Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
IMF memperingatkan Bank Indonesia agar tak lagi membiayai anggaran pemerintah.
Selain mencederai independensi Bank Indonesia, berbagi beban mengatasi pandemi dinilai IMF membuai pemerintah yang mendapat uang murah.
IMF memperingatkan moral hazard sangat serius jika BI terus-menerus jadi bandar proyek-proyek pemerintah.
INI memang bukan pendapat final yang mengikat. Tapi Bank Indonesia dan pemerintah sebaiknya menyimak baik-baik rekomendasi awal tim Dana Moneter Internasional (IMF) yang baru menyelesaikan konsultasi rutin pekan lalu. Salah satu rekomendasi itu: BI berhenti membiayai anggaran pemerintah sebelum akhir tahun ini. Sebagai catatan, sejak 2020 BI membiayai anggaran pemerintah dengan cara membeli obligasi pemerintah secara langsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang salah dengan kebijakan itu sehingga menarik perhatian tim IMF? Begini kisahnya. Ketika pandemi Covid-19 melanda, pemerintah membutuhkan dana besar untuk mengatasi dampaknya: defisit anggaran melonjak. Untuk menutup lubang defisit, pemerintah mencari uang dengan menjual obligasi. Tapi pasar tak akan mampu menyerap penjualan surat utang yang begitu besar nilainya. Saat itulah Bank Indonesia muncul sebagai penyelamat, membeli surat utang secara langsung dari pemerintah. Istilahnya, BI membeli di pasar perdana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah dan BI membungkus kebijakan itu dengan istilah pembagian beban atau burden sharing. Sedangkan pasar finansial ataupun lembaga keuangan internasional melihatnya dengan kacamata berbeda. Pembagian beban hanyalah eufemisme untuk debt monetization atau monetisasi utang. Bahasa awamnya, ini sama saja dengan BI “mencetak uang” untuk membiayai anggaran.
Pasar tak menyukai kebijakan ini karena tak sesuai dengan prinsip pengelolaan ekonomi makro yang pruden. Monetisasi utang dapat menggerus kredibilitas BI sebagai bank sentral yang independen dan menurunkan kredibilitas rupiah. Ada batas tabu yang dilanggar. Bank sentral seharusnya tak terlibat dalam kebijakan anggaran atau fiskal. Jika BI ikut campur, apalagi turut membiayai anggaran, bisa muncul bias dalam penyusunan kebijakan moneter yang merupakan mandat utama bank sentral. Jadi independensi bank sentral bukan hanya persoalan apakah BI terpaksa mengikuti tekanan politik dari pemerintah atau tidak.
Ketika di awal masa pandemi pemerintah dan BI menyepakati pembagian beban itu, pasar finansial masih bisa menerimanya—terutama karena ada komitmen BI bahwa monetisasi utang hanya akan berlangsung pada 2020 saja, sesuai dengan kesepakatan antara Gubernur BI dan Menteri Keuangan. Sepanjang 2020, BI membeli obligasi pemerintah RI di pasar perdana senilai Rp 473,4 triliun.
Ternyata kesepakatan itu bersambung berjilid-jilid, sekarang sudah sampai jilid ketiga. Pemerintah rupanya terbuai nikmatnya mendapat uang segar dan mudah dari BI. Walhasil, kesepakatan pembagian beban berlanjut pada tahun berikutnya. Selama 2021, pemerintah menangguk Rp 358 triliun dari penjualan obligasi secara langsung kepada BI. Tahun ini pun kebijakan yang buruk itu masih akan berjalan. Rencananya, BI memberikan uang senilai Rp 225 triliun untuk menopang anggaran pemerintah.
Masuk akal jika tim IMF menyoroti berlanjutnya kebijakan yang berisiko ini dan merekomendasikan penghentiannya segera. Selain bisa berdampak buruk pada kredibilitas Indonesia, pasokan dana yang mudah dan melimpah dari BI memunculkan godaan besar bagi politikus yang sedang berkuasa sehingga berlaku tidak cermat dalam penggunaan anggaran. Ini moral hazard yang amat serius. Jika bisa royal menghamburkan uang karena ada BI yang menjadi bandar, untuk apa berhemat? Politikus yang sedang mabuk kuasa tentu tak peduli bagaimana dampak kesembronoan itu bagi ekonomi Indonesia.
Salah satu contoh mutakhir yang sangat jelas: proyek ibu kota baru. Hanya dalam hitungan bulan, politikus di pemerintah ataupun Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui proyek yang akan menyedot uang ratusan triliun rupiah itu. Tahun ini saja, pemerintah harus menyisihkan anggaran setidaknya Rp 45 triliun. Tidaklah penting apakah ada manfaat membangun istana megah untuk pemulihan ekonomi atau kesehatan rakyat. Selama ada uang melimpah dari BI, kenapa harus menahan diri?
Celakanya, era uang murah dan mudah di pasar global sudah berakhir. Bunga akan naik dan likuiditas mengetat. Kondisi pasar finansial bakal penuh gejolak. Jika rekomendasi tim IMF itu hanya berakhir di telinga yang bebal, Indonesia harus bersiap memikul konsekuensi yang sungguh berat dan mahal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo