Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertemuan pada 16 Desember 2013 itu diatur oleh Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro. Dia yang mengontak semua pengusaha besar untuk hadir dalam pertemuan khusus atas permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut. "Pak Purnomo berpesan bahwa ini pertemuan terbatas dan sangat rahasia. Kami diperintahkan hadir pukul 18.30, lalu makan malam sambil menunggu Presiden, yang dijadwalkan tiba pukul 19.00," kata sumber Tempo yang turut diundang, awal pekan lalu. "Tempatnya di dalam Plenary Hall di Jakarta Convention Center. Rupanya ada beberapa kamar rahasia di sana."
Sumber Tempo yang lain bercerita serupa. Ia juga dihubungi Purnomo. Menurut dia, Presiden ingin berbicara dengan para konglomerat ihwal perkembangan ekonomi politik teranyar. Apalagi pergantian pemimpin nasional melalui pemilihan umum tinggal beberapa bulan ke depan. Sumber ini mendapat kesan pemerintah sepertinya agak risau mengingat pada saat bersamaan tekanan ekonomi semakin berat.
Nilai tukar rupiah jatuh di atas 12 ribu per dolar Amerika Serikat sejak akhir November lalu. Dibandingkan dengan awal 2013, nilai tukar rupiah sudah melemah hampir 27 persen. Indeks di bursa saham juga sudah lama menderita. Seperti rupiah, indeks 2013 pun lebih rendah daripada tahun sebelumnya. Ancaman dari faktor luar berupa rencana pengurangan stimulus fiskal oleh bank sentral Amerika terus membayangi.
Strategi moneter dengan menaikkan suku bunga juga dianggap sudah mentok, karena angka acuan Bank Indonesia di level 7,5 persen dinilai sudah tinggi dan akan memberatkan sektor riil jika harus ditambah lagi. "Karena itu, kami menduga mungkin pemerintah akan meminta bantuan kami untuk menahan laju penurunan nilai tukar rupiah," ujar sumber yang kelompok usahanya membelanjakan sekitar US$ 5 juta saban hari untuk membeli bahan baku komoditas ekspornya itu.
Setiba di sana, para konglomerat dan pengusaha papan atas Tanah Air itu disuguhi karedok, masakan berbahan ayam, dan aneka menu hotel lainnya. Tampak hadir antara lain bos PT Sritex, H.M. Lukminto, yang mengajak anak lelakinya; juragan PT Maspion, Alim Markus; dan pendiri PT Jababeka, Setyono Djuandi Darmono. Terlihat pula Anthoni Salim mewakili Salim Group, Sugianto Kusuma alias Aguan (Grup Artha Graha), Budi Hartono (Grup Djarum), Prajogo Pangestu (Barito Pacific-Chandra Asri), Haryanto Adikoesoemo (bos AKR Group), Franky Widjaja (Sinar Mas), juragan batu bara Kiki Barki, dan Sudhamek Agung Waspodo Sunyoto dari Garudafood.
Lama menunggu sambil makan-minum, para tamu undangan mulai cemas karena Presiden tak kunjung tiba di tempat acara. Untuk mengisi waktu, mereka diajak ke sana-kemari melihat-lihat ruang pertemuan, lalu diberi tahu tata acara dan siapa duduk di mana. Ketika Presiden tiba sekitar pukul 20.00, juragan tajir yang berjumlah 12 orang itu telah diatur agar duduk memanjang saling berhadapan.
Di ujung meja adalah sahibulhajat, yakni Presiden Yudhoyono, yang hanya didampingi Purnomo Yusgiantoro. Juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, yang diminta konfirmasi perihal pertemuan tersebut, bahkan mengaku tak tahu. "Sepanjang yang saya ketahui, tidak pernah ada pertemuan, apalagi pertemuan tertutup seperti dimaksud," katanya Jumat pekan lalu.
Sekitar satu seperempat jam setelah acara dibuka, Presiden berbicara dan bercerita rupa-rupa kisah sukses kepemimpinannya yang diakui dunia, termasuk masuknya Indonesia ke G-20, dan diperhitungkan komunitas internasional. Perekonomian juga dinilai berhasil, dengan pertumbuhan yang mencengangkan. Yudhoyono pun menyinggung soal kepandaiannya memasak nasi goreng dengan resep khusus yang jarang diketahui orang, disertai janji akan memasak buat para konglomerat itu suatu hari.
Di pengujung cerita-cerita itu, Presiden mengungkapkan keinginannya membikin tradisi baru pergantian kepemimpinan dengan serah-terima kepada penggantinya nanti, siapa pun dia. Yudhoyono mengaku prihatin sejarah pergantian presiden di republik ini tidak berlangsung mulus, tidak lancar, dan berjarak. "Dari Bung Karno ke Pak Harto berlangsung kurang baik, dari Pak Harto ke Habibie juga kurang baik. Dari Habibie ke Gus Dur kurang lancar, dari Gus Dur ke Bu Mega kurang bagus. Dari Mega ke saya berjarak," sumber Tempo menirukan ucapan Presiden.
Sampai di situ, sumber tersebut menambahkan, para pengusaha masih belum bisa menangkap pesan apa sebenarnya yang hendak disampaikan. Atau, kalau ada bantuan yang hendak diminta, apa bentuknya juga belum terang betul. "Tampaknya beliau sedang galau," ujar si sumber. "Wajah Presiden kurang bergairah, tampak capek."
Ketika pada akhirnya tiba giliran para pengusaha diminta berbicara atau bertanya, beragam isu dicoba diangkat. Budi Hartono, misalnya, mengeluhkan pengenaan tarif pajak 20 persen yang memberatkan dunia usaha. Ia berpendapat, daripada tarif tinggi tapi tak ditaati, mendingan angkanya diturunkan dan semua orang rajin membayar pajak. "Kapan sekiranya bisa terlaksana ide amnesti pajak, Pak?" ucap Budi. Presiden menjawab datar dengan mengatakan bahwa hal itu masih belum bisa dilaksanakan di sini.
Lalu Kiki Barki meminta konfirmasi tentang kabar adanya rencana penyederhanaan angka nominal uang dari seribu menjadi satu rupiah. Presiden spontan menjawab, "Saya pastikan bahwa itu tidak ada, Pak Kiki." Padahal yang dimaksud Kiki adalah rencana redenominasi rupiah yang akan dijalankan mulai 2018, bukan pemotongan uang semacam sanering. Ada juga yang mengeluh tentang tuntutan buruh yang makin menjadi-jadi. Salah satunya Setyono Djuandi Darmono. Yang lain memilih diam atau menitipkan pertanyaan lewat kolega yang lebih dulu berbicara.
Pertemuan berakhir pukul 22.45 tanpa kesimpulan apa-apa. Soal jebloknya nilai rupiah yang tadinya dikira akan menjadi salah satu poin permintaan Presiden kepada para pengusaha juga tak disampaikan sampai acara bubar. "Kami bingung juga," ujar salah satu undangan yang malam itu berhalangan datang. Sebab, kata dia, sebelum pertemuan itu, ia mendengar kabar bahwa pemerintah mulai resah melihat pergerakan rupiah. "Kami diberi tahu agar membantu pemerintah dengan memasukkan dolar dari rekening di luar negeri ke sini."
Saat bertemu dengan Tempo beberapa hari sebelum pertemuan tersebut, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa memang mengungkapkan kejengkelannya melihat ulah para eksportir besar yang tetap enggan menyimpan uangnya di dalam negeri. "Mereka ini sudah banyak dibantu ini dan itu. Sekarang, saat pemerintah susah dan perlu bantuan, mereka malah kabur," ucapnya.
Hatta marah karena para pengusaha itu menjual hasil tambang dan hasil kebun dari bumi Indonesia, sehingga sudah semestinya uangnya dibawa ke sini untuk memperkuat cadangan devisa. Ia lalu menghubungi Menteri Keuangan M. Chatib Basri melalui telepon dan mengatakan harus ada langkah segera untuk meminta para pengusaha membawa pulang uang hasil ekspor mereka.
TAK semua orang mengeluhkan rupiah yang melemah. Para pengumpul hasil bumi untuk pasar ekspor, seperti Jhoni Litan, 51 tahun, justru menganggap dua bulan belakangan adalah masa yang penuh keberuntungan. Dalam sebulan, Jhoni bisa 2-3 kali melakukan pengiriman ke Singapura, Hong Kong, atau kota lain di Cina. Sekali kirim mencapai 5-6 kontainer, yang berisi 7-8 ton pala. Sesekali ia mengirim cengkih, bahan obat-obatan, juga aneka bahan pangan lain.
Naiknya harga dolar atas rupiah justru semakin membuat gendut tabungan Jhoni. "Karena permintaan di luar tinggi, keuntungan pun cukup besar. Kami membeli pala di Ternate menggunakan rupiah, sementara harga jual di pasar luar negeri menggunakan dolar," kata pemilik pusat belanja terbesar di Ternate, Maluku Utara, itu Rabu pekan lalu. Harga sekilogram pala di pasar internasional berkisar US$ 22-25, sedangkan di Ternate ia beli dari petani Rp 100-150 ribu. "Di Ternate, ada enam pengumpul seperti saya," ujarnya.
Itu pula sebabnya gudang Jhoni tak pernah sepi. Dengan sekop dan timbangan, lima pekerjanya tak henti memenuhi karung-karung goni dengan pala dan menimbangnya. Di depan gudang 20 x 20 meter itu sudah menunggu tiga truk yang siap mengangkut karung-karung yang telah dijahit tersebut ke pelabuhan.
Tingginya harga biji pala dalam dua bulan terakhir juga dinikmati Samsudin, petani di Kelurahan Marikrubu, Kecamatan Ternate Tengah. "Sebelumnya berkisar Rp 80 ribu per kilogram, sekarang sudah mencapai Rp 110-120 ribu," katanya. Naiknya penghasilan membuat dia berani memesan sepeda motor baru dan menambah jatah bulanan buat anaknya yang kuliah di Yogyakarta. "Dua bulan ini harganya paling bagus."
Namun yang beruntung, seperti para petani dan pedagang hasil bumi di Sulawesi atau para eksportir tambang dan perkebunan di Sumatera dan Kalimantan, tidak sebanyak yang bakal jadi korban akibat pelemahan rupiah. Dengan inflasi tinggi dan pelemahan rupiah, daya beli masyarakat, terutama yang berpendapatan tetap, otomatis juga melemah.
Kamis pekan lalu, Menteri Hatta Rajasa mengakui era dolar murah sudah berakhir. "Ketika murah dulu itu tidak normal karena ada suntikan modal (quantitative easing) dari bank sentral Amerika senilai US$ 90 miliar yang masuk ke mana-mana. Tapi tapering off membuat dana itu balik lagi ke Amerika, sehingga rupiah tertekan," ujarnya. Namun Hatta yakin, sesuai dengan kondisi fundamentalnya, nilai tukar rupiah akan mencapai keseimbangan baru.
Ia tak membantah anggapan bahwa situasinya agak lebih buruk pada akhir tahun lalu, seiring dengan kebutuhan dolar melonjak akibat banyak perusahaan perlu membayar cicilan pinjaman sampai US$ 7,3 miliar. "Saya yakin nilai tukar rupiah akan lebih baik tahun ini karena melihat sudah ada penguatan, meski masih di level 12 ribu per dolar."
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menyebutkan nilai dolar di atas Rp 11.500 itu sudah overshoot atau kelewat tinggi. Sebagai perbandingan, pada pembukaan perdagangan 2 Januari 2013, kurs rupiah berada di level 9.650 per dolar. Pada penutupan perdagangan 31 Desember 2013, kurs dolar berada di posisi Rp 12.210, atau terjadi pelemahan rupiah 2.560 poin sepanjang tahun lalu.
Setahun ke depan, Mirza meyakinkan prediksi inflasi, neraca perdagangan, dan defisit fiskal akan lebih baik. Demikian pula faktor luar, seperti rencana tapering off di Amerika, sudah diantisipasi. "Maka kurs akan lebih stabil dan akan kembali terjadi capital inflows," ucapnya. "Yang harus di-push adalah upaya di sektor riil dan sektor energi untuk mengurangi defisit transaksi berjalan."
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa menilai langkah pemerintah memanggil para pengusaha agar memasok dolar lebih banyak ke sini tak akan efektif dan kurang adil. "Kalau mereka lihat rupiah bakal jeblok, ngapain simpan uang di sini? Ini melawan insting ekonomi mereka," katanya. "Yang diperlukan adalah respons kebijakan yang kondusif, sehingga mereka mau ekspansi."
Purbaya juga mengkritik Bank Indonesia yang dianggapnya keliru dalam memandang defisit transaksi berjalan. Menurut dia, defisit itu merupakan konsekuensi logis dari arus masuk investasi asing yang memicu naiknya impor barang modal. "Tapi BI justru ingin mengendalikan defisit dengan sengaja memperlemah rupiah. Setelah kurs lewat Rp 10 ribu, sentimen negatif mulai masuk, sekarang bablas dan mereka bingung sendiri."
Anggota Komite Ekonomi Nasional ini justru khawatir, bila sentimen negatif dikembangkan dengan terus menaikkan suku bunga, rupiah malah makin melemah di bawah nilai fundamentalnya. "Bunga yang terlalu tinggi akan membunuh ekonomi, dan itu langkah paling konyol. Susah-susah kita menciptakan momentum ini, sekarang mau dibunuh," ujarnya. Dia memperkirakan, jika BI Rate sampai di level 9 persen, ekonomi tak akan sanggup tumbuh. Kalau itu terjadi dalam enam bulan saja, Purbaya meramalkan Indonesia akan menghadapi resesi.
Y. Tomi Aryanto, Wahyu Muryadi, Martha Thertina, Budhy Nurgianto (Ternate)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo