Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aku pun bertolak dari tepi danau Galilea
Tiada pernah engkau menemukan aku saat
ikan-ikan mulai cerdas menghindar jala
Maka mustahil bagimu menemukan aku di
Balik panen raya ini
Penggalan sajak berjudul "Petrus" yang dipampangkan di layar itu tiba-tiba digumamkan saat rapat buku puisi terbaik 2013 pilihan Tempo. Para wartawan Tempo yang terlibat diskusi sejurus khidmat menyimak. "Lihat, sajak ini bertolak dari parabel-parabel Alkitab. Untuk memahami setiap kalimat, kita harus mengerti dulu kisah-kisah di Perjanjian Baru," kata Sapardi Joko Damono, yang diundang sebagai juri bersama Zen Hae.
Kami sore itu—sembari menyeruput kopi tubruk dan melahap keripik—membicarakan puisi-puisi Mario F. Lawi. Penyair asal Kupang itu masih sangat muda. Umurnya belum menginjak 22 tahun. Ia produktif. Sajaknya selama 2013 tersebar di berbagai media: Kompas, Sinar Harapan, Koran Tempo, dan sebagainya. Ia juga menerbitkan buku kumpulan puisi: Memoria. Baik yang tertebar di koran maupun terhimpun di buku, karyanya sarat imaji biblikal.
Dunia persilatan penyair kita pada 2013 cukup bergairah. Muncul kumpulan puisi penyair-penyair muda yang mengolah mitologi, sejarah, dan folklor. Dan di antaranya menyuguhkan pergulatan diksi dan imajinasi yang mengesankan. Selain Mario, bagi kami, yang paling menonjol adalah Deddy Arsya. Penyair kelahiran Pesisir Selatan, Sumatera Barat, berumur 26 tahun ini meluncurkan buku Odong-odong Fort de Kock. Odong-odong, kita tahu, adalah semacam permainan komedi putar untuk anak-anak. Sedangkan Fort de Kock adalah benteng peninggalan Belanda di Bukittinggi, Sumatera Barat. Sajak-sajak Deddy mengeksplor sejarah dan unsur lokal. Simak awal puisinya berjudul "Sirkus dari Insulinde":
Seorang dari Insulinde, datang dini hari
mungkin kereta hantu tersesat dalam diam waktu
telah membawanya ke sini
Pembaca, sementara pada 2012 untuk pemilihan buku sastra terbaik kami hanya memilih sebuah buku, kini kami membagi dua kategori: prosa dan puisi. Kami juga merekomendasikan buku-buku sastra dari 2013 yang layak baca. Tentu saja, dalam memilih karya sastra itu, kami tak mengikutsertakan buku sastra yang dibuat oleh warga Tempo sendiri. Pada Maret tahun lalu, misalnya, Goenawan Mohamad menerbitkan kumpulan puisi Gandari dan Sejumlah Sajak. Itu kami keluarkan dari penilaian.
Diskusi-diskusi menentukan karya sastra pilihan ini sendiri cukup berat. Salah satu fokus kami adalah melihat bagaimana penyair atau penulis cerita mampu mengolah bahan-bahan yang menjadi dasar penciptaannya. Banyak penyair yang bertolak dari sejarah, tapi puisinya hanya menjadi semacam informasi sejarah. Itu karena ia belum betul-betul mengunyah dan menginternalisasi data tersebut menjadi miliknya sendiri secara khas. Deddy, menurut kami, memiliki kemampuan mencerna dan memberi makna lain terhadap sejarah.
Maka kumpulan sajaknya, Odong-odong, kami pilih sebagai kumpulan sajak terbaik 2013. Kami juga memutuskan kumpulan cerpen A.S. Laksana, Murjangkung, sebagai karya prosa terbaik dibandingkan dengan Maya, novel Ayu Utami yang terbit Desember lalu. Itu lantaran Sulak—demikian Laksana biasa dipanggil—sanggup mendekati realitas dengan cara pandang yang ironis. Tuan Jan Pieterszoon Coen, misalnya, ia main-mainkan menjadi sosok Murjangkung. Keterampilannya menjungkirbalikkan fakta makin lama makin lihai.
Selain memilih sastra, kami memilih seni pertunjukan. Tahun ini banyak hal dari teater kita yang bisa dicatat. Teater Garasi, misalnya, menerima Prince Claus Award. Itu membanggakan. Teater Studio Indonesia, kelompok "physical theater" dari Serang, November lalu membuka Festival Tokyo—festival internasional prestisius di Jepang—dengan karya Overdose: Psycho Catastrophe. Pentas outdoor di Taman Ikebukuro—taman di samping Tokyo Metropolitan Theater—itu berlangsung empat kali.
Tiga minggu menjelang keberangkatan ke Tokyo sesungguhnya terjadi tragedi. Sutradara Teater Studio, Nandang Aradea, tiba-tiba meninggal karena pembuluh darah otaknya pecah setelah latihan. Panitia Festival Tokyo panik. Para aktor syok. Tapi show must go on. Mereka tetap berangkat ke Tokyo. Di sana mereka membangun konstruksi yang menggunakan ratusan batang bambu. Konstruksi itu berupa kubah setinggi 10 meter, lebar 9 meter, dan panjang sekitar 15 meter. Sebuah pohon kayu utuh digantungkan di tengah konstruksi gigantik itu. Inspirasi utama Nandang (almarhum) dengan karyanya itu adalah ledakan Krakatau pada 1883 yang menghancur-leburkan wilayah Anyer, Merak, Banten.
Tokyo pada November itu sangat dingin. Tapi, di udara 10 derajat Celsius, para aktor Teater Studio memanjat, merayap, bergelantungan, dan berdiri di puncak ketinggian bambu. Mereka menciptakan situasi chaos. Mereka berayun-ayun dari satu bambu ke bambu lain. Mereka naik di atas batang kayu yang bergerak. Mereka memutar-mutar liar pohon itu membentur bambu-bambu. Semua adegan membutuhkan tubuh yang sigap. Sekali lengah, mereka bisa jatuh dari ketinggian. Sekali tertumbuk kayu pohon, mereka terluka. Direktur Festival Chiaki Soma, yang empat kali menonton pertunjukan, sampai berkata, "Ini pentas yang sangat-sangat berbahaya. Ini mengingatkan saya pada tsunami di Jepang."
Pada 2013, Teater Satu, Lampung, juga mempertahankan kualitas pertunjukannya. Sementara pada 2012 mereka secara bagus mengadaptasi naskah Sam Shepard, Buried Child, ke latar konflik tanah berdarah Mesuji, tahun lalu mereka menampilkan The Death and the Maiden. Naskah Ariel Dorfman ini berbicara mengenai pemerkosaan aktivis di Cile. Pementasan ini menggetarkan karena permainan Iswadi Pratama dan kawan-kawan mampu membawa kita ke persoalan penculikan-penculikan aktivis kita sendiri.
Teater Gandrik mementaskan naskah Gundala Gawat karya Goenawan Mohamad. Pentas mereka sangat kocak. Naskah ini kemudian juga dipanggungkan Teater Lungid, Solo. Sedangkan tahun lalu Happy Salma memainkan secara monolog sosok Inggit, istri Sukarno. Dan Ratna Sari Madjid menjadi tokoh ibu dalam naskah Bertolt Brecht yang terkenal, Mother Courage, selama empat jam dalam pentas Teater Koma. Festival Teater Jakarta memenangkan Teater Ghanta yang menyajikan Kapai-kapai karya Arifin C. Noer. Di tangan Teater Ghanta, naskah Arifin ini terasa segar. Teater Ghanta sendiri menjadi harapan baru bagi perteateran Jakarta.
Akan halnya Aidil Usman, penata panggung, berusaha membangkitkan Gumarang Sakti yang vakum setelah kematian Gusmiati Suid dan ditinggalkan Boy G. Sakti. Ia menghimpun generasi kedua penari Gumarang Sakti, seperti David, Jeffriandi Usman, dan Maria Bernadetha. Dan pentas mereka ternyata cukup energetik. "Kami berusaha tiap tahun pentas atas nama Gumarang Sakti," katanya.
Dari semua itu, kami memilih sutradara Landung Simatupang. Landung mementaskan Endgame karya absurd Samuel Beckett. Lima belas tahun lalu, di kala masyarakat kita berada dalam keinginan besar meninggalkan Orde Baru, ia sudah mementaskan naskah ini. Tokoh-tokoh Beckett adalah empat orang cacat fisik dan mental: Hamm, Clov, Nagg, dan Nell. Suasana absurd Beckett dipertahankan. Pertunjukan sangat menekan. Landung saat itu ingin menunjukkan bahwa naskah ini bisa menjadi metafor bagi suasana Orde Baru yang antipercakapan—penuh kontrol dan tak ada kebebasan.
Endgame Landung tahun lalu tetap suram. Hamm masih buta, lumpuh teronggok di sebuah kursi kayu beroda. Clov idiot. Nagg dan Nell tinggal dalam sebuah tong. Sesekali kepala mereka menyembul, merintih meminta bubur. Namun suasana agak encer. Pasca-reformasi, menurut Landung, orang menjadi seenaknya. Sosok Hamm ceriwis dan letupan kalimatnya penuh kata-kata kurang ajar dan urakan.
Landung juga kami pilih karena konsistensinya mementaskan dramatic reading. Pada 1980-an, di Yogya, ia membacakan cerpen panjang Umar Kayam, Sri Sumarah. Orang teringat bagaimana kuat dan mengharukannya pembacaan Landung saat itu. Dan kini ia menyajikan seri dramatic reading mengenai Diponegoro. Naskah ia buat sendiri dari buku-buku seperti Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 karya Peter Carey. Dramatic reading ini ia awali di bekas kediaman Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Merkus de Kock di Magelang. Tahun ini akan dilanjutkan ke Ndalem Tegalrejo, Yogyakarta; Museum Fatahillah, Jakarta; dan Benteng Rotterdam di Makassar. Semuanya adalah tempat yang pernah diinjak Diponegoro. Di tiap lokasi itu naskah yang dibaca Landung akan berbeda.
UNTUK menentukan album musik terbaik, kami mengundang pengamat musik Denny Sakrie dan David Tarigan. Ini diskusi paling enak. Sebab, sembari mengemil rujak, kami mendengarkan puluhan album. Setiap album lalu kami bahas. Kami mulanya menyeleksi lebih dari 100 album band dan penyanyi Indonesia. Kami kemudian menyaringnya menjadi 10 album dan kemudian memilih satu untuk album terbaik Tempo 2013.
Setelah perdebatan di sana-sini, pilihan awalnya mengerucut menjadi dua album: Daur, Baur (Pandai Besi) dan Roekmana's Repertoire (Tigapagi). Agak susah menentukan karena sama-sama kuat. Akhirnya kami memilih Daur, Baur dari Pandai Besi. Pandai Besi adalah sebuah proyek musik yang dilakukan dua personel Efek Rumah Kaca, Cholil dan Akbar. Cholil dan Akbar berusaha menafsir ulang, me-remake karya-karya mereka di Efek Rumah Kaca.
Ini menarik. Sebab, ini bisa berisiko: fans mereka yang sudah telanjur menyukai versi orisinal tak begitu menyukai versi terbaru. Cholil dan Akbar berusaha membawa lagu-lagu Efek Rumah Kaca menuju petualangan yang lebih liar. Dan, menurut kami, mereka bisa menyajikan lebih dalam dibanding karya orisinalnya. Mereka berhasil melepaskan diri dari embel-embel Efek Rumah Kaca. Daur, Baur terasa memiliki jiwa yang lain dengan "baju lama"-nya. Pendengar yang telah akrab dengan lagu aslinya mendapat pengalaman berbeda.
Yang menarik, rekaman album Daur, Baur dilakukan Pandai Besi secara live di studio rekaman tertua milik pemerintah, Lokananta, di Surakarta, Jawa Tengah. Lokananta adalah studio rekaman legendaris. Di sana terdapat ribuan koleksi piringan hitam dari musik gamelan sampai keroncong. Tapi semuanya kini agak terbengkalai karena tidak mendapat perhatian pemerintah. Untuk masalah biaya produksi, Pandai Besi menerapkan konsep crowdfunding atau menggalang dana dari para penggemar. Ini salah satu solusi yang bagus di tengah kelesuan industri musik. Produk album Daur, Baur, selain berupa kaset dan CD yang jumlahnya terbatas, asyiknya ada yang berbentuk vinyl alias piringan hitam.
AKAN halnya seni rupa, tak banyak pameran tunggal yang kuat pada 2013. Rata-rata merupakan pameran gabungan. Kalau toh ada, beberapa yang tercatat adalah pameran tunggal Nyoman Erawan di Bali, Djoko Pekik, Nasirun, dan Entang Wiharso di Jakarta. Dua yang disebut terakhir memiliki energi yang tinggi. Nasirun melukis di atas kertas kecil berjumlah ratusan. Sedangkan Entang menampilkan relief-relief kuningan bergambar dunia yang absurd. Lalu ada pameran pegrafis muda Agung Prabowo, yang memenangi Trienal Seni Grafis 2012 Bentara Budaya. Pamerannya yang bertajuk "Natural Mystic" memajang karya-karya dengan memakai teknik cukilan lino yang cukup membawa kesegaran.
Tahun lalu, pameran skala besar ArtJog mengambil tema maritim. Dan Biennale Jogja, yang bertema "Equator", menampilkan karya-karya perupa Mesir, Arab Saudi, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, dan Indonesia. Akan halnya Jakarta Biennale mengambil tajuk "Siasat".
Dari semua itu, kami memilih pameran tunggal F.X. Harsono di Jogja National Museum. Bambang Bujono, kritikus seni rupa dan salah satu juri, sepakat dengan pilihan ini. Judul pameran Harsono tak biasa: "What We Have Here Perceived as Truth We Shall Some Day Encounter as Beauty". Pameran ini menampilkan isu identitas Tionghoa.
Sepanjang lima tahun terakhir, Harsono memang menggeluti isu identitas Tionghoa. Bertemakan isu ini, dia menggelar pameran di Jakarta, Yogyakarta, dan Singapura. Terakhir, pada 2011, ia berpameran di Langgeng Art Foundation, Yogya, dengan tajuk "Re: Petisi/Posisi". Dan, di Jogja National Museum, tema itu makin didalaminya. Asal-muasal Harsono tertarik pada isu itu adalah saat ia menemukan foto-foto tua hasil jepretan ayahnya di Blitar. Ayah Harsono, Oh Hok Tjoe, adalah seorang "Mat Kodak" di Gang Tjoe Tin, Blitar, pada 1940-an. Sang Bapak menjadi saksi mata pembunuhan orang-orang Tionghoa di desa-desa sekitar Blitar pada 1947-1949. Jepretan ayahnya yang "mengharubirukan" Harsono berupa foto-foto penggalian 127 tengkorak korban pembantaian yang kemudian dimakamkan di pekuburan Cina, Bong Belung (makam belulang), di Karangsari, Blitar.
"Saya menginginkan sebuah karya yang bertolak dari arsip," kata Harsono. Dia kemudian melakukan perjalanan memburu kuburan massal pembantaian Tionghoa lainnya. Ia menyusuri kuburan-kuburan di Tulungagung, Kediri, Muntilan, dan Yogyakarta. Ia membuat karya dengan mencetak nama korban pembantaian itu dalam huruf Cina langsung dengan goresan tangannya memakai pastel merah di atas kain panjang putih.
Bersamaan dengan itu, ia mulai mengaduk-aduk ketionghoannya yang selama ini diselimuti kekatolikannya. Harsono beragama Katolik, bukan Buddha atau Konghucu. Agama itu dia dapat dari sang nenek yang Katolik Kejawen. Pencarian identitas ia mulai dari mempertanyakan kapan pertama kali kaum Tionghoa datang ke Jawa. Harsono membuat sebuah perahu kayu berisi tumpukan lilin elektronik berwarna merah. Lalu diberi judul Perjalanan ke Masa Lalu/Migrasi l pada Tahun 414 Masehi. Itu refleksinya atas kisah Faxian, rahib Tionghoa yang terdampar di Jawa pada 414 dan dipercaya sebagai orang Cina pertama yang mendarat di Jawa.
Sekali waktu Tempo bertemu dengan Harsono dalam acara haul 100 hari wafatnya Go Tik Swan di Solo. "Saya sedang meneliti nama tokoh-tokoh Cina yang berubah dan tak berubah," ujarnya saat itu. Nama asli Harsono adalah Oh Hong Boen. Tapi nama itu tak pernah dipakainya. Ia lalu membuat karya: menuliskan nama aslinya di 135 lembar kertas dalam aksara Cina. Ia juga membuat video instalasi berjudul Menulis dalam Hujan. Dalam video itu, Harsono terus-menerus menorehkan nama Oh Hong Boen dalam aksara Cina dengan tinta hitam meski terus diguyur air. Tinta segera pupus begitu menyentuh kaca yang basah.
Pembaca, inilah pilihan kami: tokoh seni 2013 dalam bidang sastra, musik, seni pertunjukan, dan seni rupa. Ars longa, vita brevis.
Tim Edisi Khusus Tokoh Seni Pilihan Tempo 2013 Penanggung jawab: Seno Joko Suyono Kepala proyek: Nurdin Kalim, Dodi Hidayat Penyunting: Seno Joko Suyono, Purwanto Setiadi, YosRizal Suriaji, Idrus F. Shahab Penulis: Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, Dodi Hidayat, Raihul Fadjri, Zen Hae Penyumbang bahan: Ananda Badudu, Anang Zakaria (Yogyakarta), Febrianti (Padang) Bahasa: Iyan Bastian, Sapto Nugroho, Uu Suhardi Periset foto: Nita Dian, ijar karim Desain: Aji Yuliarto, Djunaedi, Eko Punto Pambudi, Rizal Zulfadli, tri watno widodo Digital imaging: anindyajati handaruvitri |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo