Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Menunggu Startup Naik Kelas

Pasar pendanaan startup teknologi diprediksi makin besar. Kontribusi terhadap lingkungan dan sosial menjadi tantangan terbesar.

19 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • East Ventures bergabung dengan gerakan Prinsip PBB untuk Investasi yang Bertanggung Jawab.

  • Gelembung ekonomi digital berhadapan dengan dua tantangan baru.

  • Tekanan meningkat bagi pemodal ventura untuk menaruh perhatian pada prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola.

SETELAH East Ventures meneken Prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Investasi yang Bertanggung Jawab (UN PRI), Willson Cuaca paham ada konsekuensi besar bagi perusahaan modal ventura pendanaan startup yang ia dirikan 13 tahun lalu tersebut. East Ventures kudu memenuhi komitmen mempraktikkan dan mengembangkan sistem keuangan berkelanjutan. “Bisa jadi profit berkurang, ini yang kami sebut double bottom line,” kata Willson Cuaca, salah satu pendiri dan Managing Partner East Ventures, Kamis, 17 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digalang sejak 2006 dengan dukungan PBB, UN PRI menjadi jaringan global untuk mendorong investasi berkelanjutan. Anggotanya—meliputi ribuan pemilik dan pengelola aset, manajer investasi, dan penyedia jasa keuangan lain di seluruh dunia—wajib mempertimbangkan isu lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) dalam analisis investasi dan pengambilan keputusan. Mereka juga harus mendorong penerapan prinsip tersebut di entitas yang menjadi tempat berinvestasi. Setiap aktivitas dan perkembangan penerapan prinsip-prinsip tersebut kudu dilaporkan secara berkala kepada UN PRI dan publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

East Ventures menandatangani perjanjian pada Kamis, 10 Maret lalu. Penandatanganan itu menjadikannya perusahaan venture capital pertama asal Indonesia yang bergabung dengan UN PRI. Walhasil, mulai saat itu pengukuran profitabilitas dalam rencana investasi East Ventures tak boleh sekadar memperhitungkan duit yang akan diraup, tapi juga harus mempertimbangkan berbagai dampaknya terhadap lingkungan dan sosial. Inilah yang dimaksud Willson sebagai double bottom line.

Juragan Warung Pintar, Junaidi di kios Warung Pintar miliknya di Jakarta, 19 Desember 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis

Willson tak risau akan besarnya tanggung jawab tersebut. Toh, selama ini, menurut dia, East Ventures telah menerapkan standar serupa. “Namun selama ini tidak pernah diukur dengan tepat,” ucapnya. Dia menilai UN PRI memberikan kerangka yang lebih jelas untuk menerapkan prinsip-prinsip LST.

Dia mencontohkan Warung Pintar, portofolio East Ventures yang berdiri sejak 2017 untuk mengembangkan jaringan bisnis retail berbasis teknologi digital. Warung Pintar menyulap kios-kios tradisional, membekali jaringannya dengan aplikasi yang menyediakan solusi untuk mengakses jaringan distribusi barang konsumen sampai pembukuan keuangan.

Proyek ini juga dinilai bisa menjadi solusi yang efektif untuk misi kesetaraan gender. Sebanyak 60 persen pengelola kios jaringan Warung Pintar, yang kini diklaim telah menjangkau lebih dari 200 kota dan kabupaten di Indonesia, adalah perempuan.  

Bagi Willson, ekonomi digital yang terus menggelembung semestinya juga naik kelas. “Perlu berkomitmen mendukung investasi yang bertanggung jawab di dunia,” ujarnya.

Selama masa pandemi Covid-19, industri ekonomi digital tak sekadar selamat, tapi justru bertumbuh makin besar. Laporan terbaru “e-Conomy SEA 2021” yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company memperkirakan omzet ekonomi berbasis Internet di Asia Tenggara sepanjang tahun lalu mencapai US$ 174 miliar atau senilai Rp 2.488 triliun, naik 49 persen dibanding capaian 2020.

Hampir separuh kue ekonomi digital di Asia Tenggara itu disumbang oleh Indonesia, yang nilainya diperkirakan menembus US$ 70 miliar. Jika dibandingkan dengan omzet 2019, sebelum masa pandemi, angka itu melonjak 75 persen. Riset yang sama memperkirakan total transaksi ekonomi berbasis Internet di Indonesia pada 2025 mencapai US$ 146 miliar atau kini setara dengan Rp 2.088 triliun, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya yang hanya sekitar US$ 124 miliar.

Perusahaan rintisan (startup) digital juga kebanjiran pendanaan baru sepanjang tahun lalu. Laporan DealStreetAsia bertajuk “SE Asia Deal Review: Q4 2021” mencatat lebih dari 200 startup Indonesia meraup pendanaan senilai US$ 9,4 miliar atau sekitar Rp 134,4 triliun sepanjang 2021. Capaian ini lebih tinggi hampir tiga kali lipat dibanding pada 2020, yang hanya US$ 3,42 miliar.

Kendati diprediksi terus menggelembung, industri ekonomi digital juga tengah ditunggu sejumlah tantangan baru. Pengetatan kebijakan moneter bank-bank sentral utama dunia untuk mengatasi lonjakan inflasi, terutama yang dilakukan The Federal Reserve, dikhawatirkan berujung pada mengeringnya likuiditas global.

Sejauh ini, pemodal ventura agaknya tetap optimistis di tengah meningkatnya risiko tersebut. Justin Hall, mitra Golden Gate Ventures asal Singapura, mengatakan perlambatan mungkin terjadi terutama karena investor akan menunggu dan melihat dampak kenaikan suku bunga di Amerika Serikat dan Eropa terhadap alokasi modal. "Tapi penggalangan dana tidak akan berhenti," tutur Hall seperti dikutip DealStreetAsia ketika merilis laporan "SE Asia Deal Review: Q4 2021" pada 20 Januari 2022.

Co-founder East Ventures Willson Cuaca. east.vc

Yingland Tan, pendiri dan Managing Partner Insignia Ventures, berpendapat serupa. “Mengingat dana baru terus dikumpulkan, dan makin banyak dana asing yang makin tertarik di Asia Tenggara, kecil kemungkinan pendanaan akan mengering secara signifikan,” kata Tan.

Adapun Jessica Huang Pouleur, partner di Openspace Ventures, memperkirakan startup yang berkualitas terus mendapatkan pendanaan kuat pada tahun ini. Dia juga memprediksi fase pertumbuhan lebih menonjol di pasar seperti Filipina dan Thailand.

Mendefinisikan kualitas startup menjadi pekerjaan rumah selanjutnya yang harus dijawab. Pelaku usaha di sektor ini dituntut tak hanya mengeruk keuntungan di tengah booming ekonomi digital, tapi juga berkontribusi terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola. Tuntutan juga datang dari investor internasional yang makin menaruh perhatian pada pembangunan berkelanjutan.

Tahun lalu, Maret 2021, Aviva Investors dan Aberdeen Standard Investments menarik diri dalam penawaran umum perdana (IPO) saham Deliveroo. Perusahaan pengiriman makanan asal Inggris ini dipersoalkan investornya karena mempekerjakan pengemudi sebagai wiraswasta serta mengabaikan hak atas upah minimum, tunjangan kesehatan, dan libur. Prospektus IPO Deliveroo setebal 224 halaman juga dipersoalkan karena sama sekali tak menyebutkan kata “lingkungan”, “sosial”, dan “tata kelola”.

Tekanan kepada para pemodal ventura meningkat tiga bulan kemudian. Pada Juni 2021, Amnesty International merilis kajian mereka yang mendapati delapan dari sepuluh perusahaan modal ventura terbesar dunia tak mengecek investasi mereka yang berpotensi melanggar hak asasi manusia.

Seperti East Ventures, perusahaan modal ventura Openspace Ventures yang berbasis di Singapura mengadopsi UN PRI. Mereka melihat adanya masalah besar yang harus dipecahkan di Asia Tenggara. Roda ekonomi di wilayah ini berputar kencang. Namun kawasan yang menampung 10 persen populasi dunia ini juga punya banyak persoalan di berbagai sektor, dari kesehatan, pendidikan, hingga inklusi keuangan.

Asia Tenggara, menurut Head of Environment, Social, Governance and Impact Openspace Ventures Jaclyn Seow, juga rentan terhadap perubahan iklim karena ketergantungannya pada pertanian, sumber daya alam, dan kehutanan. Semua masalah tersebut, ujar dia, sekaligus menjadi peluang. “Tentu saja kami melihatnya dalam hal pengembalian kepada investor, tapi dalam arti sama dengan pengembalian kepada masyarakat, beserta penggerak regulasi dan ekonomi lain,” kata Seow ketika merilis laporan berkelanjutan perusahaan pada Juni 2021, bersamaan dengan bergabungnya Openspace Ventures dengan UN PRI.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Nailul Huda, memproyeksikan pasar pendanaan untuk startup teknologi di Indonesia terus tumbuh pada tahun-tahun mendatang. Namun investor akan lebih membidik startup yang bergerak ke fungsi-fungsi sosial. Perusahaan rintisan dengan jaringan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga akan menjadi sasaran pemilik modal. “Pasarnya besar dan mengikuti bagaimana pemerintah Indonesia yang sedang menggenjot UMKM. Investor pasti ingin ikut berperan,” tutur Huda.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus