Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANGAN Alvin Firman Sunanda tiba-tiba menggebrak meja saat Togi Pangaribuan mengucapkan nama Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Sambil menunjuk Togi, Alvin memberi peringatan. “Kamu jangan bawa-bawa nama Pak Luhut di sini,” kata Togi menirukan ucapan Alvin dalam pertemuan tersebut kepada Tempo di Jakarta, Senin, 12 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Togi hadir sebagai kuasa hukum keluarga pengusaha Agung Dewa Chandra, pemilik PT Halmahera Sentra Mineral. PT Halmahera menguasai 30 persen saham perusahaan tambang nikel PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara. Keluarga Chandra sedang terlibat sengketa bisnis dengan Zhenshi Holding Group asal Cina, pemilik 70 persen saham di PT Fajar Bhakti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Togi merasa heran lantaran Alvin, Direktur PT TBS Energi Utama Tbk—sebelumnya bernama PT Toba Bara Sejahtra Tbk—yang lebih dulu menyebut nama Luhut. Alvin, ucap Togi, mengatakan Luhut sangat peduli pada investasi asing. Ini yang dianggap menjadi alasan Alvin memediasi sengketa di PT Fajar Bhakti.
Pertemuan itu berlangsung pada 2 Maret 2021 di ruangan pantri kantor PT TBS Energi Utama di Office District 8, kawasan Sudirman Central Business District, Jakarta Selatan. Togi datang bersama Caroline Chandra, putri Agung Dewa Chandra yang sekarang memimpin PT Halmahera. Adapun Alvin ditemani Haryanto Damanik dan Suaidi Marasabessy, purnawirawan letnan jenderal yang menjabat Kepala Staf Umum Tentara Nasional Indonesia periode 1999-2000.
Seperti Togi, Caroline juga merasa heran. Ia datang karena Suaidi yang merencanakan pertemuan itu dengan alasan membantu mediasi PT Halmahera dengan Zenshi. Tapi pertemuan itu tak dihadiri satu pun perwakilan Zhenshi. “Kami malah merasa diintimidasi, bukan dimediasi,” tutur Caroline.
Alvin dan Haryanto, yang pernah bekerja di PT TBS, hadir atas undangan Suaidi. Meski pertemuan berlangsung di kantornya, Alvin mengungkapkan PT TBS memang tidak terlibat sama sekali dalam bisnis nikel di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Di pulau itu, PT Fajar Bhakti pernah menguasai wilayah konsesi tambang nikel seluas 800 hektare. Izin usaha pertambangan (IUP) PT Fajar Bhakti dicabut pemerintah pada 2023.
Lentan Jenderal (Purnawirawan) TNI Suaidi Marasabessy saat tergabung dalam tim Bravo 5 dalam silahturahmi kebangsaan relawan Jokowi-Ma'ruf Amin di Hotel Marc Passer Baroe, Jakarta, 21 Juni 2019./Tempo/Irsyan Hasyim
Alvin membantah tudingan mengintimidasi Caroline dan Togi. Tapi ia tak membantah telah menggebrak meja karena pihak Caroline terus-menerus membawa nama Menteri Luhut. “Saya hadir sebagai pihak netral untuk menemukan jalan keluar,” ujarnya.
Suaidi Marasabessy juga membenarkan pernah menengahi sengketa pemilik PT Fajar Bhakti. Tapi ia mengaku sudah lupa proses yang terjadi. Ia juga membantah kabar adanya peran Luhut di balik pertemuan tersebut. “Itu tidak benar,” katanya.
Suaidi tercatat sebagai Direktur Utama PT Toba Sejahtra, perusahaan yang 99,9 persen sahamnya dikuasai Menteri Luhut. Sementara itu, PT Toba Sejahtra menguasai 8,9 persen saham PT TBS Energi Utama Tbk. Luhut mengklaim tak terlibat lagi dalam kegiatan operasional PT Toba Sejahtra sejak menjadi menteri.
Selama ini Suaidi dikenal sebagai orang dekat Luhut. Keduanya tergabung dalam Pejuang Bravo Lima atau Bravo 5, organ relawan pendukung Presiden Joko Widodo yang dibina Luhut. Tapi Luhut mengaku tidak tahu Alvin, Suaidi, dan Haryanto turun tangan dalam proses mediasi PT Fajar Bhakti.
Luhut pernah turun langsung menengahi sengketa antara PT Halmahera dan Zhenshi. Pada 2018-2019, ada sejumlah masalah internal di PT Fajar Bhakti. Saat itu, lewat sambungan telepon, Luhut meminta anggota direksi PT Fajar Bhakti yang berasal dari Indonesia tidak bersikap terlalu keras saat berhadapan dengan perwakilan Zhenshi.
Luhut tak membantah kabar ini. “Saya hanya mendorong para pihak untuk dapat menyelesaikan secara baik-baik agar kerja sama dapat berjalan,” tuturnya.
Syahdan, perseteruan dua kubu pemilik saham di PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara itu bermula pada Mei 2011. Kala itu keluarga Agung Dewa Chandra melepas 70 persen saham di PT Fajar Bhakti kepada Zhenshi Holding Group. Saham dilepas di harga US$ 15 juta. Keduanya kemudian menyepakati share transfer agreement. Menurut Caroline Chandra, pihaknya akan menerima bagi hasil US$ 10 per metrik ton tiap bijih nikel yang diekspor. “Perjanjian tak pernah dilaksanakan sempurna karena yang dibayar hanya 5-7 persen,” ucap Caroline.
Puncak perseteruan terjadi pada Januari 2020. Zhenshi mendepak semua orang Indonesia di kursi direksi, termasuk Agung yang menjabat direktur utama. Alasannya, kegiatan operasional PT Fajar Bhakti di bawah Agung sangat tidak transparan mengelola perusahaan. “Zhenshi sebagai pemegang saham mayoritas merasa harus membuat keputusan,” kata Li Minghong, perwakilan Zhenshi yang kini menjadi Direktur Utama PT Fajar Bhakti.
Saat itulah Caroline berupaya menagih hitungan hak bagi hasil. Enam bulan kemudian, pimpinan PT Fajar Bhakti yang baru memberi tahu keluarga Chandra bahwa mereka juga masih punya utang yang belum dibayar kepada Zhenshi. Caroline bingung lantaran nilainya terus berubah-ubah, dari US$ 115 juta menjadi US$ 65 juta.
Li Minghong membantah pernyataan Caroline. Ia menyebutkan angka bagi hasil US$ 10 juta hanya batas maksimal. Nilainya berubah karena ayah dan ibu Caroline, Agung dan Maria Chandra Pical, berutang US$ 57 juta plus bunga sebesar US$ 42 juta kepada Zhenshi. Itu sebabnya angka US$ 10 juta dipotong menjadi US$ 4 juta agar sisa US$ 6 juta dipakai untuk membayar utang. Li mengklaim perubahan ini disepakati langsung dengan Agung pada 11 Juni 2015.
Di sisi lain, Li mengklaim Caroline menuntut hak keluarganya lewat PT Halmahera hingga US$ 85 juta atas skema bagi hasil periode 2013-2022. Tapi Caroline diceritakan tak bisa membuktikan dasar hitungan US$ 85 juta ini. Li pun heran karena sebelum 2020 Agung disebut telah menerima bagi hasil senilai US$ 36 juta.
Caroline tak keberatan bila memang keluarganya masih punya utang. Masalahnya, Zhenshi tak pernah mengungkap hitung-hitungan itu. Caroline mengklaim sudah tiga tahun meminta penjelasan, tapi pihak Zhenshi terus menghindar.
Saat menemui jalan buntu itulah Suaidi datang menemui Caroline di kantornya di Plaza Marein, Jakarta Selatan, lalu berlanjut di pantri kantor PT TBS Energi. Pertemuan diadakan lagi pada 16 April dan 19 April 2021. Tapi semua pertemuan itu berakhir buntu karena tak dihadiri pihak Zhenshi.
Li Minghong menjelaskan, perusahaannya memang pernah bertemu dengan pihak PT TBS Energi di Cina. Zhenshi meminta bantuan direksi PT TBS—dulu PT Toba Bara Sejahtra—untuk dimediasi dengan keluarga Chandra. Li tak merinci kapan pertemuan terjadi dan siapa anggota direksi yang hadir.
Mediasi akhirnya terlaksana pada 2 Maret 2021. Saat itu Zhenshi telah menyerahkan dokumen utang-piutang. “Kami menerima informasi bahwa pihak Agung Dewa Chandra tidak mengakui adanya utang kepada Zhenshi sehingga mediasi deadlock,” ujar Li.
Belakangan, Caroline mendapat dokumen perjanjian utang atas nama orang tuanya via e-mail dari direksi PT Fajar Bhakti. Ia kaget melihat tanda tangan ibunya, Maria, yang diduga dipalsukan. Caroline melaporkan hal ini ke Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI pada 1 Desember 2022.
Ia melaporkan tiga perwakilan Zhenshi yang memimpin PT Fajar, yakni Direktur Utama Li Minghong, direktur Cai Zhengyang, dan komisaris Wang Yuan, dengan tuduhan menggelapkan dan memalsukan surat. “Dasar utama saya melapor bukan uang, tapi karena sudah keterlaluan,” ucap Caroline.
Polisi lalu memeriksa sejumlah saksi. Di tengah proses ini, Luhut Pandjaitan berkunjung ke Cina pada Mei 2023. Bertemu dengan Zhang Yuqiang, pemimpin sekaligus pendiri Zhenshi, Luhut menyebutkan kedatangannya bertujuan menengok bisnis pasir silika untuk penghiliran. “Tidak ada pembicaraan mengenai laporan polisi,” tuturnya.
Setelah Luhut kembali ke Tanah Air, kuasa hukum tiga petinggi PT Fajar Bhakti yang dilaporkan ke polisi, Juniver Girsang, menemui Luhut di kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Di situlah Luhut diduga menitip pesan kepada Juniver soal permintaan perlindungan hukum dari Zhenshi. Kepada Tempo, Luhut membantah memberi arahan tentang perlindungan hukum.
Kehadiran Luhut tak membuat proses hukum di kepolisian berhenti. Pada 8 Desember 2023, penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menetapkan tiga direktur PT Fajar Bhakti yang juga merupakan warga negara Cina itu sebagai tersangka, tapi mereka tak ditahan. Sementara itu, Wang Yuan kembali ke Cina dan masuk daftar pencarian orang (DPO).
Li Minghong membantah tudingan pemalsuan surat perjanjian utang. Juniver Girsang juga sudah menyetorkan dokumen mutasi rekening yang membuktikan bahwa Agung Chandra sudah menerima uang. Juniver juga keberatan polisi memasukkan Wang Yuan ke DPO karena kliennya itu kembali ke Cina untuk urusan bisnis. “Ini terlalu dipaksakan,” katanya.
Sebuah video yang menayangkan aktivitas penambangan nikel di Pulau Gebe, Maluku, oleh PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara./Tempo/Gunawan Wicaksono
Li Minghong, Cai Zhengyang, dan Wang Yuan melawan dengan melaporkan balik keluarga Chandra ke Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim pada 20 Desember 2023. Saat pengambilalihan kepengurusan PT Fajar Bhakti pada 2020, Li menyebut manajemen baru perseroan menemukan bukti pengapalan bijih nikel sebanyak 4,9 juta metrik ton pada 2017-2019. Pengapalan tersebut diketahui Agung yang kala itu menjabat Direktur Utama PT Fajar Bhakti.
Li mengklaim hasil penjualan bijih nikel itu tak pernah dimasukkan ke laporan keuangan dan rekening bank PT Fajar Bhakti. Walhasil, Li menambahkan, Zhenshi merugi sampai Rp 1,7 triliun. Temuan ini yang menjadi dasar Li dan kawan-kawan melaporkan balik keluarga Chandra dengan dugaan penggelapan.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Brigadir Jenderal Whisnu Hermawan kemudian melimpahkan laporan ketiga warga negara Cina ini ke Direktorat Tindak Pidana Umum. “Karena saling lapor antara pelapor dan terlapor,” ucap Whisnu.
Kini proses di kepolisian terus berjalan. Li meminta investor yang sudah beriktikad baik menanamkan modal di Indonesia bisa diberi rasa aman. “Kami malah mengalami ketidakadilan dalam menjalankan bisnis di Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Caroline juga terus melawan. Ia mengaku bukan kali ini saja berbisnis dengan investor asal Cina. “Tapi kalau yang ini memang nakal. Kami ingin mereka dapat ganjaran,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lani Diana dan Mohammad Khory Alfarizi berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jejaring Luhut di Sengketa Perusahaan Nikel"