Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PT Mitra Bangun Cemerlang berencana membangun pabrik tekstil berbahan sampah plastik.
Mesin-mesin pabrik tak beroperasi penuh karena kekurangan pasokan sampah.
Kebutuhan pasokan sempat dipenuhi sampah impor.
DALAM dua bulan terakhir, mesin pencacah botol plastik bekas milik PT Mitra Bangun Cemerlang tak beroperasi penuh. Perusahaan kerap hanya menjalankan separuh kapasitasnya. Misalnya, ketika Tempo berkunjung ke pabrik yang berlokasi di Tangerang, Banten, itu pada 8 Januari lalu, hanya dua mesin yang hidup. Setiap mesin bisa mengolah 40 ton sampah plastik per hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Rabu, 5 Februari lalu, tiga dari total empat mesin dinyalakan. “Tapi besok satu mesin dihentikan, tinggal dua mesin saja yang jalan,” kata Direktur Mitra Bangun Cemerlang Kim Tae Won. Menurut dia, pabrik tak mengoperasikan semua mesin karena kekurangan pasokan sampah plastik. Dalam sebulan, perusahaan hanya mendapat rata-rata 2.200 ton botol plastik bekas. Padahal, bila keempat mesin dijalankan, kebutuhannya mencapai hampir 5.000 ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mitra Bangun Cemerlang adalah perusahaan pendaur ulang sampah plastik yang mengolahnya menjadi tekstil. Tapi tidak semua sampah plastik dipakai, hanya botol dan gelas plastik bekas. Dua kemasan itu adalah sumber utama polietilena tereftalat alias PET—biasa disebut poliester—salah satu bahan baku utama tekstil.
Semula, Mitra Bangun Cemerlang tak merambah bisnis tekstil. Perusahaan yang didirikan pengusaha Djumo Matini pada 2001 ini awalnya hanya mendaur ulang sampah plastik dengan hasil berupa keping plastik (flake). Produk ini dijual ke luar negeri, terutama ke Cina, untuk diproses menjadi bijih plastik (pellet). Pada 2008, perusahaan mendatangkan mesin penghancur keping plastik dan menjadikannya bubur plastik atau PET chip, yang menjadi bahan baku benang.
Pekerja mengolah gelas plastik di PT Mitra Bangun Cemerlang, Kuta Baru, Pasar Kemis, Tangerang./ Tempo/Tony Hartawan
Namun masih ada mata rantai yang putus yang menghambat pabrik ini menghasilkan kain. Mitra Bangun Cemerlang belum memiliki mesin pengolah PET chip menjadi benang partially oriented yarn atau POY, bahan utama benang poliester. Selama ini, produk PET chip diekspor ke Cina dan sebagian ke Korea Selatan alih-alih diolah sendiri.
Kebutuhan itu akhirnya dipenuhi lewat impor atau dengan membelinya dari produsen lokal. Benang POY diproses menjadi benang poliester bertekstur atau polyester drawn textured yarn. Bahan inilah yang kemudian dipintal menjadi kain.
Rantai produksi tekstil yang terputus itu tidak lama lagi akan tersambung. Saat ini, perusahaan tengah membangun pabrik baru untuk menghasilkan benang POY. Infrastruktur itu bakal dilengkapi mesin pencelup untuk pewarnaan dan mesin pencetak atau printing.
Pabrik baru akan menempati lahan seluas 3.000 meter persegi di area pabrik saat ini. Luas lahan tak jadi masalah karena Mitra Bangun Cemerlang memiliki area seluas 150 ribu meter persegi atau 15 hektare. Sejauh ini, lahan yang digunakan baru sekitar 3 hektare.
Pabrik baru yang ditargetkan rampung dua tahun ke depan itu akan menjadikan produksi lebih terintegrasi dan efisien. “Sampah plastik didaur ulang, menghasilkan produk tekstil yang jauh bernilai,” ucapnya. “Ini bisnis masa depan.”
Masalahnya, pasokan plastik bekas terbatas. Semula sejumlah pabrik menggunakan sampah impor. Belakangan, pemerintah mengetatkan impor limbah. Kekosongan pasokan belum sepenuhnya dipenuhi pengumpul sampah di dalam negeri.
Menyiasati masalah itu, Mitra Bangun Cemerlang memperluas jejaring pemasok. Saat ini penyuplai sampah plastik perusahaan berasal dari Medan, Bengkulu, Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Solo, Surabaya, dan Banjarmasin. Perusahaan juga akan menerima tambahan pasokan dari Pekanbaru, Padang, Palembang, Lampung, Bali, serta Pontianak.
Penguatan jejaring pemasok bahan baku itu diyakini bakal memenuhi kebutuhan pabrik, yang dirancang berkapasitas hingga 5.000 ton per bulan. Kim berharap, ketika kelak pabrik beroperasi dengan kapasitas penuh, perekonomian global sudah membaik. Dengan demikian, produk tekstil daur ulang yang saat ini lebih banyak dijual di dalam negeri bisa merambah pasar dunia.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo