Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perang Rusia-Ukraina mendorong lonjakan harga komoditas ekspor Indonesia.
Taipan tambang dan perkebunan untung, cadangan devisa berpotensi menguat.
Sentimen negatif juga menguat di tengah rencana pengetatan kebijakan moneter Amerika Serikat.
PERANG membawa tragedi dan malapetaka, itu pasti. Tapi selalu ada pihak yang juga menangguk keuntungan ketika perang berkecamuk. Begitulah kisah para pebisnis komoditas dari Indonesia yang sekarang sedang girang menikmati lonjakan harga, ketika tentara Rusia menyerbu Ukraina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tengoklah harga kontrak berjangka batu bara Newcastle, patokan pasar utama di Asia. Indikator rujukan penting ini sempat naik 46 persen dalam sehari menjadi US$ 446 per ton pada Rabu, 2 Maret lalu. Lonjakan terjadi karena negara-negara konsumen sedang panik berebut sumber pengganti batu bara asal Rusia yang selama ini menutup kebutuhan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jangan salah sangka, Rusia bukan hanya jagoan ekspor gas alam, tapi juga pemain penting batu bara di pasar internasional. Rusia menguasai 18 persen pasar ekspor batu bara global pada 2020. Uni Eropa tahun lalu mengimpor 70 persen batu bara termal untuk pembangkit listrik dari Rusia. Sedangkan Korea Selatan dan Jepang berturut-turut mengimpor 20 persen dan 10 persen kebutuhannya dari Rusia.
Kekosongan pasokan Rusia membuat harga terbang dan entah kondisi ini akan berlangsung hingga kapan. Selama itu pula korporasi penambang batu bara di Indonesia akan menikmati penerimaan ekstra yang luar biasa. Indonesia eksportir batu bara terbesar di dunia. Tahun lalu, volume ekspor batu bara Indonesia 427 juta ton.
Ada lagi lonjakan harga komoditas yang membawa rezeki bagi Indonesia. Rusia dan Ukraina selama ini memasok 75 persen kebutuhan minyak bunga matahari ke pasar global. Perang membuat pasokan penting ini macet. Konsekuensinya, harga empat minyak pangan utama di dunia (sawit, kedelai, rapeseed, dan bunga matahari) melonjak makin tinggi.
Sebelum perang pecah, pasar berbagai jenis minyak pangan nabati sebetulnya sudah sangat ketat. Harga minyak sawit di pasar internasional terbang tinggi sejak tahun lalu, bahkan melonjak hingga dua kali lipat sehingga memicu krisis minyak goreng di dalam negeri. Perang membuat persoalan makin runyam. Namun dari keruwetan masalah inilah mengalir keuntungan besar bagi penghasil minyak sawit. Dalam tempo sepekan semenjak serangan Rusia, harga minyak sawit mentah Indonesia sudah naik lagi sekitar 20 persen.
Tentu saja bukan hanya korporasi dan para taipan yang menikmati rezeki nomplok ini. Penerimaan pemerintah Indonesia dari berbagai jenis pajak dan pungutan lain tentu juga bertambah cukup signifikan, sejalan dengan kenaikan harga. Secara makro, ekonomi Indonesia juga ibarat mendapat suntikan booster, makin kuat. Aliran penerimaan dolar hasil ekspor yang melonjak tinggi tentu akan memperkuat neraca transaksi berjalan ataupun neraca pembayaran. Cadangan devisa berpotensi bertambah besar.
Sepanjang 2021, lonjakan harga komoditaslah yang menjadi bantal penyelamat ekonomi Indonesia di tengah gejolak ekonomi global yang baru pulih dari serangan pandemi Covid-19. Perang memperpanjang durasi penyelamatan itu. Harga berbagai komoditas yang sebelumnya mulai menunjukkan tren penurunan memasuki 2022 kini kembali terbang karena perang.
Di pasar finansial, efek rezeki perang juga kentara. Ketika berbagai bursa di Asia berjatuhan, harga saham di Jakarta malah sempat menyentuh titik tertinggi sepanjang sejarah, 6.996,9, pada Selasa, 1 Maret lalu. Kurs rupiah juga stabil di kisaran 14.380 per dolar Amerika Serikat.
Namun sentimen positif dari lonjakan harga komoditas ini akan beradu kuat dengan sentimen negatif yang muncul karena perubahan kebijakan The Federal Reserve, Jumat, 4 Maret lalu. Data mutakhir lapangan kerja di Amerika Serikat menunjukkan ekonomi yang sedang tumbuh pesat. Ada 678 ribu lapangan kerja baru selama Februari 2022.
Tak sulit menginterpretasikan data itu. Ekonomi Amerika mulai panas. The Fed harus mengeremnya dengan menaikkan bunga dan menyedot likuiditas. Para analis bahkan bertaruh The Fed akan agresif, tak tanggung-tanggung menaikkan bunga. Kebijakan ini akan membawa sentimen negatif bagi negara berkembang, termasuk Indonesia. Di sinilah pertaruhannya. Apakah sentimen negatif ini mampu mengalahkan aura positif rezeki perang yang masih mendominasi pasar finansial Indonesia?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo