Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebulan belakangan ini para pedagang di Blok A Pasar Tanah Abang merasakan udara di pusat perkulakan tekstil terbesar di Asia Tenggara itu amat gerah. Mesin penyejuk udara seperti tak berfungsi. "AC bahkan sudah tak dinyalakan lagi sekitar pukul 16.00," ujar Andi, pedagang baju muslim di lantai semi-lower ground, yang ditemui pada Selasa pekan lalu. Padahal, kata pria asal Sumatera Barat ini, dulu pengelola baru mematikan AC setelah semua pedagang selesai membereskan tokonya menjelang malam.
Keluhan serupa disampaikan Lina (bukan nama sebenarnya), pedagang jilbab di lantai yang sama. "Panas banget," ujarnya. Bukan hanya soal AC yang tak lagi terasa sejuknya, Lina mengaku beberapa pelayanan yang sebelumnya mereka terima satu per satu hilang. Pintu gulung di kios yang semula selalu dibersihkan sudah lama dibiarkan tak dilap oleh petugas.
Dengan harga sewa kios 1,5 x 1,5 meter Rp 190 juta setahun, Lina menganggap kualitas pelayanan yang ia terima mulai berkurang. Hal itu seiring dengan mengerasnya perseteruan antara pengelola dan PD Pasar Jaya bersama pemerintah DKI Jakarta sebagai pemilik pasar.
Sengketa itulah yang diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Selasa pekan lalu. Majelis hakim yang diketuai J. Soeharjono mengabulkan sebagian gugatan PT Priamanaya Djan International (PT PDI). Pengadilan menyatakan perusahaan milik Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz itu tetap sah sebagai pengelola Pasar Blok A Tanah Abang hingga penjualan kios mencapai 95 persen.
Majelis hakim juga mengabulkan sebagian rekonpensi atau gugatan balik yang dilakukan PD Pasar Jaya terhadap PT PDI, yang dianggap mencederai perjanjian. "Tergugat (PT PDI) melakukan pelanggaran terhadap tata ruang bangunan dan tidak membayar service charge 5 persen untuk kios yang belum terjual sebesar Rp 8.201.838.590," kata Soeharjono. "Untuk itu, menghukum Priamanaya untuk membayar pelanggaran tersebut Rp 8,2 miliar."
Priamanaya mendapat hak membangun kembali pasar yang pernah terbakar pada 2003 itu berdasarkan Perjanjian Kerja Sama Nomor 1 Tahun 2003. Pokok perjanjian itu: Pasar Jaya menyiapkan lahan kosong seluas 8.900 meter persegi, sedangkan Priamanaya menyediakan pendanaan sekitar Rp 800 miliar.
Perkongsian buyar dan berlanjut dengan gugatan yang dilayangkan Priamanaya terhadap Pasar Jaya pada 12 Juli 2012. Pasar Jaya dinilai wanprestasi karena menyetop kontrak sepihak, sebelum penjualan kios mencapai 95 persen selama jangka waktu 20 tahun. Sebaliknya, Pasar Jaya berkukuh tidak akan memperpanjang kontrak karena pasal-pasal perjanjian dinilai tidak adil bagi perusahaan milik pemerintah DKI Jakarta itu.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama tak bisa menerima putusan pengadilan dan akan melanjutkan perlawanan di tingkat banding. "Kami punya hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan," katanya di Balai Kota, Rabu pekan lalu. Dalam audit investigatif itu diungkapkan potensi kerugian akibat perjanjian yang tak adil bagi pemerintah daerah dan Pasar Jaya senilai Rp 179 miliar.
Tim kuasa hukum Priamanaya tak banyak berkomentar atas putusan itu. "Sudah dengar sendiri kan tadi apa yang diputuskan hakim? Ya, sudah, itu saja," ujar Rahmayani Desya, salah satu anggota tim pengacara, seusai sidang.
Bisa dipastikan perang belum akan usai, karena Pasar Jaya bahkan akan melebarkan arena pertempurannya dengan melaporkan proses persidangan ini ke Komisi Yudisial. "Bukan ketidakpuasan atas putusan, tapi karena ada yang tidak sepantasnya terjadi dalam persidangan," kata kuasa hukum PD Pasar Jaya, Taufik Basari. Agaknya panasnya udara di dalam pasar masih akan lama dirasakan para pedagang.
Y. Tomi Aryanto, Sutji Decilya, Afrilia Suryanis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo