Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah berupaya menyatukan pengelolaan investasi dana pensiun BUMN.
Delapan dana pensiun BUMN meneken nota kesepahaman dengan IFG.
IFG menawarkan model baru pengelolaan dana pensiun BUMN.
TIDAK seperti koleganya, Dicky Rozan, Direktur Utama Dana Pensiun Bank Rakyat Indonesia, tak hadir di gedung Kementerian Badan Usaha Milik Negara pada Rabu, 11 Januari lalu. Padahal saat itu Menteri BUMN Erick Thohir mengumpulkan semua petinggi pengelola dana pensiun BUMN lantaran ada agenda penting. "Kami tidak mendapat undangan itu," kata Dicky kepada Tempo di kantornya pada Jumat, 13 Januari lalu.
Saat itu Erick mengumpulkan 41 dari 65 petinggi perusahaan dana pensiun pemberi kerja yang mengelola uang pensiun karyawan berbagai BUMN. Persamuhan itu adalah kelanjutan dari pernyataan Erick Thohir pada Senin, 2 Januari lalu, yang menyebutkan akan mempertemukan pengelola dana pensiun dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemerintah meminta pengelola dana pensiun BUMN berhati-hati mengelola penempatan investasi.
Sebelumnya Kementerian BUMN merilis temuan yang menyatakan 65 persen dari semua pengelola dana pensiun BUMN dalam kondisi tak sehat. Lantaran tak mudah membenahi pengelolaan uang pensiun, Erick Thohir menggandeng KPK. Kementerian BUMN akan menyatukan semua dana pensiun BUMN dalam satu payung, sesuai dengan rencana yang telah disusun pada 2020.
Namun, dua tahun berjalan, konsolidasi itu hanya bisa menjaring delapan dana pensiun, yaitu milik PT Angkasa Pura I (Persero), PT Asuransi Jasa Indonesia atau Jasindo, PT Jasa Raharja (Persero), PT Nindya Karya, Perusahaan Umum Jasa Tirta II, Perum Percetakan Uang Republik Indonesia, PT Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero), serta PT Wijaya Karya Tbk. Pengelola uang pensiun delapan BUMN itu telah menjalin nota kesepahaman kontrak pengelolaan dana dengan Indonesia Financial Group (IFG) pada 22 Desember 2022.
Nantinya, anak usaha IFG, yaitu Bahana TCW Investment Management, akan mengelola investasi pengelola dana pensiun itu. Menurut Direktur Bisnis IFG Pantro Pander Silitonga, nota kesepahaman ini menjadi pilot project konsolidasi dana pensiun BUMN. Bahana, dia menjelaskan, mengelola dana investasi tersebut dengan skema komersial. "Bukan top-down atau perintah dari kementerian. Nantinya manajer aset BUMN lain akan ikut mengelola juga,” tuturnya kepada Tempo di Surakarta, Jawa Tengah, pada Jumat, 13 Januari lalu.
Selain Bahana TCW, lembaga yang berkesempatan mengelola dana pensiun BUMN antara lain Mandiri Investment Management, Danareksa Investment Management, dan BNI Asset Management. Menurut Pantro, tidak semua dana investasi pengelola pensiun itu akan mereka tangani. "Hanya sebagian," ucapnya. Kini pemerintah terus mengupayakan konsolidasi pengelola pensiun lain agar tak terjebak investasi buruk, misalnya pada saham bernilai rendah atau surat berharga tanpa underlying asset yang bagus, hingga akhirnya menjadi perusahaan bermasalah.
Masalah Dana Pensiun BUMN
Otoritas Jasa Keuangan mengungkap potensi masalah besar dalam pengelolaan dana pensiun badan usaha milik negara pada Februari 2020. Saat itu OJK menyurati Kementerian BUMN, memberi tahu bahwa mayoritas pengelola pensiun BUMN mengalami underfunded atau dana yang terkumpul tak cukup untuk memenuhi biaya pensiun yang harus dibayarkan. Salah satu indikatornya adalah rasio kecukupan dana (RKD) di bawah 100 persen atau dana yang tersedia di bawah yang seharusnya tersedia berdasarkan hitungan aktuaria.
Kementerian BUMN kemudian menunjuk Indonesia Financial Group sebagai project management office (PMO) BUMN kluster asuransi dan dana pensiun untuk menindaklanjuti temuan OJK. Hasil peninjauan IFG menyebutkan 69 persen dana pensiun BUMN underfunded. Potensi masalah ini bisa lebih besar karena 31 persen dana pensiun BUMN dengan RKD di atas 100 persen menggunakan imbal hasil investasi 8-10 persen per tahun. IFG kemudian menggelar normalisasi bunga dengan imbal hasil surat utang negara 6 persen. “Hasilnya hampir semua dana pensiun, kecuali satu, underfunded,” kata Direktur Bisnis IFG Pantro Pander Silitonga.
Beruntung, sampai hari ini, belum ada kasus gagal bayar pensiunan BUMN seperti yang terjadi pada pemegang polis Asuransi Jiwasraya. Sebab, BUMN pemilik dana pensiun itu terus melakukan top-up atau menambah dana di luar kewajiban mereka sebagai iuran pemberi kerja demi menutupi kekurangan setiap tahun.
Temuan lain IFG selaku PMO BUMN asuransi dan dana pensiun adalah pengelolaan kewajiban terhadap pensiunan yang tinggi berbanding terbalik dengan imbal hasil pengelolaan investasi yang rendah dan fluktuatif. Masalah ini terjadi pada pengelola dana pensiun BUMN dengan skema program pensiun manfaat pasti (PPMP). Dari 65 pengelola dana pensiun BUMN, sebanyak 49 entitas menggunakan model ini, terutama untuk karyawan lama, yang mencontoh model pensiun pegawai negeri sipil.
Salah satunya PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI. Karyawan BRI angkatan 2007 ke bawah masih masuk skema dana pensiun PPMP, sementara generasi berikutnya masuk skema program pensiun iuran pasti (PPIP). Peserta skema PPIP memakai skema dana pensiun lembaga keuangan sekaligus menjadi peserta jaminan pensiun pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebagai program wajib dari pemerintah.
Dalam skema PPMP, pensiunan akan mendapatkan manfaat berdasarkan persentase yang diikat sejak awal. Kalaupun hasil investasi dana pensiun anjlok, mereka tetap menerima manfaat sesuai dengan kontrak. Ini yang memaksa BUMN terus menyuntikkan dana atau top-up demi menyelamatkan pengelola dana pensiun yang bermasalah.
Acara penandatangan nota kesepahaman kerjasama pengelolaan aset investasi dana pensiun antara IFG dan 8 BUMN pendiri dana pensiun di Financial Hall, Graha CIMB Niaga Jakarta, Desember 2022. Dok. BUMN
Di luar persoalan itu, PPMP tersendat karena makin lama jumlah pesertanya makin susut. Sedangkan kewajiban pembayaran dana pensiun terus bertambah. Ini yang memicu pengelola dana pensiun mencari investasi berimbal hasil tinggi dengan risiko yang tinggi pula. “Saat ini mana ada yang mau dapat imbal hasil konsisten terus-menerus. Ketika masuknya ke aset berisiko tinggi juga malah hilang duitnya,” tutur Pantro.
Menurut Pantro, banyak dana pensiun BUMN menerapkan kenaikan manfaat pensiun secara otomatis tiap tahun, tanpa memperhitungkan imbal hasil investasi mereka. Kebijakan itu memang menyenangkan bagi pensiunan, tapi menjepit si pengelola manakala imbal hasil investasinya anjlok. Walhasil, BUMN pendiri dana pensiun mesti menyuntikkan dana untuk menutup kekurangan tersebut.
Berdasarkan temuan tersebut, Pantro menambahkan, IFG mengusulkan konsep liabilities driven investment (LDI). Melalui konsep ini, pengelola dana pensiun mempertimbangkan kewajiban yang harus mereka bayarkan sebelum menginvestasikan dana yang mereka kelola. Dengan kata lain, pengelola dana pensiun harus menghitung berapa kebutuhan rata-rata setiap tahun untuk membayar kewajiban mereka kepada pensiunan. “Yang mengejutkan, banyak pengelola dana pensiun belum punya formula ini,” ujar Pantro.
Nantinya pengelola dana pensiun harus menginvestasikan dana kelolaannya pada instrumen berpenghasilan tetap dan berisiko rendah. Porsi terbanyak harus masuk ke surat utang pemerintah atau surat utang perusahaan dengan peringkat minimal A. “Beberapa pengelola bahkan tidak kami sarankan membeli saham atau medium-term note," tutur Pantro.
Pantro mengakui konsep LDI buatan IFG jauh lebih konservatif dibanding batasan OJK tentang investasi dana pensiun yang dituangkan dalam Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2015. Jika kewajiban aset inti sudah aman, Pantro melanjutkan, pengelola dana pensiun baru bisa menginvestasikan sisa dana kelolaan mereka pada instrumen jangka panjang, sementara aset seperti properti sebaiknya dilepas. “Kami memilih di surat berharga yang likuid karena imbal hasilnya bagus. Investasi properti imbal hasilnya rata-rata hanya 2 persen per tahun, paling bagus 4 persen.”
Sejak 2020, IFG pun berdialog dengan pengelola dana pensiun BUMN besar seperti milik PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk atau Telkom serta PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Dari dialog itu ada kesimpulan, konsolidasi pengelolaan investasi tak mungkin dilakukan dengan melebur semua dana pensiun ke satu induk. “Misalnya dana pensiun Pertamina jadi induk, terus dana pensiun PLN kekurangan dana, memangnya Pertamina mau top-up ke situ?" Pantro menjelaskan.
Karena itu, muncul opsi konsolidasi dalam pengelolaan investasi. Perusahaan pengelola dana pensiun tetap berdiri seperti sediakala, tapi pengelolaan investasinya terkonsolidasi di satu entitas. Saat ini proyek percontohannya adalah IFG dengan delapan dana pensiun BUMN. “Nanti pengelolaan investasinya pakai prinsip LDI,” ujar Pantro.
Dengan cara ini, pemerintah bisa menolong dana pensiun BUMN kecil, juga perusahaan skala besar. Apalagi, Pantro melanjutkan, selama ini BUMN kecil, terutama yang tidak menjalankan sektor keuangan, kesulitan mengelola dana dan terpaksa memakai jasa manajer investasi dengan biaya tinggi. Saat ini semua pengelola dana pensiun BUMN memiliki aset Rp 150 triliun. Dari jumlah itu, ada tujuh perusahaan dana pensiun yang mengelola 85 persen aset tersebut.
Dana Pensiun (Dapen) BRI menjadi salah satu pengelola terbesar dengan aset Rp 24,837 triliun per Desember 2022. Setelah itu ada Dapen PLN dengan aset Rp 8,908 triliun pada 2020, Dapen Bank Mandiri dengan aset Rp 8,74 triliun pada 2021, dan Dapen Perkebunan yang mengelola dana pensiun grup PT Perkebunan Nusantara dengan aset Rp 8,717 triliun pada 2021.
Akhir konsolidasi ini, Pantro mengungkapkan, adalah pemanfaatan dana pensiun untuk proyek infrastruktur. Cara ini bisa menjadi strategi yang diambil pengelola investasi negara seperti Indonesia Investment Authority bersama mitra global mereka. Pantro mengaku akan menyodorkan proposal kepada Kementerian Keuangan agar pemerintah bisa menerbitkan surat utang jangka panjang dengan imbal hasil lebih tinggi yang dapat diserap pengelola dana pensiun BUMN.
Batas Maksimal Investasi
Pada Kamis, 12 Januari lalu, atau sehari setelah Menteri BUMN Erick Thohir mengumpulkan 41 direktur dana pensiun BUMN, Chief Executive Officer Bareksa Karaniya Dharmasaputra menuliskan kalimat ungkapan syukur di akun LinkedIn-nya. Karaniya berterima kasih kepada Dana Pensiun Pindad yang telah menempatkan investasi lewat platform Bareksa for Business. Kepada Tempo, Karaniya mengatakan Bareksa tidak berperan sebagai manajer investasi dan tidak mengelola aset dana pensiun Pindad seperti Indonesia Financial Group. “Kami hanya menyiapkan platform buat pelanggan bisnis,” katanya. Dengan cara ini Bareksa bisa memperluas basis investor, dari sebelumnya investor individual menjadi korporat.
Bareksa for Business yang meluncur setahun lalu telah menjangkau delapan pengelola dana pensiun BUMN, yaitu Pindad, Jasindo, Perhutani, Hutama Karya, Bank Mandiri, Krakatau Steel, Pupuk Sriwijaya, dan Telkom. Karaniya tak menyebutkan nilai investasi lembaga tersebut. Namun, menurut dia, pertumbuhan dana kelolaannya mencapai 53 persen (year-on-year). Karaniya menjelaskan, selain menyediakan platform, Bareksa memberikan masukan tentang strategi investasi berdasarkan hasil riset. “Keputusan investasi tetap di tangan investor.”
Kontrak pengelolaan dana antara manajer aset dan dana pensiun bukan hal baru. Banyak pengelola dana pensiun BUMN yang menjalankan kerja sama pengelolaan dana secara komersial. Dana Pensiun BRI, misalnya, punya kontrak pengelolaan dana dengan Bahana TCW dan Schroder Investment Management Indonesia. “Sebanyak 32 persen investasi saham kami dikelola manajer investasi, sisanya swakelola,” tutur Direktur Utama Dapen BRI Dicky Rozan. Saat ini total investasi Dapen BRI dalam bentuk saham sebesar Rp 4 triliun atau 16 persen dari dana kelolaannya yang mencapai Rp 24,837 triliun per Desember 2022.
Besarnya aset ini membuat skema pengelolaan dana pensiun cenderung sensitif. Walhasil, rencana konsolidasi kontrak pengelolaan dana pensiun menjadi isu panas di kalangan pengelola. Salah satu isu yang mencuat adalah soal batas maksimal pengelolaan dana investasi oleh satu pihak. Masalah itu sempat dibahas dalam pertemuan para pengelola dana pensiun BUMN bersama Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) pada akhir Desember 2022. “Ada yang bilang satu pihak maksimum mengelola 20 persen, ada lagi yang mengatakan penempatan di satu instrumen maksimum 20 persen,” ucap Bambang Sri Muljadi, mantan Direktur Eksekutif ADPI.
Dalam pertemuan ADPI dengan pengelola dana pensiun lewat jaringan video online, Bambang hadir sebagai pembicara. Pertemuan itu, menurut Bambang, diinisiasi pengelola dana pensiun BUMN yang berbasis di Jakarta. Dia mengatakan pertanyaan yang muncul adalah tentang nasib pengelola dana pensiun selepas konsolidasi, terutama untuk memenuhi kebutuhan dana jangka pendek guna membayar kewajiban kepada para pensiunan. “Sekarang arah investasi hanya sesuai dengan kebutuhan likuiditas,” ujarnya.
Kekhawatiran itu akan terjawab dengan konsep LDI, yakni aset inti untuk membayar kewajiban jangka pendek diinvestasikan dalam instrumen berpenghasilan tetap dengan risiko rendah seperti utang negara. Menurut Direktur Bisnis IFG Pantro Pander Silitonga, batas maksimal pengelolaan dana 20 persen hanya untuk reksa dana. Sedangkan konsep pengelolaan dana, dia menerangkan, tidak memindahkan uang dari dana pensiun ke pengelola.
OJK, Pantro menambahkan, tidak mempersoalkan konsep yang ditawarkan IFG. Dia juga yakin arah baru itu tak akan bersimpangan dengan batas-batas investasi yang sudah ditetapkan oleh Peraturan OJK Nomor 3/POJK.05/2015. “Bahkan kami lebih konservatif,” tuturnya. Saat dimintai tanggapan tentang rencana konsolidasi investasi dana pensiun BUMN, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Ogi Prastomiyono tak menjawab. Yang jelas, arah baru pengelolaan dana pensiun BUMN bakal segera dituju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo