Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Mengapa Proyek Smelter Freeport Molor

Freeport Indonesia dikejar target penyelesaian proyek smelter di Gresik. Molor meski sudah mendapat izin ekspor konsentrat.

26 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Freeport sedang membangun smelter di Manyar, Gresik.

  • Target pembangunan smelter Freeport beberapa kali tak tercapai.

  • Pemerintah meminta Freeport kembali membangun smelter di Papua.

DUA tahun telah berlalu sejak Presiden Joko Widodo menekan tombol sirene tanda dimulainya pembangunan Smelter Manyar di Gresik, Jawa Timur. Jokowi meresmikan fasilitas pengolahan mineral milik PT Freeport Indonesia pada 12 Oktober 2021, ketika pandemi Covid-19 masih merajalela. Di lahan Java Integrated Industrial and Ports Estate (JIIPE) Gresik kini telah berdiri konstruksi bangunan smelter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat mengunjungi proyek smelter Freeport di Manyar pada awal November lalu, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo mendapat janji proyek ini bisa selesai pada Desember mendatang. “Pemerintah ingin smelter ini segera beroperasi. Pada Mei 2024 sudah mulai bisa commissioning sampai Agustus. Akhir 2024 beroperasi penuh,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Smelter Manyar menjadi salah satu "utang" Freeport Indonesia kepada pemerintah yang belum lunas. Pada 2018, dua tahun sebelum kontrak karya Freeport Indonesia berakhir pada 2021, pemerintah memberikan izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Syaratnya, Freeport-McMoRan, yang mengendalikan Freeport Indonesia, harus melepas 51 persen sahamnya kepada pemerintah Indonesia. 

Induk BUMN pertambangan, Mind Id, membeli 51,2 persen saham Freeport dengan dana US$ 3,85 miliar atau sekitar Rp 55,8 triliun. Selain melepas saham, Freeport Indonesia wajib membangun smelter yang harus selesai paling lama lima tahun sejak IUPK terbit. Dengan begitu, bijih tembaga dan emas yang dikeruk Freeport dari tambang di Papua dapat diolah di dalam negeri. 

Sebelum membangun smelter Gresik, Freeport Indonesia mengolah mineral di fasilitas milik PT Smelting menjadi katoda tembaga. Freeport Indonesia berpatungan dengan Mitsubishi Materials Corporation membangun smelter ini pada 1999. Lokasinya 15 kilometer dari smelter baru Freeport di Manyar. Freeport mengempit 39,5 persen saham Smelting, selebihnya milik Mitsubishi.

Hingga 2019, pabrik Smelting hanya sanggup mengolah 1,1 juta ton konsentrat per tahun. Padahal jumlah produksi konsentrat Freeport mencapai 3 juta ton per tahun. Walhasil, sisa 2 juta ton langsung diekspor ke Cina, Jepang, India, dan Korea Selatan. Setelah smelter Manyar beroperasi, hal itu tak lagi terjadi. Freeport nantinya mengirim bijih tembaga dari Papua ke Manyar untuk diolah menjadi katoda tembaga. Smelter ini berkapasitas 1,7 juta ton konsentrat per tahun dan akan menghasilkan 600 ribu ton katoda tembaga per tahun.

Presiden Joko Widodo saat bertemu Chairman Freeport McMoRan, Richard Adkerson di Hotel Waldorf Astoria, Washington DC, Amerika Serikat, 13 November 2023. Dok. Sekretariat Presiden

Katoda tembaga menjadi salah satu bahan baku industri otomotif, listrik, dan industri lain. Mineral itu sedang naik daun seiring dengan meluasnya industri kendaraan listrik. Menurut sejumlah penelitian, mobil listrik memerlukan tembaga empat-sepuluh kali lipat kebutuhan mobil konvensional. Berdasarkan hitungan Mining Technology, mobil konvensional memerlukan 10-25 kilogram tembaga, sementara kebutuhan mobil hibrida 42 kilogram dan mobil listrik berbasis baterai 90 kilogram. 

Freeport Indonesia dan pemerintah melihat Smelter Manyar bakal membuka peluang investasi untuk industri hilir tembaga. Presiden Jokowi berniat mengintegrasikan olahan tembaga di Gresik dengan nikel sebagai bahan baku baterai di Sulawesi, bauksit di Kalimantan Barat, dan timah di Bangka Belitung dalam ekosistem industri kendaraan listrik.

Tak hanya menggarap smelter katoda tembaga, Freeport Indonesia juga membangun kilang logam mulia atau precious metal refinery (PMR) di Manyar. Selama ini, produk sampingan Smelting, yaitu lumpur anoda, langsung diekspor. Padahal lumpur ini berisi emas dan perak.

Dengan kemampuan mengolah 6.000 ton lumpur anoda per tahun, PMR di Manyar bisa menghasilkan 52 ton emas dan 210 ton perak per tahun dalam bentuk batangan. “PMR akan beroperasi bersamaan dengan smelter katoda tembaga,” ujar Direktur Utama Freeport Indonesia Tony Wenas dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Maret lalu.

PMR sejatinya adalah jawaban atas batalnya kesepakatan Freeport Indonesia dengan PT Aneka Tambang Tbk atau Antam dan PT Smelting pada 2017. Pada 2 Februari 2017, Antam bersama Freeport Indonesia dan Smelting meneken nota kesepahaman pembangunan PMR. Bagi Antam, PMR bukan barang baru. Lewat anak usaha mereka, PT Logam Mulia, Antam memproduksi emas batangan di PMR Pulo Gadung, Jakarta Timur. Bedanya, emas batangan itu diproduksi dari dore bullion—batangan yang mengandung emas, perak, tembaga, dan mineral lain—dari tambang emas di Bogor, Jawa Barat, dan hasil impor.

Mulanya Antam ingin bisa ikut berpatungan 40 persen dalam PMR yang dibangun bersama Freeport. Namun kesepakatan itu tak berlanjut. Freeport dan Smelting disebut meminta emas batangan yang akan dihasilkan dari fasilitas itu dihargai 99 persen, sementara Antam hanya berani mematok angka 97,8 persen untuk mengejar internal rate of return 11 persen. Kini Freeport membangun PMR sendiri, sementara Antam melanjutkan operasi PMR di Pulo Gadung yang sudah kekurangan pasokan bahan baku.

Menurut Vice President Corporate Communications Freeport Indonesia Katri Krisnati, hingga akhir Oktober lalu, tingkat kemajuan proyek smelter di Manyar mencapai 80,75 persen. “Pembangunan smelter ini sesuai dengan target lini masa kurva S dari pemerintah,” tutur Katri pada Jumat, 24 November lalu.

Namun capaian ini belum memuaskan para anggota parlemen. Semestinya smelter itu rampung dibangun sebelum Juni 2023, sesuai dengan klausul dalam IUPK Freeport, yakni lima tahun sejak IUPK terbit perusahaan tidak boleh lagi mengekspor konsentrat. Nyatanya, target itu tak terpenuhi. Dengan alasan progres pembangunan Smelter Manyar sudah 80 persen, pemerintah memberi kelonggaran kepada Freeport tetap bisa mengekspor konsentrat sampai Mei 2024.

Freeport menargetkan smelter di Manyar dan milik PT Smelting bisa menyerap seluruh produk konsentrat dari Papua. Freeport pun berancang-ancang menggelontorkan dana US$ 250 juta buat menambah kapasitas olahan Smelting dari 1,1 juta ton konsentrat menjadi 1,4 juta ton per tahun. Duit itu nantinya diperhitungkan sebagai nilai penyertaan saham sehingga kepemilikan Freeport Indonesia di PT Smelting naik dari 39,5 persen menjadi 65 persen.

Anggota Komisi Energi DPR, Mulyanto, mengatakan kinerja Freeport Indonesia dalam memenuhi kewajiban pembangunan smelter sangat buruk. Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini pun menilai pemerintah melanggar aturan yang mereka buat dengan memberi kelonggaran kepada Freeport untuk mengekspor konsentrat. “Pemerintah kalah dan disandera perusahaan tambang," katanya pada Jumat, 24 November lalu.

Toh, meski proyek di Gresik belum kelar, pemerintah sudah meminta Freeport Indonesia membangun smelter baru di Fakfak, Papua Barat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kejar Target Smelter Manyar"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus