Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DADANG Suganda tidak pernah menduga operasi rutin yang dilakukan di kawasan hutan Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, pada 5 Desember lalu berbuah buruan kakap. Kepala Subdirektorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan Wilayah III Kementerian Kehutanan ini bersama sembilan anggota Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat berhasil menemukan aktivitas penambangan yang diduga ilegal di hutan lindung Desa Morombo, Kecamatan Lasolo, Konawe Utara.
Di kawasan hutan yang terletak dekat laut Sulawesi ini, Dadang menemukan tiga unit ekskavator Kobelco PC 200, dua unit Caterpillar PC 200, dan satu unit buldoser Caterpillar D 85 yang dipakai untuk menggali tanah. Selain itu, sepuluh unit dump truck bermuatan bijih nikel hilir-mudik menuju dermaga dan menaikkan ke atas kapal. "Seharusnya tidak ada aktivitas penambangan di sana," katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Temuan ini menambah panjang daftar praktek liar penambangan di area hutan lindung. Pada 2012, Badan Pemeriksa Keuangan menyebutkan 115 perusahaan tanpa izin ditemukan melakukan aktivitas pertambangan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung di area seluas 471.714 hektare di seluruh Indonesia.
Berbekal temuan tadi, polisi hutan menyusuri kawasan itu selama tiga hari. Di area itu, Hizbullah alias Ula, Kepala Teknik Tambang PT Bososi Pratama, "diamankan". Dari penelusuran bersama Ula, ditemukan tujuh lokasi tambang bijih nikel di area itu. Alat pengukur koordinat pejabat Kementerian Kehutanan tadi memastikan area pertambangan itu berada di kawasan hutan lindung Morombo.
Dari temuan di lapangan, tim yang dipimpin Dadang bergerak cepat membuat laporan kejadian dan berita acara pemeriksaan. Anggota polisi hutan yang ikut terjun dalam operasi dan pegawai Bososi Pratama yang ada di lapangan dijadikan saksi.
Dari dokumen berita acara pengambilan keterangan Direktorat Penyidikan dan Pengamanan Hutan tertanggal 9 Desember 2013, yang salinannya diperoleh Tempo, Hizbullah menyebutkan semua lokasi penambangan bijih nikel itu dikerjakan Bososi, perusahaan milik pengusaha lokal bernama Andi Uci Abdul Hakim, sejak April 2012.
Dia mengaku hanya menjalankan tugas di lapangan tanpa pernah tahu soal perizinan yang dikantongi Bososi. "Saya tahu area pertambangan Bososi di kawasan hutan, karena pernah dijelaskan petugas Dinas Kehutanan pada Agustus 2012," kata Hizbullah kepada penyidik pegawai negeri Kementerian Kehutanan.
Penyidik kehutanan juga meminta keterangan Sarlin Syamsudin, ahli geologi PT Adikarya Tanrisau, yang jasanya dipakai Bososi dalam penambangan bijih nikel, dan Eky Asmarani, pejabat humas Bososi. Sarlin mengatakan area yang akan digarap seluas 20 hektare, dan 5 hektare sudah menghasilkan 60 ribu metrik ton. "Sudah dikapalkan ke Cina dengan kadar 1,85 persen nikel seharga US$ 31 per ton," katanya, seperti tertulis dalam dokumen pemeriksaan. Selain itu, masih tersisa 20 ribu metrik ton di stock pile.
Dari temuan di lapangan dan keterangan saksi, Dadang mengirim berkas pemeriksaan ke Jakarta pada 9 Desember lalu. Menurut dia, seluruh temuan itu dilaporkan ke Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Sonny Partono. "Setelah itu, kami belum melakukan pemeriksaan lagi," kata Dadang.
Sampai di meja sang bos, temuan yang seharusnya ditindaklanjuti dengan melaporkan ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI itu mendadak macet. Semestinya, setelah berkas itu dilimpahkan ke penyidik, dilakukan pemasangan garis polisi di area tambang Bososi. Namun, menurut sumber Tempo, hingga akhir pekan lalu rencana itu belum dilakukan.
Tersendatnya proses itu ditengarai berhubungan dengan beberapa kejadian di kantor Kementerian Kehutanan. Menurut sumber itu, dua hari setelah berkas masuk ke Kementerian Kehutanan, Andi Uci Abdul Hakim tiba-tiba menyambangi para penyidik dan menjanjikan sejumlah imbalan uang jika kasus itu dilepas. Namun tawaran itu langsung ditolak. "Uci sempat menyebut kenal dengan banyak orang di pemerintahan," katanya. "Termasuk Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan."
Meski tidak ditanggapi, operasi gelap pemilik Bososi menggagalkan proses penyidikan berbuah hasil. Sumber tadi mengatakan, sehari setelah kedatangan Andi Uci, Sonny, yang sedang berada di ruang kerja di blok A7 lantai 12 gedung Manggala Wanabhakti, didatangi Anwar Sanusi, ajudan Menteri Zulkifli. "Anwar menyampaikan pesan agar proses hukum Bososi tidak dilanjutkan," katanya.
Upaya ini terbukti ampuh. Sejak kedatangan itu, hasil penyelidikan pelanggaran penambangan hutan lindung Bososi tidak kunjung diproses. Sebaliknya, pada 12 Desember lalu, Bososi berencana mengapalkan bijih nikel dengan MV Trans Spring, MV Ikan Sembak, dan MV Yuan Sheng 56, yang masing-masing bisa memuat 50 ribu metrik ton. Nilai bijih nikel itu US$ 1,7-2 juta per kapal. Hingga Selasa dua pekan lalu, baru MV Ikan Sembak yang bisa berangkat ke Cina.
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan membantah mengenal Andi Uci. Dia menyangkal pernah mengirim ajudan untuk meminta penghentian proses penyidikan Bososi. "Pasti tidak benar," katanya lewat pesan pendek kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Sang ajudan, Anwar Sanusi, juga menyanggah pernah diberi tugas menemui Sonny. "Tidak pernah itu," katanya. Adapun Sonny memastikan penyelidikan terhadap Bososi tidak berhenti. Dia juga membantah kabar adanya intervensi dari Menteri Kehutanan. "Kasus itu satu paket dengan perkara lain yang sedang kami tangani."
Andi Uci membantah semua tudingan itu. Dia mengaku tidak pernah mencoba menyogok penyidik dan meminta bantuan Menteri Kehutanan agar menghentikan kasus tersebut. "Semua itu fitnah. Ada pihak lain yang tidak senang dengan bisnis saya," katanya kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Soal izin, Andi Uci mengaku sudah mengurus sejak empat tahun lalu dan dalam proses akhir. Dia menuding penyelidikan dugaan penyimpangan yang dilakukan aparat Kementerian Kehutanan tidak fair. "Buka semua perusahaan pertambangan. Kenapa hanya saya?" katanya dengan nada tinggi.
Masih buram proses di Jakarta, pengusutan pelanggaran hukum Bososi di Konawe Utara juga bakal rumit. Seorang anggota polisi hutan mengatakan Bososi sudah menyiapkan tameng bahwa kegiatan area penambangan mereka tidak masuk kawasan hutan lindung. "Saat dicocokkan ternyata status kawasan yang menjadi lokasi penambangan sudah berubah menjadi hutan produksi terbatas dan hutan produksi," katanya.
Usut punya usut, perubahan status itu berdasarkan rekomendasi Menteri Kehutanan Nomor 5K. 427/ Menhut-11/2013 tertanggal 12 Juni 2013 tentang perubahan fungsi pokok kawasan hutan dari kawasan hutan lindung pada sebagian kawasan hutan lindung yang seluas 2.258,15 hektare menjadi kawasan hutan produksi terbatas seluas 1.962,75 hektare dan kawasan hutan produksi tetap seluas 295,40 hektare.
Dalam rekomendasi tersebut ditulis, Bupati Konawe Utara diperintahkan meningkatkan pengembangan investasi di kawasan hutan produksi, membuka lapangan kerja, serta membuat sistem informasi tentang perubahan fungsi kawasan hutan. Sebagai senjata pamungkas, Direktorat Jenderal Planologi diperintahkan segera menyelesaikan penataan batasan kawasan hutan dan penetapan aturan tersebut.
Namun ini disangkal Dadang Suganda. Dia berkukuh kawasan yang digarap Bososi itu kawasan hutan lindung. "Begitu dilihat akan diketahui bahwa itu hutan lindung. Tingkat kemiringannya berbeda," katanya. "Lagipula mengubah status kawasan hutan tidak mudah."
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sulawesi Tenggara, Susi Yanti Kamil, mengatakan seharusnya tidak ada perubahan status kawasan hutan lagi setelah terbit Keputusan Menteri Kehutanan SK.465/Menhut-II/2011 pada 9 Agustus 2011.
Dalam peraturan itu digariskan bahwa perubahan status kawasan hutan harus diajukan lebih dulu oleh pemerintah daerah dalam rencana revisi tata ruang dan tata wilayah, yang kemudian disepakati oleh Kementerian Kehutanan. "Berdasarkan surat keputusan itu, blok konsesi Bososi masih masuk wilayah hutan lindung," kata Susi. Jadi, ujung kasus Konawe tampaknya sudah mendekati kepastian. Bososi masih akan terus menambang dolar di sana.
Gustidha Budhiartie, Setri Yasra (Jakarta), Rosniawanti Fikry (Konawe Utara)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo