Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELASAN pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi meriung di pelataran Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Kamis siang, 23 November lalu. Mereka bergabung bersama anggota Indonesia Memanggil 57+ Institute, kelompok mantan pegawai KPK yang diberhentikan karena tak lulus tes wawasan kebangsaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan pemimpin KPK, seperti Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, turut hadir. “Kami berkumpul untuk merayakan penetapan Firli Bahuri sebagai tersangka pemerasan,” kata Ketua IM 57+ Mochamad Praswad Nugraha. Sambil berkumpul, mereka menyantap nasi goreng yang sengaja dipesan untuk melayani para mantan pegawai KPK yang hadir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Praswad mengatakan santap bersama itu merupakan satire untuk menyindir kegemaran Firli yang kerap menunjukkan kemampuannya memasak nasi goreng di berbagai acara resmi KPK. “Ini simbol perlawanan kami kepada Firli Bahuri yang selama ini antikritik,” ujarnya. Setelah menghabiskan nasi goreng, beberapa orang yang hadir duduk di kursi cukur. Mereka siap digunduli.
Acara itu tergolong dadakan. Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menetapkan Firli Bahuri sebagai tersangka pada Rabu tengah malam, 22 November lalu. Polisi menuduh Firli memeras dan menerima gratifikasi dari Syahrul Yasin Limpo sebanyak Rp 3 miliar. Gratifikasi itu diberikan ketika Syahrul masih menjabat Menteri Pertanian dan penyidik KPK sedang mengusutnya atas dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi dari anak buahnya.
Selain membuat surat penetapan tersangka, penyidik polisi sudah menyurati Menteri Sekretaris Negara untuk memberitahukan Firli Bahuri sudah menjadi tersangka. Istana Negara menyambut surat tersebut.
Presiden Joko Widodo, saat tiba di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, pada Jumat malam, 24 November lalu, langsung menandatangani surat keputusan pemberhentian Firli Bahuri. “Keputusan itu sekaligus menetapkan Nawawi Pomolango sebagai Ketua KPK sementara,” kata Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana.
Sebelum keputusan presiden itu resmi ditandatangani Jokowi, sempat beredar beberapa nama yang digadang-gadang menggantikan Firli. Di antaranya mantan auditor I Nyoman Wara dan Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan. Tapi Pahala membantah kabar itu. “Asli gue enggak tahu dan enggak kepengen juga untuk tahu,” tutur Pahala ketika dimintai konfirmasi.
Nawawi Pomolango menjabat Wakil Ketua KPK sejak 2019. Ia pernah menjadi hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Selama ini Nawawi kerap menunjukkan pendapat berbeda dengan keputusan-keputusan Firli. Misalnya ketika Nawawi menolak keputusan Firli yang memulangkan Brigadir Jenderal Endar Priantoro ke Markas Besar Kepolisian RI karena Endar diberhentikan dari jabatan Direktur Penyelidikan KPK.
Keduanya juga pernah berselisih saat Firli hendak menaikkan kasus penyidikan dugaan korupsi balapan Formula E yang menyeret mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dan kasus korupsi Gubernur Papua Lukas Enembe. “Seharusnya ini menjadi peringatan bagi kami untuk menghindari style kerja yang cenderung one man show,” kata Nawawi, 2 Februari lalu.
Jika mengacu pada Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang KPK, Firli seharusnya otomatis diberhentikan begitu polisi mengumumkannya sebagai tersangka pemerasan. Dengan dalih belum diberhentikan oleh atasannya, yakni presiden, seperti yang diatur dalam perubahan Undang-Undang KPK, Firli masih mengikuti rapat pembahasan kasus korupsi beberapa jam setelah menjadi tersangka.
Menurut dua penegak hukum di KPK, pimpinan KPK minus Firli sebenarnya menggelar rapat dadakan pada Kamis dinihari, 23 November lalu, setelah mereka menerima kabar Firli menjadi tersangka korupsi. Namun rapat itu batal. Mereka mengganti rapat itu dengan rapat di gedung KPK pada Kamis pukul 08.00 WIB.
Salah satu agenda rapat itu membahas perkembangan terbaru di Polda Metro Jaya. Peserta rapat dibuat kaget karena tiba-tiba saja Firli masuk ruangan rapat. Ia bahkan ikut berkomentar dan merevisi draf sikap pimpinan KPK menanggapi penetapannya sebagai tersangka untuk jumpa pers. “Pak Firli masih pegawai KPK dan berhak menerima bantuan hukum,” ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata setelah jumpa pers.
Tempo berusaha meminta penjelasan Firli Bahuri dan Alexander Marwata ihwal rapat pimpinan tersebut. Namun nomor telepon seluler keduanya tak aktif sehari setelah pengumuman status tersangka Firli oleh polisi. Ian Iskandar, pengacara Firli, mengatakan Firli masih memimpin KPK sampai munculnya surat keputusan presiden. Ia berharap Presiden Jokowi membentuk tim pencari fakta untuk menyelisik penetapan status tersangka itu. “Untuk membuktikan apakah benar Pak Firli memeras dan menerima gratifikasi,” ujar Ian.
Tak semua pemimpin KPK diam atau membela Firli seperti Marwata. Nawawi Pomolango mempertanyakan kehadiran Firli di ruang rapat pada Kamis itu. Ia pun keluar dari ruangan karena Firli bertahan di ruang rapat. Wakil Ketua KPK lain, Nurul Ghufron, turut menyayangkan kehadiran Firli. Apalagi rapat itu dilanjutkan dengan gelar perkara. Namun ia tak bisa memprotes langsung karena sedang menghadiri rapat lain. “Secara substansial yang bersangkutan tidak cukup memiliki kualifikasi ikut gelar perkara,” ucapnya.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak awalnya mendukung Firli. Sikapnya berubah setelah Presiden Jokowi menandatangani surat pemberhentian Firli. Ia mengatakan Firli sudah tak berwenang menangani perkara sejak keputusan Jokowi itu terbit. Akses Firli sebagai ketua juga telah diputus untuk sementara waktu hingga kasus hukumnya selesai. “Dia tidak boleh mengambil keputusan apa pun di KPK,” kata Johanis.
Meski Firli sudah diberhentikan, Johanis membolehkan koleganya itu datang ke gedung KPK. Ia beralasan perkara hukum yang menjerat Firli belum berkekuatan hukum tetap. Setelah ada putusan hukum tetap hingga proses akhir di Mahkamah Agung, Presiden akan mengeluarkan keputusan pemberhentian tetap Firli, lalu semua aksesnya dicabut.
Seorang penegak hukum KPK mengungkapkan kelegaannya setelah Firli ditetapkan sebagai tersangka. Soalnya, sejak KPK dipimpin Firli, tata cara penyelidikan dan penyidikan di KPK berubah. Semua penanganan perkara, misalnya, harus mendapat persetujuan Ketua KPK. Padahal KPK menganut prinsip kolektif kolegial pimpinan.
Sumber ini mengatakan pegawai kerap membincangkan kasus Firli di sudut kantor dan kantin KPK sejak September lalu. Mereka bahkan membahas apa saja kegiatan Firli saat kasus pemerasan Syahrul Yasin Limpo menyeruak. Mereka sudah menduga Firli akan terperosok karena bukti-bukti yang muncul ke publik begitu terang dan kuat.
Di sisi lain, mantan pegawai KPK menganggap hengkangnya Firli membuka kesempatan sejumlah anggota IM 57+ bergabung lagi ke KPK. Praswad Nugraha mengatakan ide ini tercetus karena keinginan para mantan pegawai KPK itu untuk mengembalikan muruah KPK yang kehilangan kepercayaan publik selama dipimpin Firli Bahuri.
Setelah dinyatakan tak lulus tes wawasan kebangsaan pada pertengahan 2021, sebagian besar mantan pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara di Kepolisian RI. Mereka bertugas di Badan Reserse Kriminal Khusus Polri. Sesuai dengan revisi Undang-Undang KPK, komisi antirasuah kini berada di bawah presiden dan semua pegawainya berstatus pegawai negeri. “Sangat mungkin kami kembali, tapi itu bergantung pada kebijakan dan keinginan Presiden,” tutur Praswad.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Fajar Pebrianto dan Riky Ferdianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Satire Nasi Goreng Firli Bahuri"