Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Desainer muda asal Bandung mengolah baju bekas menjadi pakaian bernilai tinggi.
Penggunaan baju bekas bisa menekan emisi karbon dan penggunaan air.
Thrifting tak memicu tren fashion baru.
KAMAR berdinding beton seluas 20 meter persegi itu menjadi ruang kreasi bagi Callista Aldenia Nugraha. Hampir setiap hari, selepas menyantap sarapan, remaja 16 tahun itu merancang dan mengolah kain dan baju bekas menjadi busana bernilai tinggi. Siapa sangka ruang bekas garasi rumah Callista di kawasan Mekar Wangi, Kota Bandung, itu bisa mencetak busana demikian. Baju bekas hasil thrifting atau belanja murah yang diolah Callista digemari oleh penyanyi Amerika Serikat, Billie Eilish. Eilish, kata Callista, memborong delapan potong baju buatannya. “Kostum untuk Billie Eilish semuanya aku sablon sendiri di garasi,” Callista bercerita kepada Tempo pada Kamis, 30 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar dua tahun lalu atau pada awal masa pandemi Covid-19, Callista mulai berjualan baju bekas bersama ibunya, Sonia Dewi Wiriadinata. Dari hanya menjual baju-baju itu seharga Rp 150 ribu per potong, Callista berpikir untuk mengolah dan merancang ulang busana hasil thrifting di Bandung dan Jakarta tersebut. Siswi kelas XI sekolah menengah atas ini membuat berbagai model busana, seperti wavy shirts, sweater, kemeja lengan panjang, serta kaus panjang dengan ritsleting.
Idenya datang dari banyak sumber, dari baju yang dipajang di mal hingga baju bekas hasil thrifting yang memang berdesain unik. Baju rancangannya lantas dijual dengan jenama Dressed Like Parents. Baju untuk Billie Eilish, Callista menjelaskan, pun berasal dari sweater hasil thrifting di sebuah toko online. Pada salah satu baju dia menambahkan motif garis-garis biru dengan tulisan “90’s Night Mare” berwarna merah. Dengan modal ratusan ribu rupiah, Callista bisa meraup Rp 21 juta dari pesanan Eilish. "Billie Eilish memang suka baju yang nyentrik, yang enggak biasa," tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak cuma memikat Billie Eilish, baju hasil thrifting yang dirancang ulang oleh Callista juga berhasil mencuri hati Claire Elise Boucher atau Grimes, penyanyi asal Kanada dan mantan pasangan bos Tesla Inc, Elon Musk. Sayangnya, dia tak sempat membuat produk pesanan Grimes karena harus bersekolah. Adapun pesanan Eilish ia buat di masa pandemi, saat bisa bersekolah di rumah. Lantaran para pesohor ini pula Callista bisa mendulang rupiah. Sebagai gambaran, dengan modal baju thrifting sekitar Rp 30 ribu, dia bisa menghasilkan kostum senilai Rp 6 juta.
Karya Callista pun menuai pujian dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Menurut Sandiaga, pemanfaatan baju bekas, terutama buatan dalam negeri, harus didukung. "Apalagi dia (Callista) pakai bukan impor, tapi pakaian bekas yang ada di Indonesia dan banyak,” ujar Sandiaga di kantornya pada Senin, 20 Maret lalu. Karena itu, Sandiaga berpendapat, pemerintah harus memastikan kebijakan tentang baju bekas diarahkan untuk memberdayakan para pelaku usaha kecil-menengah. “Seandainya ada pelaku bisnis yang bisa mendaur ulang atau mendesain ulang pakaian bekas, bisa menggunakan bahan pakaian bekas yang sudah ada di Indonesia,” ucapnya.
•••
THRIFTING baju bekas terus menuai pro-kontra. Sebagian kalangan menilai jual-beli baju bekas, terutama yang diimpor dari berbagai negara, merugikan industri dalam negeri. Dengan alasan ini pula pemerintah kemudian melarang impor baju bekas sejak beberapa tahun lalu. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki mengatakan ada 25 ribu ton pakaian bekas impor ilegal yang masuk ke Indonesia. Dari jumlah itu, sekitar 350 ribu potong beredar setiap hari dan merugikan industri skala kecil-menengah.
Di luar persoalan impor ilegal, pemanfaatan baju bekas bisa jadi bernilai positif. Selain memacu kreativitas yang menghasilkan nilai tambah, baju bekas memberikan manfaat lingkungan. Menurut riset L'Institut d'Investigació Tèxtil i de Cooperació Industrial de Terrassa (Intexter), lembaga di bawah Universitat Politècnica de Catalunya, Spanyol, penggunaan kembali 1 kilogram pakaian bisa mengurangi 25 kilogram karbon dioksida. "Jika dapat menggandakan masa pakai bahan garmen, kita akan mengurangi emisi gas rumah kaca industri mode hingga 44 persen," kata Direktur Intexter Enric Carrera seperti dikutip dari Phys.org.
Senada dengan itu, lembaga riset asal Inggris, Waste & Resources Action Programme, pada 2017 menyatakan perpanjangan usia aktif pakaian dalam sembilan bulan akan mengurangi jejak karbon, air, dan limbah sebesar 20-30 persen. Dalam laporan berjudul "Valuing our clothes: the cost of U.K. fashion" yang dirilis pada 2017, peningkatan penjualan barang bekas sebesar 10 persen dapat menghemat 3 persen emisi karbon dan 4 persen air. Usia pakaian bisa diperpanjang dengan memanfaatkan kembali baju atau celana lama.
Senior engineer Badan Riset dan Inovasi Nasional, Nugroho Adi Sasongko, mengatakan pengolahan ulang baju bekas memberikan dampak lingkungan, seperti emisi karbon yang lebih kecil ketimbang produk baru. "Menjadi hal positif jika kegiatan ekonomi sirkular bisa berjalan," ujarnya pada Jumat, 31 Maret lalu. Tapi, Nugroho mengingatkan, pakaian bekas bisa mendatangkan penyakit. "Salah satu penyakit berat yang bisa muncul dari pakaian bekas adalah kanker. Untuk mencegah hal itu, harus ada kontrol ketat."
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan transaksi pakaian bekas bisa menjadi sinyal perlawanan terhadap budaya fast fashion yang dinilai buruk oleh banyak kalangan, terutama pemerhati lingkungan. Fast fashion yang ia maksudkan adalah produksi massal pakaian untuk memanfaatkan tren tertentu. “Padahal industri tekstil itu boros listrik dan air,” tuturnya pada Jumat, 31 Maret lalu.
Callista Aldenia saat proses membuat pesanan pakaian Billie Eilish dari pakaian bekas. Dokumentasi Pribadi
Tren thrifting pakaian bekas, Bhima menambahkan, bisa berdampak positif karena menciptakan lapangan kerja di sektor retail. Tapi dia juga menyoroti importir pakaian bekas ilegal yang bisa merugikan negara karena tidak membayar pajak dan bea masuk. Ulah mereka pun menciptakan kompetisi tidak sehat dengan industri lokal. “Padahal sebagian besar pakaian bekas itu awalnya donasi, kemudian disalahgunakan dengan dijualbelikan,” ucapnya. Dia menambahkan, sekitar 60 persen pakaian bekas impor cacat dan tidak layak pakai. “Tapi tetap dijual ke konsumen."
Dari sisi mode, pengajar Program Studi Desain Mode Institut Kesenian Jakarta, Sonny Muchlison, menilai thrifting pakaian bekas menjadi fenomena karena terjadi di tengah penurunan daya beli. Dia juga menyebut fenomena ini sekadar latah atau konsumsi massal dan tak memicu tren fashion baru. "Agar mereka tetap bisa modis dengan bujet terbatas," ujarnya.
Sonny juga mengkritik industri tekstil di Indonesia yang hanya menjadi penggarap pesanan dari jenama ternama di luar negeri tanpa bekerja sama dengan desainer lokal. Ibarat senjata makan tuan, produk buatan mereka yang diekspor ke luar negeri kemudian kembali ke Indonesia. Salah satunya dalam bentuk pakaian bekas merek ternama yang kini mengancam industri lokal. Di titik ini, impor baju bekas dan thrifting menjadi ironi. Khory Alfarizy
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo