Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama, Siti Aminah, mengatakan pihaknya sedang menggodok pemberian sanksi untuk pelaku usaha yang belum melakukan sertifikasi halal.
"Sesuai regulasi ya itu Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 dan UU 6 Tahun 2023. Sekarang kami sedang menyusun perubahan yang berkaitan dengan tahapan kewajiban bersertifikat halal," ucap Siti pada Rabu, 8 Mei 2024.
Siti mengingatkan, bagi pelaku usaha yang belum melakukan sertifikasi sampai 17 Oktober 2024, akan dikenakan sanksi sebanyak dua kali. Sanksi pertama adalah teguran dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH). Setelah itu, sanksi kedua berupa larangan produk untuk diedarkan, jika teguran diabaikan.
Saat ini, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) sedang melakukan sosialisasi dan mengedukasi pelaku usaha khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) melakukan sertifikasi halal. Menurut Direktur Utama LPPOM, Muti Arinta Wati, sampai sekarang, ada 125 pelaku usaha di Indonesia yang diberi fasilitas sertifikasi gratis dari LPPOM MUI.
Sebelum mendaftarkan sertifikat halal, para pelaku usaha harus memenuhi beberapa syarat sesuai Keputusan Kepala BPJH Nomor 33 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pendamping Proses Produk Halal dalam Penentuan Kewajiban Bersertifikat Halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil yang Didasarkan atas Pernyataan Pelaku Usaha.
Dilansir dari kemenag.go.id, berikut adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi pelaku usaha untuk mendaftar sertifikat halal usaha kecil:
- Produk tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan halal;
- Proses produksi dipastikan halal dan sederhana;
- Hasil penjualan tahunan maksimal Rp500 juta yang dibuktikan dengan pernyataan mandiri dan memiliki modal usaha sampai maksimal Rp2 miliar;
- Memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB);
- Memiliki lokasi, tempat, dan alat proses produk halal (PPH) yang terpisah dengan lokasi, tempat, dan alat proses produk tidak halal;
- Memiliki atau tidak memiliki surat izin edar (PIRT/MD/UMOT/UKOT), Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk produk makanan atau minuman dengan daya simpan kurang dari tujuh hari atau izin industri lainnya atas produk yang dihasilkan dari dinas atau instansi;
- Memiliki outlet atau fasilitas produksi paling banyak satu lokasi;
- Aktif berproduksi satu tahun sebelum permohonan sertifikasi halal;
- Produk yang dihasilkan berupa barang, bukan jasa atau usaha restoran, kantin, catering, atau rumah makan;
- Bahan yang digunakan sudah pasti halal dibuktikan dengan sertifikat halal atau termasuk daftar bahan sesuai Keputusan Menteri Agama Nomor 1360 Tahun 2021 tentang Bahan yang Dikecualikan dari Kewajiban Bersertifikat Halal;
- Tidak menggunakan bahan berbahaya;
- Diverifikasi halal oleh pendamping PPH;
- Jenis produk yang disertifikasi halal tidak mengandung unsur hewan hasil sembelihan, kecuali berasal dari produsen atau rumah potong hewan bersertifikasi halal;
- peralatan produksi dengan teknologi sederhana, manual, atau semi otomatis (usaha rumahan bukan usaha pabrik);
- Proses pengawetan produk yang dihasilkan tidak menggunakan teknik radiasi, rekayasa genetika, penggunaan ozon, dan kombinasi beberapa metode pengawetan (teknologi hurdle); serta
- Melengkapi dokumen pengajuan sertifikat halal dengan mekanisme pernyataan pelaku usaha secara online melalui SIHALAL.
DESTY LUTHFIANI
Pilihan Editor: 80 Persen UMKM di Sumut Belum Miliki Sertifikat Halal, Kemenkop UKM Fasilitasi 1.000 Sertifikat Gratis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini