Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para pejabat negara memakai media sosial untuk memoles citra.
Dimulai dari Jokowi turun ke Mahfud Md lalu Sri Mulyani.
Kisruh bekerja sibuk memoles citra.
JIKA saja Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. tak sepotong-sepotong mengungkap transaksi janggal Rp 300 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan, barangkali masyarakat tak akan terseret dalam kebingungan massal. Apalagi sebagian informasi itu disampaikan Mahfud di media sosial tanpa penjelasan lebih jauh. Alih-alih terang benderang, kegaduhan menjadi-jadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang dilakukan Mahfud menggambarkan watak pejabat kita yang gemar mencari popularitas di media sosial. Contoh paling nyata terlihat ketika mereka didera persoalan. Alih-alih menyelesaikan akar masalahnya, mereka buru-buru mempermak citra di media sosial lebih dulu. Saat pegawai Kementerian Keuangan disorot karena gaya hidup mewah, Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta anak buahnya tak pamer kekayaan di media sosial. Berikutnya, Sri Mulyani mengumpulkan para pemengaruh di media sosial, yang dapat dibaca sebagai upaya menggalang opini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seruan serupa dari Presiden Joko Widodo mempertegas bahwa media sosial telah menjadi parameter kebijakan. Tanpa tindakan nyata membereskan pokok soalnya, instruksi semacam itu dapat dibaca sebagai pesan: boleh melakukan korupsi, tapi jangan pamer di media sosial. Kalaupun seruannya jangan melakukan korupsi, meminta pejabat tak memperkaya diri dengan duit haram, tapi melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, sama saja dengan hipokrisi.
Kekonyolan tak habis di situ. Sejumlah pejabat menggunakan percakapan di media sosial untuk mengukur indeks kepercayaan publik. Kita tahu percakapan di media sosial terkadang dimanipulasi oleh para pemengaruh, pendengung, hingga bot. Dalam sejumlah kejadian, buzzer dan influencer mencuit karena diorder orang dekat pejabat, sebagaimana diungkap dalam hasil riset Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial pada 2021.
Bagi politikus seperti Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan, data media sosial diklaim sebagai big data untuk mendorong penundaan pemilihan umum. Entah bagaimana metode pengolahan datanya karena Luhut tak pernah mau membukanya. Dia sesumbar ada 110 juta orang yang mendukung penundaan pemilu. Sungguh berbahaya jika keputusan yang bisa mengubah perjalanan Republik didasarkan pada informasi sumir dari media sosial.
Baca liputan:
Ini bukan kekhawatiran yang dibuat-buat. Di Inggris dan Amerika Serikat, hal demikian pernah terjadi. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa sedikit-banyak terjadi berkat kampanye manipulatif politikus pendukung Brexit di media sosial. Hasilnya, mereka memenangi referendum pada 2016. Maraknya misinformasi, termasuk yang disebarkan Donald Trump di media sosial, turut memenangkan politikus Partai Republik itu dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun yang sama.
Karena media sosial penuh kepalsuan, menjadikannya sebagai berhala, apalagi dalam membuat kebijakan, akan mendatangkan mudarat. Kebijakan dibuat tak berdasarkan kepentingan khalayak nyata, melainkan untuk menyenangkan para pemuja di dunia maya. Teranglah sudah, media sosial telah menjauhkan para pengambil kebijakan dari realitas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo