Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Petani juga mengalami kesulitan ketika harga beras naik.
Produksi beras terus turun dan nilai tukar petani melorot.
Penggilingan bermodal besar diuntungkan karena bisa memborong gabah.
HARGA beras terus naik. Tapi angan-angan Tarsono memetik untung dari kenaikan harga beras tak kesampaian. Stok gabah simpanan petani 39 tahun asal Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, itu habis sejak beberapa bulan lalu. Musababnya adalah gagal panen yang terjadi pada musim tanam paruh kedua 2023, Juli-September, akibat kekeringan ekstrem yang dipicu El Niño. “Stok di gudang kosong,” ujarnya pada 21 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini, ketika harga gabah naik berlipat-lipat, Tarsono hanya bisa gigit jari. Di Indramayu, harga gabah menyentuh Rp 8.500 per kilogram, melonjak dari kondisi normal Rp 5.900 per kilogram. Panen terakhir Tarsono adalah pada musim tanam pertama, Maret-Mei 2023. Namun hasil produksinya tak terlalu bagus karena musim hujan mempengaruhi kualitas rendemen gabah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tarsono mengira, seusai masa gagal panen, dia bisa segera kembali menggarap lahannya pada November 2023. Harapannya, pada Februari-Maret 2024, dia bisa melakukan panen dan memiliki stok gabah melimpah. Kenyataannya, masa tanam baru bisa dimulai pada Januari 2024, mundur dua bulan akibat El Niño yang masih berlanjut. “Belum lagi ada hama tikus,” kata Tarsono, yang memperkirakan baru bisa memanen padinya pada April-Mei mendatang.
Kondisi tak jauh berbeda diungkapkan Wardiyono, petani yang juga Ketua Gerakan Petani Nusantara Jawa Tengah. Dia memperkirakan masa panen baru akan datang pada akhir Maret atau awal April 2024. Sebab, saat ini masih banyak sawah yang baru memasuki masa tanam sekitar 50 hari.
Buruh tani menanam padi di lahan pertanian Cawas, Klaten, Jawa Tengah, Januari 2024. Antara/Aloysius Jarot Nugroho
Stok gabah pun ludes karena kebanyakan petani tak lagi punya simpanan dalam jumlah besar. Dulu petani menyimpan gabah mayoritas untuk konsumsi sendiri dan cadangan stok, sementara sisanya dijual. “Sekarang sebaliknya karena kondisi berbeda. Misalnya lahan tidak seluas dulu dan harga gabah cenderung melambung,” tuturnya.
Belum lagi jerat para pengepul yang sudah mengikat harga jual gabah petani sejak sebelum masa panen. Menurut Wardiyono, praktik ini sering ditemukan pada petani-petani yang memiliki ketergantungan alat tanam kepada pihak tertentu. “Mereka sewa atau pinjam alat, tapi nanti hasilnya harus dijual ke pengepul dengan harga tertentu.” Para pengepul biasanya terafiliasi dengan kelompok usaha penggilingan bermodal besar dan pabrik beras raksasa.
Sekalipun sudah masuk masa panen raya, Wardiyono mengungkapkan, keuntungan yang diterima petani relatif kecil. Sebab, harga jual gabah yang tinggi diikuti biaya produksi dan operasional yang tinggi pula. Dia mencontohkan harga pupuk yang harus ditebus petani terus melambung karena langka di pasar. Bantuan pupuk bersubsidi pun bagi dia sebatas rumor.
Merujuk pada anggaran Kementerian Pertanian, anggaran pupuk bersubsidi tahun lalu Rp 25,27 triliun dan tahun ini Rp 26,68 triliun. Namun hal itu tak banyak membantu. Pupuk masih saja langka di tingkat petani. Selama ini subsidi dialirkan kepada produsen atau pabrik pupuk untuk kemudian disalurkan kepada petani sesuai dengan harga yang ditetapkan.
Persoalan subsidi pupuk yang tak dikelola petani secara mandiri ini pun dituding menjadi salah satu penyebab sulitnya mengontrol harga dan stok pupuk. Wardiyono berharap ada perubahan skema dengan cara memberikan subsidi pupuk dalam bentuk uang tunai kepada petani secara langsung. "Harapannya bisa diterapkan juga untuk bantuan benih, karena sering dapat benih dari pabrik kualitasnya tidak bagus,” ucapnya.
Koordinator Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan Said Abdullah mengatakan lahan sawah di Jawa sangat bergantung pada penggunaan pupuk kimiawi. Artinya, hasil produksi beras sangat ditentukan oleh seberapa besar penggunaan pupuknya.
Pada 2023, alokasi pupuk berkurang jauh. Salah satu pemicunya adalah perang antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan pasokan bahan baku pupuk terhambat. “Rendahnya tingkat penggunaan pupuk menyebabkan kualitas gabah menurun, rendemen gabah menjadi turun 3-4 persen,” ujarnya pada 22 Februari 2024. Walhasil, sekalipun hasil produksi gabah tetap, ketika dikonversi ke beras, jumlahnya menjadi berkurang jauh.
Bukan hanya petani yang terimpit. Pengusaha penggilingan padi di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, Andi Pallawagu Kerrang, mengaku stok beras di tempatnya habis sejak Desember 2023. “Nanti kembali terisi saat panen raya Maret,” katanya pada 21 Februari 2024.
Andi menjelaskan, stok beras di penggilingan tidak pernah bertahan lama. Rata-rata produksi beras sebanyak 50 ton per hari dengan total kapasitas penggilingan 100 ton. Itu pun tergantung lancar atau tidaknya gabah masuk ke gudang penggilingan. Misalnya terjadi gagal panen, beras yang diproduksi berkurang menjadi 20-30 ton per hari.
Andi menyuplai beras ke pasar-pasar di Kota Makassar dan Kabupaten Tana Toraja di Sulawesi Selatan, bahkan sampai ke Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Harga gabah yang ia beli dari petani di 12 kecamatan di Kabupaten Pinrang umumnya sebesar Rp 7.000 per kilogram. Kemudian beras jenis medium itu ia jual seharga Rp 12.500 per kilogram.
Menurut dia, meski harga beras melonjak, penggilingan tak selalu mendapat untung. Dia memberi contoh, ketika penggilingan telanjur membeli gabah dengan harga tinggi dan tiba-tiba ada operasi pasar, harga beras akan turun seketika.
Tak jarang petani menuding penggilingan memainkan harga. Saking seringnya merugi, banyak pengusaha penggilingan yang memilih berhenti beroperasi dulu ketika stok benih terhambat dan harga beras sedang tak stabil di pasar.
Ketua Umum Perhimpunan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia Sutarto Alimoeso mengatakan penggilingan padi berskala kecil memilih tidak beroperasi lantaran sulit mendapatkan gabah. Penggilingan yang beroperasi pun harus berebut gabah satu sama lain hingga menyebabkan harganya melambung. “Yang untung penggilingan bermodal besar karena punya kemampuan beli gabah tidak terbatas."
Saat ini penurunan jumlah produksi tak terhindarkan karena luas lahan pertanian terus menyusut. Dalam Sensus Pertanian 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) gurem sebesar 18,49 persen dari 14,25 juta pada 2013 menjadi 16,89 juta pada 2023. RTUP gurem merupakan rumah tangga yang menggunakan atau menguasai lahan untuk pertanian kurang dari 0,50 hektare.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengatakan fakta penyusutan lahan pertanian sejalan dengan pembangunan infrastruktur dan proyek strategis nasional dalam satu dekade terakhir, khususnya di Pulau Jawa. “Produksi beras nasional turun karena sawah yang hilang akibat konversi lahan,” ucapnya.
Walhasil, penurunan kapasitas produksi beras nasional konsisten terjadi dalam lima tahun terakhir. Jika dicermati, harga beras sebenarnya sudah mulai merangkak naik pada pertengahan 2022. Henry berujar, kenaikan harga yang terus terjadi memperlihatkan adanya masalah struktural yang serius. “Harga pupuk mahal dan langka, lahan pertanian susut, produksi tidak naik, diperparah pemerintah yang tidak bisa mengendalikannya,” tuturnya.
Berdasarkan catatan BPS, pada 2018, jumlah produksi beras sebanyak 33,9 juta ton dan pada 2022 turun menjadi 31,5 juta ton. Tahun lalu, angka produksi beras diprediksi kembali anjlok menjadi 30,9 juta ton. Tak mengherankan jika angka impor beras tahun lalu menembus 3 juta ton, tertinggi dalam 25 tahun terakhir atau sejak 1999.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Batara Siagian mengatakan pemerintah telah melakukan mitigasi lewat gerakan nasional penanganan dampak El Niño pada akhir tahun lalu di 10 provinsi dengan area tanam terlaksana 680 ribu hektare.
Berdasarkan pantauan terakhir, panen Maret akan berlangsung di area seluas 1,15 juta hektare dengan jumlah produksi 6,10 juta ton gabah kering giling atau setara dengan 3,51 juta ton beras. Potensi panen ada di Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah.
Pemerintah juga berupaya mendorong ekstensifikasi dengan meningkatkan luas area panen dan produktivitas. Batara mengatakan strateginya adalah optimalisasi lahan rawa, lahan tadah hujan, dan lahan kering. “Contohnya pemanfaatan lahan replanting perkebunan."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Caesar Akbar dan Didit Hariyadi dari Makassar berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gigit Jari meski Harga Tinggi"