Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Salah Asuhan Sejak dalam Kandungan

Krakatau Steel menguji coba pabrik pengolahan baja bertanur tinggi yang mangkrak lebih dari lima tahun. Modifikasi proyek butuh investasi tambahan.

2 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisaris Independen PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Roy Maningkas hanya tertawa saat ditanyai soal status jabatannya di perusahaan baja terbesar di Tanah Air itu. Roy tak tahu apakah Kementerian Badan Usaha Milik Negara telah mengabulkan permohonan peng-unduran dirinya sebagai komisaris. “Saya belum menerima surat tertulisnya,” ujar Roy lewat sambungan telepon, Selasa, 30 Juli lalu.

Roy melayangkan surat pengunduran diri pada 11 Juli lalu kepada Kementerian BUMN lantaran keberatan terhadap pengoperasian proyek pabrik penghasil baja tanur tinggi (blast furnace). Manajemen Krakatau mulai mengoperasikan tungku-tungku di kompleks blast furnace pada medio Juli lalu. Pengoperasian ini bertujuan menguji performa pabrik sebelum berproduksi secara komersial.

Setelah mengirimkan surat kepada Kementerian BUMN selaku pemegang saham mayoritas Krakatau, Roy bertemu dengan Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno pada 15 Juli lalu. Di ruang kantor Fajar, Roy menyampaikan keberatan apabila proyek tersebut dioperasikan asal-asalan. “Kalau sudah dinyalakan hanya dites dua bulan dan ada masalah, bagaimana?”

Sejak dibangun pada 9 Juli 2012, proyek ini terkatung-katung dan nyaris terbengkalai. Baru dua tahun terakhir rencana operasi pabrik di lahan seluas 55 hektare itu mencapai titik terang. Pada medio 2017, Krakatau mulai menghidupkan instalasi pemanasan kokas (coke oven plant), lalu memanaskan kompor pengolah pada Oktober 2018. Penyalaan api perdana pada tungku bertanur tinggi ini digelar pada 20 Desember 2018.

Meski demikian, manajemen baru menguji pengoperasian semua mesin di pabrik ini pada pertengahan Juli lalu. Roy tak setuju. Ia mengeluarkan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam rapat komisaris dan direksi, Juli lalu. Menurut Roy, direksi perlu memastikan dulu efektivitas proyek tersebut setelah sekian lama mangkrak. “Saya minta, sebelum diteruskan, pastikan proyek bisa dimodifikasi agar penggunaan energi bisa lebih hemat,” kata Roy.

Ia tak setuju proyek ini buru-buru diteruskan tanpa proses uji coba untuk mengetahui apakah pabrik pengolah baja tersebut bakal mampu menghemat ongkos produksi sehingga menghasilkan baja cair dengan harga bersaing. Apalagi sejak awal Krakatau sebetulnya telah memiliki proyek blast furnace usaha patungan PT Krakatau Steel dan Pohang Iron & Steel Company (Posco). Pabrik itu beroperasi lebih dulu.

Namun Krakatau Steel di bawah Direktur Utama Fazwar Bujang pada 2011 tetap meresmikan kontrak kerja sama pembuatan pabrik baru antara PT Krakatau Engineering dan konsorsium asal Cina, Capital Engineering and Research Incorporation Limited (MCC-CERI).

Proyek itu semula ditargetkan selesai pada akhir 2014. Setelah hampir lima tahun berselang, kata Roy, proyek harus diuji sekitar enam bulan sehingga terlihat apakah betul-betul bisa menghasilkan penghematan produksi US$ 58 per ton seperti target awal.

Sebab, menurut dia, harga pokok produksi baja besar yang memanjang dan tebal (slab) hasil pabrik baru ini lebih mahal US$ 82 per ton jika dibandingkan dengan harga pasar. Dengan target produksi minimal 1,1 juta ton per tahun, PT Krakatau Steel justru berpotensi merugi sekitar Rp 1,3 triliun per tahun.

Sebelumnya, Roy mengantongi hasil penaksiran dari pabrikan baja lain yang menghitung potensi selisih harga pokok jika perseroan melakukan modifikasi teknologi di pabrik baru ini. Modifikasi itu setidaknya membutuhkan ongkos tambahan US$ 60-70 juta. Beberapa pabrik asal Korea dan India telah melakukan hal serupa. Selisih harga pokok produksinya lebih murah, yaitu US$ 10-20 per ton. “Belum kompetitif, tapi semestinya bisa sampai harganya bagus,” tutur Roy.

Roy menyebutkan masa uji proyek ini seharusnya sekitar enam bulan—bukan dua-tiga bulan seperti yang dikehendaki manajemen. Ia menduga proyek ini dijalankan semata agar tidak menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan. Apalagi bahan baku yang digunakan untuk uji coba proyek hanya cukup untuk dua bulan. “Jangan sampai setelah dua bulan ada masalah tapi kontraktor sudah lepas tanggung jawab.”

Pekerja memeriksa kualitas lempengan baja panas di pabrik PT Krakatau Steel di Cilegon, Banten, Februari 2019. / ANTARA/Asep Fathulrahman

Direktur Utama PT Krakatau Steel Silmy Karim punya pendapat berbeda. Ia menilai uji operasi pabrik baru ini cukup tiga bulan untuk menentukan apakah proyek layak dilanjutkan atau tidak. Adapun waktu enam bulan adalah masa penilaian akhir yang ditandai dengan sertifikat penerimaan akhir (FAC). “Kalau tidak kompetitif, ya, disetop. Tapi semua harus ada risetnya, bukan taksiran semata,” ucap Silmy.   

Sejak awal Silmy berencana menyelesaikan proyek baja tanur tinggi yang mangkrak sejak 2012 ini. Investasi proyek ini membengkak Rp 3 triliun menjadi Rp 10 triliun per akhir 2018 dari rencana semula hanya Rp 7 triliun. Silmy tak mau terus mengulur-ulur operasi pabrik baja terpadu tersebut meskipun nantinya proyek berpotensi gagal. “Ini harus dijalankan dulu. Kalau gagal, ya, biaya yang sudah timbul itu tak akan kembali,” ujar Silmy. ” Tapi kami tidak perlu mengeluarkan uang lagi.”

Jika proyek itu benar-benar gagal di tengah uji coba operasi, Silmy akan memodifikasi pabrik menggunakan tambahan fasilitas peleburan baja dengan oksigen dasar (basic oxygen furnace). Investasi tambahannya US$ 60-100 juta. Krakatau akan mencari mitra untuk bekerja sama mengembangkan fasilitas tersebut. “Nanti studi dan modal kerja dari mereka, kami tinggal bagi hasil,” kata mantan Direktur Utama PT Pindad itu. “Yang penting, proyek yang tadinya abadi bisa selesai.”

Deputi Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno meminta proyek ini bisa berlanjut sesuai dengan target. “Kami inginnya jalan terus meski masih ada masalah,” tuturnya, Rabu, 24 Juli lalu. Fajar pun menyerahkan soal status pengunduran diri Roy Maningkas kepada rapat umum pemegang saham perseroan.

Proyek lawas yang belum tuntas ini muncul di tengah kubangan utang Krakatau. Silmy Karim harus putar otak agar setumpuk masalah di Krakatau terurai. Di luar proyek yang biayanya membengkak hingga Rp 10 triliun dan berpotensi gagal tersebut, Krakatau memiliki gunungan utang hampir Rp 40 triliun pada pertengahan tahun ini.

Pada Maret lalu, isu gagal bayar utang Krakatau sempat merebak di kalangan pelaku pasar. Tiga bank pelat merah yang tercatat paling banyak mengucurkan pinjaman hampir saja enggan memberikan kredit lagi. Belakangan, bank-bank tersebut melunak dan menyetujui proposal restrukturisasi utang Krakatau Steel.

Silmy menyebutkan lima institusi keuangan bersedia menalangi rencana restrukturisasi utang perseroan kali ini. “Ada BRI, Mandiri, BNI, BCA, dan lembaga ekspor-impor.” Manajemen juga masih bernegosiasi dengan tiga bank asing.

Kepala Riset PT Koneksi Kapital Alfred Nainggolan mengatakan Krakatau memang sudah masuk kategori perusahaan dengan kesulitan keuangan yang nyaris bangkrut. Kinerja saham emiten berkode KRAS ini pun terus merosot dari tahun ke tahun. Apalagi, Alfred menambahkan, isu kelanjutan pabrik pengolahan baja ber-tanur tinggi sebagai proyek “maju kena mundur kena” ini hanya akan memberikan ketidakpercayaan pada pelaku pasar. Saham murah KRAS di rentang Rp 340 per lembar tak banyak dilirik. “Kalau seperti ini, sahamnya didiamkan. Pasar hanya menunggu kepastian upaya perusahaan sampai sehat lagi,” ucap Alfred.

Belakangan, perusahaan menyederhanakan struktur organisasi melalui pengurangan jumlah karyawan secara bertahap hingga tahun depan. Silmy Karim menyatakan tak akan memperpanjang kontrak 2.600 pekerja lepas yang berakhir bulan ini. Sebab, total biaya upah pekerja lepas rata-rata mencapai Rp 35 miliar per bulan. “Itu untuk sekitar sepuluh perusahaan penyalur pekerja. Saya tidak tahu ini dinikmati siapa,” ujarnya.

Buruh pabrik yang tergabung dalam Serikat Buruh Krakatau Steel itu pun melakukan unjuk rasa pada pertengahan bulan lalu. Koordinator buruh, Muhari Machdum, mengatakan restrukturisasi tersebut akan berdampak bertambahnya jumlah penganggur di Banten. “Saya minta rencana dibatalkan karena per 1 Juni sudah ada 529 pekerja lepas yang dirumahkan,” ucapnya.

Tak hanya mencopot tenaga lepas, Silmy juga memangkas posisi dan jumlah karyawan di struktur organisasi induk perusahaan. Kini setiap general manager langsung membawahkan dua manajer dan anggota staf, tanpa jabatan superintendent. Beberapa karyawan pun dipindahkan ke anak perusahaan. “Struktur organisasi itu bisa maju kalau ramping dan tipis.”

Analis Alfred Nainggolan mengapresiasi langkah Silmy membenahi struktur peru-sahaan yang terlalu gemuk itu meski memi-cu kontroversi. Sebab, selama ini Krakatau terkenal dengan dinasti kekuasaan karya-wan di dalamnya. “Penghematan biaya mung-kin tidak seberapa, tapi semangatnya untuk memperbarui perusahaan ini ba-gus.”

 

Riwayat Kontrak

15 November 2011

Kontrak pertama diteken Direktur Utama Krakatau Steel saat itu, Fazwar Bujang.

Nilai kontrak: 

- US$ 321,9 juta untuk MCC-CERI

- Rp 1,81 triliun untuk Krakatau Engineering

Target: 35 bulan (Oktober 2014)

 

17 Juli 2013

Nilai kontrak:

- US$ 334,9 juta untuk MCC-CERI

- Rp 1,81 triliun untuk Krakatau Engineering

Target: Maret 2016

 

Maret 2016

Nilai kontrak:

- US$ 334,9 juta untuk MCC-CERI

- Rp 1,97 triliun untuk Krakatau Engineering

Target: Kuartal I 2017

 

Agustus 2017

Nilai kontrak:

- US$ 334,9 juta untuk MCC-CERI

- Rp 2,21 triliun untuk Krakatau Engineering

Target: Semester I 2019

Laporan keuangan 2018 menyebutkan nilai investasi proyek membengkak menjadi
US$ 716,1 juta atau
Rp 10,16 triliun

 

 

Berkubang dalam Utang

PUTRI ADITYOWATI, KHAIRUL ANAM, DIAS PRASONGKO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus