Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Ancaman Krisis Ekonomi di Pemerintahan Prabowo Subianto

Defisit transaksi berjalan mengancam ekonomi Indonesia. Nilai rupiah bisa makin terperosok sehingga memicu krisis ekonomi.

1 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Indonesia masih bisa terhindar dari krisis ekonomi.

  • Membengkaknya defisit neraca transaksi berjalan memicu kian lesunya kurs rupiah.

  • Krisis ekonomi tak terhindarkan jika Prabowo Subianto tak mengoreksi kebijakan Jokowi.

MARAKNYA demonstrasi mahasiswa belakangan ini menimbulkan perasaan déjà vu. Apakah kita berada di ambang krisis besar ala 1998? Seperempat abad silam, krisis ekonomi bermula dari jatuhnya nilai rupiah yang dampaknya merambat ke perbankan hingga akhirnya memicu kerusuhan sosial. Pemerintah pun jatuh. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untungnya belum ada gelagat kuat bahwa krisis bisa segera meletus. Ada beberapa alasan untuk mendukung optimisme itu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang terpenting adalah industri perbankan relatif masih sehat saat ini. Rata-rata rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) bank hanya 2,26 persen per Juni 2024. Ini angka yang baik, jauh di bawah batas aman 5 persen. Masalah paling serius yang membuat industri perbankan roboh pada 1998 juga belum terlihat. Kala itu pelanggaran batas maksimal pemberian kredit kepada para konglomerat pemilik bank sungguh meluas. 

Gejolak di pasar keuangan global sepanjang pekan ini juga mereda. Inflasi di Amerika Serikat melunak dan bunga rujukan The Federal Reserve segera turun. Setidaknya untuk sementara kurs rupiah kembali stabil. Walhasil, ekonomi Indonesia masih aman. 

Namun bukan berarti semuanya sedang baik-baik saja. Dari luar, masih ada ancaman yang bisa membuat pasar finansial global kembali terguncang-guncang karena konflik geopolitik ataupun koreksi harga saham yang sudah telanjur amat tinggi. Dari dalam negeri juga ada indikator penting yang masih terus memburuk. Jika berlanjut, pemburukan itu bisa mengancam stabilitas ekonomi Indonesia.

Salah satunya neraca transaksi berjalan sepanjang semester I 2024 yang tercatat defisit US$ 5,43 miliar, jauh lebih buruk ketimbang pada periode yang sama tahun lalu, yang mencatatkan surplus US$ 350 juta. Artinya, devisa yang masuk dari perdagangan dan jasa lebih kecil ketimbang yang keluar. Pasokan dolar di dalam negeri pun menurun, yang berisiko menekan nilai rupiah.

Defisit itu bisa jauh lebih besar seandainya investor di pasar keuangan tidak kembali masuk ke Indonesia. Di waktu yang sama, ada dana investasi portofolio yang masuk senilai US$ 1,2 miliar. Pasar finansial kembali berperan menjadi pintu masuk pasokan dolar ke dalam negeri. 

Ini pesan penting pertama bagi Prabowo Subianto selaku presiden terpilih: jangan mengambil kebijakan yang melawan pasar. Jika defisit neraca transaksi berjalan kian besar, sementara di saat yang sama sentimen pasar terhadap Indonesia berubah negatif karena kebijakan yang keliru, nilai rupiah bisa terperosok lebih dalam. Ini bibit krisis yang berbahaya.

Sementara itu, keadaan sektor riil juga tidak sedang baik-baik saja meskipun Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen setahun. Persoalan ini menyentuh orang kebanyakan yang merasakan betapa hidup terasa makin susah. Inilah buah pahit kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo yang sepuluh tahun terakhir lebih memprioritaskan kebijakan yang menguntungkan korporasi besar pengeruk sumber daya alam.

Beratnya situasi di segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tecermin pada rasio kredit bermasalah yang terus meningkat di sektor “ekonomi rakyat” ini. Per akhir Juni 2024, angka NPL di sini mencapai 4,7 persen, nyaris melampaui batas aman.

Tingkat pertumbuhan kredit di segmen ini juga melambat, 5,68 persen pada Juni 2024, menunjukkan kegiatan ekonomi yang makin lesu. Akibatnya, porsi kredit UMKM pelan tapi pasti terus menurun semenjak berakhirnya masa pandemi Covid-19. Porsi kredit UMKM kini tinggal 19,6 persen dari total kredit perbankan, turun ketimbang 20,9 persen pada Juni 2024.

Secara riil, ketimpangan ekonomi ini juga terasa dari makin maraknya kabar tentang pemutusan hubungan kerja massal di berbagai bidang industri. Pekerja tetap akhirnya harus terdegradasi ke kelas prekariat, mereka yang harus menyambung hidup dalam ketidakpastian penghasilan tanpa jaminan bisa menikmati kehidupan yang layak.

Kondisi “ekonomi rakyat” yang kian susah merupakan pesan penting kedua buat Prabowo Subianto: harus ada koreksi terhadap kebijakan ekonomi ala Jokowi. Jika ia malah melanjutkan kekeliruan itu, sangat timpang memprioritaskan korporasi besar, bukan tak mungkin segala bibit krisis itu berbiak pelan-pelan. Krisis ekonomi bisa meledak di masa pemerintahannya nanti.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jalan Mencegah Krisis Ekonomi"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus