kementerian Perdagangan punya hak penuh mencoret permohonan kuota perusahaan.
Dalam rapat koordinasi terbatas tingkat menteri pada Januari lalu, stok awal tahun bawang putih sebanyak 102 ribu ton. Namun pemerintah memutuskan impor 561 ribu ton untuk memenuhi kebutuhan yang bertambah. Angka ini separuh dari RIPH yang dikeluarkan Kementerian Pertanian.
Perusahaan lain yang terkena "pemotongan kuota" adalah PT Tajie Pratama Indonesia milik Miming Juanita Tjugiarto. Mendapatkan RIPH sebanyak 6.960 ton, SPI untuk Tajie Pratama hanya mencantumkan izin impor 4.900 ton pada Juni 2023. Pada tahun-tahun sebelumnya, perusahaan ini masuk kategori A. Pada 2018, misalnya, Tajie Pratama kebagian kuota 21 ribu ton. Miming belum memberikan jawaban ketika ditanyai tentang hal ini.
Ada masalah selain pemotongan kuota yang dihadapi importir bawang putih. Hasil pemeriksaan administrasi Ombudsman mengungkap, hingga 15 September 2023, sudah ada 106 perusahaan yang telah terverifikasi dengan status dokumen lengkap dan layak mendapatkan SPI, entah penuh entah dipotong. Namun SPI mereka tak kunjung terbit.
Seorang pelapor di Ombudsman mengaku telah mengajukan permohonan pada Februari lalu, tapi hingga September izin tak keluar. Padahal ada pemohon yang mengajukan permohonan izin pada 13 Juli lalu dan langsung tuntas dalam dua pekan atau pada 27 Juli. Penerbitan izin, menurut pelapor tersebut, rupanya menunggu persetujuan Menteri Perdagangan. Keterangan serupa muncul dari Direktur Impor Kementerian Perdagangan Arif Sulistyo ketika dimintai keterangan oleh Ombudsman.
Ombudsman pun memberi marka pada keterangan yang menyebutkan izin impor harus diterbitkan berdasarkan persetujuan menteri. Sebab, ketentuan itu berpunggungan dengan Pasal 8 ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Pasal itu menyatakan Kementerian harus menerbitkan izin berusaha di bidang impor dalam lima hari kerja apabila semua persyaratan telah dipenuhi. Jika dalam lima hari kerja belum terbit, izin akan keluar otomatis melalui sistem informasi perdagangan atau Inatrade yang diteruskan ke Sistem Indonesia National Single Window yang menjadi portal pengolahan data terintegrasi untuk pengurusan ekspor atau impor.
Klausul "persetujuan akhir menteri" rupanya muncul setelah terbit Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kebijakan dan Pengaturan Impor Bawang Putih. Ketika diperiksa Ombudsman, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso mengatakan, sebelum mengeluarkan persetujuan impor, dia harus melapor kepada Menteri Perdagangan lewat nota dinas.
Persetujuan impor baru akan terbit setelah mendapat restu Menteri. “Mekanisme laporan kepada Menteri Perdagangan dalam bentuk Nota Dinas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri untuk mendapatkan persetujuan terbitnya SPI tersebut tidak dikenal dan tidak diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25/2022,” demikian petikan laporan Ombudsman.
Menurut anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, Direktur Jenderal selaku pejabat teknis malah mengembalikan wewenang menerbitkan SPI kepada Menteri. Menurut dia, tindakan tersebut tak ubahnya menambahkan prosedur baru yang bertentangan dengan upaya perampingan birokrasi. “Kesalahannya itu, dia menambahkan prosedur baru,” ucap Yeka kepada Tempo.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (tengah) meninjau harga bahan pokok di Pasar Sederhana, Bandung, September 2023. Antara/Raisan Al Farisi
Saat melapor kepada Ombudsman, sejumlah importir menuding macetnya penerbitan izin impor itu disebabkan oleh permainan di Kementerian Perdagangan, salah satunya oleh pejabat berinisial SA. Importir bawang putih mengatakan SA adalah Slamet Nur Achmad Effendy, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional yang menjadi staf khusus Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. .
Kepada Ombudsman, importir tersebut mengaku pernah ditawari seseorang yang mengaku dapat melancarkan penerbitan SPI bawang putih dengan biaya Rp 4.500-5.000 per kilogram. Dua importir lain mengatakan, agar bisa mendapatkan kuota impor bawang putih, pengusaha mesti berkomitmen membayar langsung Rp 3.000 per kilogram. Jika lewat makelar, biayanya bisa sampai Rp 5.000-6.000 per kilogram.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan tak menjawab pertanyaan tentang dugaan permainan izin impor bawang putih di Kementerian Perdagangan ketika ditemui setelah menghadiri konferensi pers pemusnahan pakaian bekas ilegal di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pada Kamis, 26 Oktober lalu. Begitu juga Slamet. Seseorang yang dekat dengan Slamet dan Zulkifli memastikan keduanya sudah menerima permohonan klarifikasi Tempo. Namun hingga Sabtu, 28 Oktober lalu, tak ada jawaban.
Jawaban tertulis datang dari Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso pada Sabtu, 28 Oktober lalu. Menurut Budi, Ombudsman telah menyampaikan tindakan korektif agar Kementerian Perdagangan segera menerbitkan persetujuan impor bawang putih dan mencabut Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Nomor 31 Tahun 2023 paling lambat 30 hari kerja sejak laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) terbit pada 17 Oktober lalu. “Kementerian Perdagangan mengapresiasi dan mendukung hasil LAHP tersebut. Saat ini sedang dalam proses penyelesaian sesuai dengan tenggat yang telah ditetapkan.”
Kementerian Perdagangan sudah menerbitkan izin impor bawang putih 524.224 ton atau 93,29 persen dari total rencana. Masih ada izin impor untuk 37 ribu ton bawang putih yang belum terbit dan akan dikejar sampai akhir November mendatang. Bawang impor ini yang diharapkan bisa menekan harga menjelang akhir tahun.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Riani S. Putri berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Main-main Izin Impor Bawang Putih"