Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN itu berlangsung tertutup di salah satu ruangan Hotel Novotel Bangka, Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, pada Februari 2018. Belasan pengusaha smelter timah duduk meriung membentuk huruf U. Kepala Kepolisian Daerah Bangka Belitung saat itu, Brigadir Jenderal Syaiful Zachri, duduk di depan memimpin acara dengan didampingi Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Bangka Belitung periode 2016-2019, Mukti Juharsa, yang saat itu masih berpangkat komisaris besar. Bahasan utama mereka adalah minimnya produksi bijih timah di PT Timah Tbk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu pengusaha yang hadir adalah pemilik CV Venus Inti Perkasa, Tamron Tamsil. Kini pria yang akrab disapa Aon itu berstatus terdakwa kasus korupsi tata niaga timah PT Timah di Bangka Belitung. Persidangannya sedang berjalan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. “Pertemuan itu adalah rangkaian kegiatan bisnis antara PT Timah dan mitranya,” kata kuasa hukum Aon, Andy Inovi Nababan, Selasa, 27 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski dibantah, pertemuan di Hotel Novotel Bangka diduga menjadi titik awal korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah periode 2015-2022. Kasus ini ditangani tim Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung sejak tahun lalu. Hingga kini penyidik sudah menjerat 23 tersangka. Sebagian besar di antaranya sedang menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Mereka dituduh merugikan negara dan menyebabkan kerusakan lingkungan senilai Rp 300 triliun.
Salah seorang terdakwa lain adalah Harvey Moeis. Ia ikut diciduk karena menjadi perwakilan PT Refined Bangka Tin, perusahaan smelter timah yang turut terseret perkara ini. Persidangan Harvey juga mengungkap pertemuan di Hotel Novotel Bangka. Pengusaha lain yang juga menghadiri pertemuan itu adalah perwakilan PT Tinindo Internusa bernama Fandy Lingga. Direktur Utama dan Direktur Operasi Produksi PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Alwin Albar, juga datang. Mochtar dan Alwin saat ini duduk di kursi terdakwa.
Di hadapan para peserta pertemuan di Hotel Novotel, Mochtar dan Alwin mengeluhkan masalah seretnya produksi bijih timah di PT Timah. Badan usaha milik negara itu sebenarnya memiliki wilayah IUP yang luas, tapi hasil tambangnya minim. Keduanya meminta para pengusaha smelter menyetor 5 persen volume ekspor timah mereka ke PT Timah. Sementara itu, dalam persidangan, jaksa penuntut menuduh Mochtar dan Alwin mengetahui maraknya penambangan ilegal di kawasan IUP milik PT Timah. Sebagian besar hasil tambang ditengarai ditampung di smelter para pengusaha itu.
Pertemuan di Hotel Novotel Bangka juga menjadi cikal bakal pembuatan grup WhatsApp bernama “New Smelter”. Pembuatan grup ini turut menjadi fokus pemeriksaan jaksa penyidik dan menjadi materi dakwaan para terdakwa. “Tujuan dibentuk grup WhatsApp untuk memantau para pemilik smelter yang mengirim bijih timah ke PT Timah,” tulis jaksa dalam surat dakwaan kepada Harvey Moeis.
Harvey Moeis mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 22 Agustus 2024./Tempo/Imam Sukamto
Keberadaan grup WhatsApp itu pertama kali terungkap di persidangan Harvey pada Kamis, 22 Agustus 2024. Harvey dan para pengusaha lain yang terjerat korupsi timah juga ada di sana. Pada waktu itu bekas General Manager Produksi PT Timah Wilayah Bangka Belitung, Ahmad Syamhadi, bersaksi di pengadilan. Ia menyampaikan bahwa administrator grup adalah Komisaris Besar Mukti Juharsa. Kini Mukti sudah berpangkat brigadir jenderal dan menjabat Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI.
Karyawan PT Timah yang juga menjadi saksi, Ali Samsuri, mengaku mengenal Harvey melalui Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Bangka Belitung. Pria yang dimaksud Ali diduga adalah Mukti. Mereka bertemu perdana saat makan siang bareng di Tanjung Tinggi, Bangka Belitung, sekitar Agustus 2018. Saat itu Mukti meminta Ali membantu Harvey untuk menyelesaikan masalah produksi PT Timah.
Setelah membuat grup “New Smelter”, Mukti mengundang para pengusaha dan perwakilan PT Timah menghadiri pertemuan kedua. Kali ini mereka berjumpa di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, pada 26 Mei 2018. Total ada 27 perusahaan yang hadir.
Kepada penyidik Jampidsus, Ahmad Syamhadi mengungkapkan pertemuan di Hotel Borobudur kembali dihadiri mantan Kepala Polda Bangka Belitung, Syaiful Zachri. Pertemuan tersebut dibuka oleh Gubernur Bangka Belitung saat itu, Erzaldi Rosman Djohan. Erzaldi menjabat selama 2017-2022. Syaiful meninggal pada 19 April 2019 dalam usia 55 tahun.
Dalam pertemuan itu, Syaiful disebut mengungkit volume ekspor timah dari smelter para pengusaha yang tak melibatkan PT Timah. Sementara itu, 90 persen produksi bijih timah mereka diduga berasal dari kawasan IUP PT Timah. Pertemuan sempat gaduh saat membahas kewajiban para pengusaha menyetor bijih timah ke PT Timah.
Pihak swasta mulanya diusulkan membagi 50 persen bijih timah atau pasir timah dari total ekspor mereka ke PT Timah. Harganya juga akan ditentukan oleh PT Timah. Mereka menolak, lalu terjadi cekcok. Akhirnya disepakati pemilik smelter menyetor 5 persen bijih timah dari volume ekspor kepada PT Timah. Mukti Juharsa lantas mengirimkan daftar volume ekspor periode Januari-Februari 2018 milik setiap smelter swasta. Dalam pertemuan itu, Mukti kembali menagih komitmen pengusaha mengirimkan 5 persen dari volume ekspor bijih timah tersebut ke PT Timah.
Pengacara Harvey Moeis, Junaidi Saibih, membenarkan adanya pertemuan di Hotel Borobudur. Perwakilan pemerintah dan polisi hadir untuk mengajak pengusaha ikut meningkatkan produksi bijih timah PT Timah. “Acara itu diinisiasi Gubernur Bangka Belitung,” ucapnya.
Sementara itu, pengacara Tamron Tamsil, Andy Inovi Nababan, menyampaikan bahwa acara di Hotel Borobudur juga dihadiri petinggi Polda Bangka Belitung. Tapi pertemuan itu dianggap lazim dalam bisnis. “Bukan perencanaan jahat, tapi pertemuan bisnis biasa,” ujarnya.
Di Pengadilan Tipikor Jakarta, jaksa menyampaikan direksi PT Timah memanipulasi pembelian bijih timah dari smelter swasta. Salah seorang terdakwa, mantan Direktur Operasi Produksi PT Timah, Alwin Albar, misalnya, memasukkan pengiriman 5 persen bijih timah sebagai bagian dari program sisa hasil penambangan PT Timah. BUMN itu juga yang menentukan harga dan cara pembayarannya. Dengan begitu, 5 persen bijih timah yang dikirim smelter swasta seolah-olah legal.
Ada lima perusahaan yang menyetor timah sepanjang 2017-2018. Mereka adalah PT Refined Bangka Tin, PT Sariwiguna Bina Sentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa, dan CV Venus Inti Perkasa. Perwakilan kelimanya juga hadir di Hotel Borobudur. “Pengiriman ini adalah rekayasa PT Timah untuk memenuhi realisasi rencana kerja dan anggaran biaya PT Timah,” demikian yang tertulis di surat dakwaan untuk Harvey Moeis dan Tamron Tamsil.
Tempo telah mengirimkan surat permohonan wawancara ke kantor Mukti Juharsa di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, pada Selasa, 27 Agustus 2024. Surat itu tak kunjung dibalas hingga Jumat, 30 Agustus 2024. Pesan teks WhatsApp juga telah dikirimkan ke nomornya, tapi tak berbalas. Panggilan WhatsApp pun tak direspons. Beberapa staf Direktorat Tindak Pidana Narkoba Polri mengatakan Mukti sedang menghadiri acara di Laos.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho dan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko juga tak merespons pesan Tempo. Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Bangka Belitung Komisaris Besar Jojo Sutarjo enggan mengomentari pertanyaan soal peran Syaiful Zachri dan Mukti Juharsa saat masih bertugas di sana. “Minta konfirmasi ke Kejaksaan Agung saja,” ujarnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar irit bicara ihwal keterlibatan Syaiful Zachri dan Mukti Juharsa dalam pusaran korupsi timah. Menurut dia, butuh dua bukti permulaan yang cukup untuk menjerat seseorang menjadi tersangka. “Kejaksaan sedang berfokus membuktikan isi dakwaan yang sudah dibacakan di persidangan,” tuturnya.
•••
KORUPSI tata niaga timah di Bangka Belitung dilakukan berjemaah. Mereka adalah pengusaha smelter, direksi PT Timah, hingga pejabat negara. Mereka didakwa Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jaksa menambahkan pasal pencucian uang untuk perkara Harvey Moeis; Tamron Tamsil; mantan Direktur Utama PT Refined Bangka Tin, Suparta; dan Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim.
Suparta dituduh menerima Rp 4,57 triliun yang dipakai untuk membeli 6 mobil, 1 mobil bak, 1 truk, dan 2 sepeda motor bak roda tiga. Sementara itu, Harvey dan Helena didakwa menikmati uang korupsi Rp 420 miliar. Fulus ini antara lain berasal dari keuntungan pengusaha yang dibungkus sebagai dana tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.
Harvey disebut sebagai perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin. Ia juga dituduh menjadi inisiator sejumlah pertemuan antara PT Timah dan para pemilik smelter di Hotel Sofia, Jalan Gunawarman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sepanjang Juni-September 2018. Di Hotel Sofia, mereka menyusun skenario kerja sama untuk memproduksi bijih timah ilegal. Setelah tujuh kali pertemuan, diputuskan PT Timah menggandeng PT Refined Bangka Tin untuk menyuplai bijih timah dengan harga yang sudah ditentukan oleh badan usaha milik negara itu.
Beberapa perusahaan lain yang menghadiri rapat di Hotel Borobudur, yaitu PT Sariwiguna Bina Sentosa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa, juga ingin dilibatkan. Namun permohonan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) empat perusahaan ini tak disetujui pemerintah pada 2019. Sebab, mereka tak mengantongi sertifikat Competent Person Indonesia (CPI). RKAB dan CPI digunakan untuk bisa mengekspor timah secara legal.
Sementara itu, hanya PT Timah yang memiliki RKAB dan sertifikat kompetensi tersebut. Tapi PT Timah tetap menggandeng kelima perusahaan itu dan menampung timah dari mereka. Masalahnya, lima perusahaan itu akan memasok bijih timah yang berasal dari penambang ilegal di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah. Kini petinggi kelima perusahaan tersebut juga menjadi terdakwa kasus korupsi ini.
Mereka juga bekerja sama dalam penyewaan alat berat pertambangan. PT Timah menyewa peralatan itu dari PT Refined Bangka Tin dengan biaya US$ 4.000 per ton. Sementara itu, sewa alat dari empat perusahaan lain lebih murah, yakni US$ 3.700 per ton. Masalahnya, meski harga sewa alat itu tinggi, kadar pemurnian timah dari kerja sama ini hanya 98,5 persen atau di bawah standar PT Timah yang sebesar 99,9 persen.
Selain ikut dalam pertemuan di Hotel Borobudur, Mukti Juharsa disebut hadir di Hotel Sofia. Keterangan itu juga muncul dalam pemeriksaan General Manager Operation CV Venus Inti Perkasa yang turut menjadi terdakwa, Achmad Albani. Kuasa hukum Achmad, Andy Inovi Nababan, lagi-lagi beralasan bahwa ini adalah pertemuan bisnis biasa. “Tidak ada yang aneh atau disembunyikan dalam pertemuan itu,” tuturnya.
Nama pengusaha Robert Priantono Bonosusatya ikut terseret. Saat diperiksa, Direktur Keuangan PT Timah 2017-2018, Emil Ermindra, mengaku diperkenalkan dengan Harvey dan seseorang bernama Robert dari PT Refined Bangka Tin. Tak disebutkan nama lengkap Robert yang dimaksud. Nama Robert Bonosusatya kerap dikaitkan dengan PT Refined Bangka Tin lantaran memiliki inisial yang sama, yakni RBT.
Tamron Tamsil (kanan) di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, 4 Juni 2024/Antara/Asprilla Dwi Adha
Jaksa penuntut pernah mengungkap pertemuan Robert, Harvey, dan tiga petinggi PT Timah, termasuk Emil Ermindra, di Hotel Sofia, Jakarta, pada awal 2018. Pertemuan itu membahas kerja sama sewa alat pelogaman timah. Informasi ini tertuang dalam surat dakwaan terhadap Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kepulauan Bangka Belitung 2015-2019, Suranto Wibowo.
Kepada Tempo, Robert Bonosusatya mengklaim tak pernah campur tangan dalam proyek tambang timah di Bangka Belitung, apalagi ikut berdiskusi dengan PT Refined Bangka Tin dengan PT Timah di Hotel Sofia. “Saya tidak ikut-ikutan. Kebetulan saja bertemu di Sofia karena sering nongkrong di sana,” katanya kepada Tempo perihal isi dakwaan terhadap Suranto.
Peran Mukti Juharsa dan Syaiful Zachri dalam pertemuan pengusaha timah juga disebutkan saksi dan terdakwa lain di Pengadilan Tipikor Jakarta. Saat pemeriksaan, salah seorang terdakwa, pelaksana tugas Kepala Dinas ESDM Bangka Belitung periode 2021-2024, Amir Syahbana, mengatakan ada seorang polisi yang kerap menanyakan progres persetujuan RKAB untuk PT Refined Bangka Tin pada 2019. Ia tak menyebutkan nama polisi itu. “Faktanya memang benar ada oknum polisi yang meminta percepatan RKAB,” ujar kuasa hukum Amir, Muhammad Zainul Arifin.
Penyidik belum berencana memeriksa Mukti Juharsa dalam kasus korupsi timah. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar berdalih nama Mukti baru muncul di persidangan. “Yang bersangkutan tidak ada dalam berkas perkara,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Mohammad Khory Alfarizi, Fajar Pebrianto, Jihan Ristiyanti, dan Servio Maranda dari Bangka Belitung berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kendali Perwira di Grup WhatsApp Timah"