Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Andre Vltchek meninggal di mobil dalam perjalanan ke Istanbul.
Tumbuh besar di Uni Soviet, Andre Vltchek mendapat suaka dan paspor Amerika Serikat.
Jurnalis investigasi itu dikenal vokal mengkritik kelakuan negara Barat, terutama Amerika Serikat, yang dinilai melanggengkan imperialisme.
PERJALANAN jurnalis investigasi Andre Vltchek berakhir di Istanbul, Turki, pada Selasa, 22 September lalu. Pembuat film dokumenter kelahiran Leningrad, Uni Soviet (kini Rusia), 57 tahun lalu itu meninggal di dalam minivan Mercedes yang ditumpanginya dari Kota Samsun di tepi Laut Hitam ke Istanbul. Tertidur di pengujung perjalanan yang sudah ditempuhnya selama sembilan jam, Vltchek tak bangun lagi ketika kendaraannya tiba di sebuah hotel di Distrik Karakoy pada pukul 05.30. “Saya berusaha membangunkannya, tapi dia tak merespons,” ujar Rossie Indira, istri Vltchek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Hurriyet Daily News, Rossie dan sopirnya langsung menghubungi layanan medis darurat. Polisi pun berdatangan. Kepada polisi, Rossie menjelaskan rute perjalanan mereka dari Samsun setelah sempat tinggal di Serbia. Menurut dia, suaminya mengidap penyakit diabetes dan tengah mengonsumsi dua jenis obat. Salah satu kaki Vltchek juga sedang kaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasangan Vltchek tiba di Turki dari Serbia pada 12 September lalu. Rossie menuturkan bahwa ia dan suaminya menghabiskan sembilan hari di Samsun sebelum pindah ke Istanbul. Mereka datang ke Samsun setelah mendapat rekomendasi bahwa tempat itu memiliki udara segar. “Kami menyewa van dan sopirnya,” katanya. Kepolisian Turki tengah menyelidiki penyebab kematian Vltchek yang dinilai janggal.
Kasus Vltchek menambah panjang daftar jurnalis dan aktivis yang kematiannya kontroversial di Turki. Salah satu kasus yang paling disorot publik adalah kematian jurnalis dan penulis kolom Washington Post, Jamal Khashoggi, pada Oktober 2018. Hasil penyelidikan menunjukkan Khashoggi ternyata dibunuh di dalam konsulat Arab Saudi.
Masoud Molavi Vardanjani, narablog yang kerap mengkritik pemerintah Iran, ditembak mati di jalan Istanbul pada November 2019. Pembunuhan itu diduga berkaitan dengan aktivitasnya setelah membelot dari Iran. Vardanjani sebelumnya bekerja di Departemen Pertahanan Iran. Tiga bulan sebelum tewas, Vardanjani sempat mengunggah pesan di media sosial berisi kritik terhadap Garda Revolusi Iran. Saeed Karimian, bos stasiun televisi di Iran, juga ditembak mati pada April 2017. Karimian juga dikenal kritis terhadap pemerintah Iran.
Vltchek datang dari keluarga dengan latar belakang berwarna. Ibunya berdarah campuran Rusia-Cina, sementara ayahnya ilmuwan dan anggota Partai Komunis Cekoslovakia. Dia menghabiskan masa kecil dan remaja di Pilsen, kota industri di Cekoslovakia pada masa pemerintahan Uni Soviet. Ibu dan nenek Vltchek mengajari dia segala sesuatu tentang Soviet: literatur, musik, dan puisi. Mereka kerap mengajak Vltchek ke museum, konser, dan opera. Dalam wawancaranya dengan Tehran Times, Vltchek menyebut neneknya sebagai orang yang berperan besar dalam kariernya sebagai penulis. Kebiasaan sang nenek bercerita dan membacakan buku mengembangkan minat baca Vltchek.
Vltchek rajin mendengarkan siaran radio Voice of America, Radio Free Europe, dan BBC dalam bahasa Inggris. Berita tentang kehidupan negara Barat membuatnya penasaran. Dia lalu meninggalkan Cekoslovakia dan menjelajah Eropa. Dia kemudian mendapat suaka di Amerika Serikat sebagai pengungsi dari Uni Soviet. Di New York, dia belajar tentang film dan bekerja sebagai penerjemah. Dia memperoleh paspor Amerika pada usia 20-an tahun.
Namun Vltchek sadar bahwa kenyataan di Amerika sangat berbeda dengan informasi di media Barat. Dia menentang politik imperialisme Barat karena merasa mengalami sendiri ketimpangan sosial-politik ketika tinggal di sana. “Saya tidak hanya menentang Amerika, tapi juga Eropa, yang menjadi sumber proyek kolonialisme Barat,” ucap Vltchek dalam sesi wawancaranya di situs countercurrents.org.
Sepanjang kariernya, Vltchek banyak meliput kasus konflik bersenjata di sejumlah tempat, dari Irak, Peru, Kashmir, Bosnia, hingga Timur Tengah. Sudah menyambangi lebih dari 140 negara, Vltchek menulis sejumlah artikel untuk media massa, seperti Der Spiegel, The Asahi Shimbun, The Guardian, dan ABC News.
Seperti dilaporkan The Independent, Vltchek juga sering disebut sebagai pendukung Cina dan Rusia. Dia menjadi kontributor media daring (online) 21st Century Wire dan Veterans Today yang kerap mendukung kebijakan pemerintah Rusia. Dalam wawancaranya di surat kabar Turki Aydinlik pada 12 September lalu, Vltchek mengatakan Turki sebaiknya bekerja sama dengan Cina dan Rusia daripada berkongsi dengan negara-negara Barat.
Dari tangannya lahir sejumlah buku, seperti Revolutionary Optimism, Western Nihilism, Exposing Lies of the Empire, dan Fighting Against Western Imperialism. Bersama filsuf dan aktivis politik Amerika, Noam Chomsky, dia menulis On Western Terrorism: From Hiroshima to Drone Warfare.
Sejumlah karya Vltchek juga berhubungan dengan kasus-kasus kekerasan militer yang terjadi di Indonesia. Rossie, yang merupakan orang Indonesia, kerap membantu pekerjaan Vltchek di Jakarta. Pada 2006, Vltchek menulis buku Exile bersama Pramoedya Ananta Toer dan Rossie. Enam tahun berikutnya, dia merilis buku bertajuk Indonesia, Archipelago of Fear.
Vltchek juga mendokumentasikan kekejaman Orde Baru, yang disebutnya terlibat dalam pembunuhan lebih dari 500 ribu orang menyusul kudeta militer pada 30 September 1965, dalam film Terlena: Breaking of a Nation. Film yang dirilis pada 2004 itu menyoroti propaganda pemerintah Indonesia yang menyebut Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang kudeta. Vltchek menyatakan film itu dibuat untuk memantik diskusi mengenai sejarah kelam Indonesia, yang disebut-sebut melibatkan dinas intelijen Amerika.
Dalam wawancaranya di situs Wandering Educators, Rossie mengatakan Terlena merupakan film dokumenter panjang pertama yang menceritakan dampak peristiwa 1965 dalam sejarah Indonesia. Dibuat di sejumlah tempat di Jakarta, Depok, Yogyakarta, dan Bali, film itu memuat testimoni sejumlah tokoh, seperti Presiden Abdurrahman Wahid, novelis Pramoedya Ananta Toer, sejarawan Asvi Warman Adam, dan Ilham Aidit, putra pemimpin PKI, D.N. Aidit.
Menurut Rossie, banyak orang Indonesia yang tidak mengetahui kebenaran sejarah peristiwa kudeta 1965. Banyak yang percaya bahwa PKI adalah dalangnya dan tidak menyadari pembunuhan massal terhadap anggota PKI dan orang-orang yang dianggap sebagai simpatisan partai tersebut. “Sedikit sekali orang yang memahami bahwa ada penjelasan selain urusan propaganda pemerintah,” tuturnya.
Penyebab kematian Vltchek masih belum terang. “Dia jenis orang yang bakal dikuntit karena punya banyak musuh,” kata Angelo Giuliano, sahabat Vltchek yang bermukim di Hong Kong, kepada Global Times, media yang disokong Partai Komunis Cina.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (THE INDEPENDENT, ABC NEWS, HURRIYET, MONTLY REVIEW, GLOBAL TIMES)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo