Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank Syariah Indonesia membeli Wisma Antara yang berpuluh tahun dikuasai swasta.
Joko Tjandra hingga Prajogo Pangestu sempat menjadi pemilik Wisma Antara.
Kementerian BUMN menyebut status Wisma Antara kini clean and clear.
HARAPAN Abdul Gofur pupus sudah. Sejak awal menjadi pegawai Perusahaan Umum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara pada 1988, Gofur berpikir Wisma Antara yang menjadi kantornya bakal ia tempati seterusnya.
Kini, 24 tahun kemudian, Gofur dan semua karyawan Antara harus hengkang dari gedung di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, ini. “Dulu para senior bercerita, gedung ini akan menjadi milik Antara sepenuhnya setelah perjanjian kerja sama dengan pengembang berakhir,” kata Gofur, yang menjabat Ketua Umum Serikat Pekerja LKBN Antara, kepada Tempo, Rabu, 5 Oktober lalu.
Pada 19 September lalu, PT Bank Syariah Indonesia Tbk atau BSI membeli Wisma Antara dari PT Anpa International seharga Rp 755 miliar. BSI, perusahaan hasil merger unit usaha syariah sejumlah bank pelat merah, berniat mengubah desain Wisma Antara. Para karyawan LKBN Antara dan tenant di gedung itu pun harus pindah. Karyawan Antara mungkin akan menempati kantor lama mereka di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Padahal, Gofur menuturkan, pemerintah membangun Wisma Antara pada 1970-an demi menyediakan kantor yang layak bagi para jurnalis dan pegawai kantor berita itu. Bangunan kantor di Pasar Baru, yang terletak di pinggir Sungai Ciliwung, saat itu dianggap tak layak lagi.
Gedung Wisma Antara di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, 29 September 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Karena itu, Adam Malik, Wakil Presiden periode 1978-1983 yang juga mantan wartawan Antara, memindahkan kantor ke Wisma Antara yang dibangun di atas lahan milik Departemen Penerangan dan Radio Republik Indonesia. Antara pun berkantor di gedung baru sejak 29 Juni 1981. “Dulu Adam Malik memindahkan Antara dari pinggir kali ke pinggir Monas, sekarang balik lagi, dari pinggir Monas ke pinggir kali,” tutur Gofur, berkelakar.
Ihwal pembelian Wisma Antara oleh BSI, Gofur mengatakan para karyawan tak bisa berbuat apa-apa. Menurut dia, para karyawan mendengar isu penjualan Wisma Antara sejak Januari 2022. “Yang beli BUMN, atas izin Kementerian BUMN. Sia-sia kalau ditentang,” ucapnya.
LKBN Antara memiliki 20 persen saham Anpa International. Bagi direksi Antara, mempertahankan kepemilikan mereka di Anpa International sama dengan membiarkan kerugian. Karena itu, mereka sepakat melego gedung bersejarah itu. “Gedung ini akan dibangun ulang. (Kalau bertahan), kami harus ikut investasi,” ujar Direktur Utama LKBN Antara Meidyatama Suryodiningrat, Selasa, 11 Oktober lalu. “Secara bisnis tak masuk akal. Mending dijual dan hasilnya untuk membangun Antara,” kata pria yang akrab disapa Dimas ini.
Karyawan pun mulai mengemasi barang-barang pribadi mereka setelah direksi Antara merilis surat edaran tentang pemindahan pada 13 September lalu. Begitu Wisma Antara kosong, BSI akan mengubah gedung itu menjadi properti baru.
•••
SEBELUM Wisma Antara dibeli Bank Syariah Indonesia, kepemilikannya penuh sengketa. Gedung di kawasan strategis nasional ini adalah salah satu aset negara yang lepas ke tangan swasta.
Pembangunan Wisma Antara berawal pada 25 Oktober 1972, saat LKBN Antara menandatangani letter of intent “Antara Building Project” bersama BV Pabema SEA, perusahaan asal Belanda. Proyek itu akan digarap oleh perusahaan patungan Antara dengan Pabema.
Departemen Penerangan, yang saat itu membawahkan Antara, memberikan sebidang tanah seluas 6.408 meter persegi di Jalan Medan Merdeka Selatan Nomor 17 yang sebelumnya ditempati Radio Republik Indonesia. Kantor berita radio itu kemudian pindah ke Jalan Medan Merdeka Barat.
Kerja sama Antara dengan Pabema berlangsung saat kantor berita itu dipimpin oleh Brigadir Jenderal Ismail Saleh. Ismail, selain menjabat Pemimpin Umum Antara, menduduki kursi Wakil Sekretaris Kabinet.
Lantaran LKBN Antara belum memiliki badan hukum komersial, Ismail mendirikan perusahaan bernama PT Antara Kencana Utama Estate Ltd (AKUEL). Sahamnya dipegang beberapa pejabat Antara. Harsono, pejabat Antara saat itu, bertindak sebagai Direktur Utama AKUEL.
AKUEL dan Pabema kemudian mengikat perjanjian pendirian perusahaan patungan bernama PT Anpa International. AKUEL memiliki 20 persen saham Anpa, sisanya dipegang Pabema. Salinan dokumen pendirian JV Anpa yang Tempo peroleh menyebutkan modal pendirian perusahaan patungan itu sebesar US$ 1 juta.
Mulanya Anpa akan membangun gedung bernama Wisma Kencana. Ketika proyek ini selesai, namanya berubah menjadi Wisma Antara. Kontraktor utamanya adalah PT Jasa Jaya Agung. Pemilik perusahaan tersebut, The Sien Thing, mendapat 2 persen dari nilai proyek sebagai ongkos makelar dan 5 persen saham Anpa.
Izin operasi perusahaan patungan itu berlangsung selama 30 tahun sejak gedung beroperasi. Dalam laporan keuangan Antara pada tahun-tahun berikutnya disebutkan modal saham Anpa International yang disetor penuh sebesar Rp 622.500.000 (setara dengan 1.500 lembar saham dengan harga per lembar US$ 10, saat kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sebesar 415).
Antara, lewat AKUEL, menyerahkan tanah seluas 6.408 meter persegi sebagai setoran modal saham, yang saat itu hanya dihargai US$ 200 ribu dan uang kontan US$ 100 ribu yang setara dengan 20 persen saham. Tapi ternyata setoran berupa tanah ini tak tercantum dalam perjanjian pendirian perusahaan patungan, meski kemudian masuk laporan keuangan Antara. Selain beroleh saham 20 persen, Antara kebagian jatah lantai 19 dan 20, juga lantai 2 yang kini menjadi Auditorium Adhiyana.
Tapi proyek Wisma Antara tak lancar. Setelah dibangun pada 26 September 1973, proyek itu sempat mangkrak sampai 1979. Proyek lantas dilanjutkan kembali dan gedung itu mulai beroperasi pada Juni 1981. Sejak itu LKBN Antara dan sejumlah kantor berita asing berkantor di sana. Di luar perusahaan media, ada grup Humpuss, kelompok usaha milik Hutomo Mandala Putra, putra bungsu bekas presiden Soeharto.
Setelah gedung ini beroperasi, Antara sebenarnya berpeluang menjadi pemilik sepenuhnya. Perjanjian joint venture AKUEL dengan Pabema memuat klausul pelepasan saham kepada Antara secara bertahap. Dalam skema saat itu, satu dekade sejak Anpa International berdiri atau pada 1982, kepemilikan saham AKUEL akan bertambah menjadi 50 persen. Namun Antara tak pernah mengeksekusi hak menambah saham tersebut.
Dari sana, ada celah bagi pihak ketiga untuk masuk. Perjanjian joint venture ini memang mengizinkan Pabema melepas sahamnya kepada pihak lain jika Antara melalui AKUEL tak mau membelinya.
Djoko Tjandra yang ditangkap di Malaysia tiba di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, 30 Juli 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
Pada April 1987, muncul nama C&P Realty, perusahaan yang berdomisili di Singapura, sebagai pembeli saham Pabema. Setelah transaksi selesai, C&P Realty menjadi pemegang 80 persen saham Anpa International. C&P Realty adalah entitas yang terafiliasi dengan Joko Soegiarto Tjandra, salah satu pendiri Grup Mulia. Joko Tjandra, yang dijuluki Joe Chan dan Joker, terjerat pusaran skandal Bank Bali pada 1999. Sempat menjadi buron, dia kini tengah menjalani hukuman.
•••
SEJUMLAH kabar yang diterima karyawan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara menyebutkan proyek Wisma Antara sejatinya memakai skema bangun-guna-serah atau build-operate-transfer (BOT). Dalam skema ini, LKBN Antara selaku pemilik lahan akan menjadi pemilik Wisma Antara yang dibangun bersama Pabema selaku kontraktor. Tapi skema BOT sebatas kabar karena tidak disebutkan dalam perjanjian pendirian perusahaan patungan PT Anpa International.
Soal ini pun menjadi salah satu biang sengketa kepemilikan Wisma Antara. Sebabnya, para pegawai Antara mendapat informasi bahwa status BOT dalam proyek Wisma Antara ada dalam dokumen yang dipegang Ismail Saleh. Ismail adalah Pemimpin Umum Antara yang menandatangani perjanjian dengan Pabema. Setelah turun dari kursi kepemimpinan di LKBN Antara, Ismail diangkat menjadi Jaksa Agung (1981-1984), lalu Menteri Kehakiman (1984-1993). Pada 1999, dia menjadi penasihat hukum Joko Tjandra. Ismail, yang menyandang pangkat terakhir letnan jenderal, meninggal pada 2008.
Pada 2006, pemerintah mempertanyakan status aset Wisma Antara. Saat itu pemerintah sedang gencar mendata dan mengejar aset-aset—terutama tanah negara—yang diberikan ke pihak swasta semasa Orde Lama dan Orde Baru. Tanah negara ternyata banyak yang ditempati gedung perkantoran, hotel, dan properti lain yang dikuasai pihak swasta.
Jusuf Kalla, yang saat itu menjabat wakil presiden, meminta kepemilikan Wisma Antara diperiksa. Kalla pun menerima informasi bahwa Wisma Antara mulanya dibangun dengan skema BOT. “Dulu gedung itu BOT, tiba-tiba dimiliki orang lain," tutur Kalla saat itu.
Pada 2011, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat kembali mempermasalahkan kepemilikan Wisma Antara oleh Joko Tjandra, yang saat itu sudah menjadi buron skandal Bank Bali. LKBN Antara lantas menyiapkan berkas gugatan dan meminta Kejaksaan Agung selaku pengacara negara mengembalikan status Wisma Antara sebagai aset milik negara.
Namun upaya itu tak pernah berhasil. Pada 2014, Joko Tjandra malah mengalihkan saham Anpa International yang ia kuasai kepada PT Mastindo Mulia, perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Barito Pacific milik pengusaha Prajogo Pangestu. Penjualan ini terjadi saat Joko menjadi buron.
Prajogo Pangestu, pemilik perusahaan Barito Group di Jakarta, 28 September 2001. Dok.TEMPO/Arif Ariadi
Sebelum Mastindo mengambil alih saham Anpa International pada 2014, Prajogo sebetulnya sudah duduk di kursi komisaris perusahaan patungan itu sejak 2004. Dalam akta perusahaan Anpa International, Prajogo Pangestu menjadi komisaris bersama Eka Tjandranegara dan Gunawan Tjandra, dua adik Joko Tjandra.
Kepada Tempo, Head of Corporate Communication Barito Pacific Angelin Sumendap menegaskan bahwa Mastindo Mulia baru membeli saham Anpa International pada 2014. Dia tidak menjawab pertanyaan tentang posisi Prajogo pada 2004. “Grup Barito memiliki Mastindo Mulia semenjak Mastindo Mulia didirikan pada 2008 dan tidak ada pemegang saham lain di Mastindo Mulia,” ujarnya pada Jumat, 14 Oktober lalu.
Menurut Angelin, ketika membeli saham Anpa International dari Grup Mulia, Grup Barito dan Mastindo pun tidak pernah mengetahui ihwal dokumen BOT Wisma Antara. “Dan tidak pernah melihat adanya dokumen tersebut. Mastindo Mulia membeli saham Anpa BV Pabema sesuai dengan proses hukum yang berlaku,” katanya.
Direktur Utama Perum LKBN Antara Meidyatama Suryodiningrat mengatakan Kementerian BUMN dan direksi sempat menelusuri status BOT Wisma Antara. Tapi yang mereka temukan hanyalah status joint venture dan peluang bagi LKBN Antara untuk menambah saham di Anpa International dengan membeli sebagian saham Pabema. “Masak, dokumen BOT bisa hilang begitu saja, tidak ada dalam dokumen mana pun.”
Sedangkan Endah Sri Wahyuni, Direktur Keuangan LKBN Antara periode 2012-2016, mengatakan, sejak Joko Tjandra menguasai Anpa International, tak pernah ada dividen yang mereka terima. Sebab, laporan keuangan Anpa International selalu menyebutkan adanya kerugian. “Padahal Wisma Antara itu selalu penuh penyewanya,” ujar Endah pada Jumat, 7 Oktober lalu. Antara, Endah menambahkan, baru menikmati dividen pada 2017.
Menurut Endah, sebelum menjual sahamnya ke Barito, Grup Mulia juga sempat menawarkan 80 persen saham Anpa International kepada LKBN Antara. Endah bersama awak direksi menyisir kemungkinan adanya pinjaman dari bank milik negara atau penyertaan modal negara kepada Kementerian BUMN. Namun upaya ini tak berhasil sehingga kemudian saham itu dijual ke Mastindo Mulia.
•••
DIREKTUR Utama Perum LKBN Antara Meidyatama Suryodiningrat menerima surat dari direksi Anpa International pada Desember tahun lalu. Surat itu berisi pemberitahuan rencana Bank Syariah Indonesia atau BSI membeli Wisma Antara. “Kami tidak pernah ada rencana menjual. Tidak pula mengiklankan,” kata Meidyatama, yang akrab disapa Dimas.
Angelin Sumendap, Head of Corporate Communication Barito Pacific, mengakui tawaran pembelian dari Bank Syariah Indonesia itu masuk pada akhir 2021. “Anpa International dihubungi oleh BSI yang sedang mencari gedung untuk kantor baru. Salah satu yang menjadi alternatif adalah Wisma Antara,” ucapnya.
Tawaran itu berlanjut dengan pertemuan tiga pihak, yaitu Direktur Utama BSI Hery Gunardi, Dimas, dan Djuliawati, anggota direksi Anpa International yang menjadi perwakilan Mastindo Mulia. Pertemuan ini berlangsung pada Desember 2021.
Adanya minat BSI membeli Wisma Antara diakui Arya Sinulingga, Staf Khusus Menteri BUMN Bidang Komunikasi Publik. “BSI menyampaikan rencana ke Kementerian BUMN untuk membeli Wisma Antara dari Anpa. Kami merespons mereka dengan meminta melakukan due diligence, mencari informasi kepemilikan Wisma Antara,” tutur Arya, Sabtu, 15 Oktober lalu.
Sampai hari ini, Arya menambahkan, BSI masih menyewa gedung untuk kantor pusat mereka. Beberapa gedung di sejumlah lokasi mereka incar sebelum memilih Wisma Antara. “Lokasinya sangat strategis untuk perbankan,” katanya.
Seseorang yang mengetahui transaksi ini menjelaskan, LKBN Antara tak pernah berniat menjual Wisma Antara. Tapi Grup Barito selaku pemilik Mastindo Mulia menjajakan gedung itu. “BSI tahunya dari broker properti bahwa Wisma Antara mau dijual,” ujar sumber ini.
Di situs jual-beli properti Lamudi, ada iklan Wisma Antara yang ditawarkan seorang agen bernama Rahma seharga Rp 1,5 triliun. Rahma baru terverifikasi sebagai agen independen oleh Lamudi pada 2021.
Sumber lain menyebutkan Menteri BUMN Erick Thohir turut aktif dalam pembelian Wisma Antara. Erick, menurut sumber itu, disebut sempat bertemu dengan Agus Salim Pangestu, anak Prajogo yang menjabat Presiden Direktur Barito Pacific, di Singapura pada akhir 2021. Di situ Erick menjajaki peluang membeli Wisma Antara dari Barito.
Angelin Sumendap tak mengiyakan ataupun membantah kabar pertemuan Erick dan Agus tentang rencana jual-beli Wisma Antara di Singapura. Namun, menurut dia, sebagai pemimpin Barito Pacific, Agus berupaya menjaga hubungan baik dengan berbagai lembaga, termasuk dengan Erick Thohir. “Grup Barito Pacific sebagai salah satu perusahaan di sektor energi memiliki beberapa kerja sama kemitraan dengan perusahaan BUMN sehingga tali silaturahmi perlu terjaga dengan baik,” ucapnya. Angelin pun menyebutkan pertemuan Agus dengan Erick dilakukan dengan maksud itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sedangkan Arya Sinulingga membantah kabar pertemuan itu. “Tidak benar, informasinya salah. Tidak ada pertemuan di Singapura dengan pemilik saham Anpa International, dalam hal ini Agus Pangestu,” katanya.
BSI diketahui mengajukan tawaran pembelian Wisma Antara pada Juni lalu. Lewat tawar-menawar, kedua pihak menyepakati transaksi senilai Rp 755 miliar. Angka ini sesuai dengan taksiran kantor jasa penilai publik yang jasanya dipakai Bank Syariah Indonesia.
Menurut Arya, berdasarkan informasi yang ia peroleh dari BSI, bank itu berani melanjutkan transaksi pembelian Wisma Antara setelah melakukan uji tuntas terhadap kepemilikan aset tersebut. Kementerian BUMN, dia menambahkan, kemudian meminta BSI memeriksa status Wisma Antara ke Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan. Tujuannya adalah memastikan apakah properti tersebut berstatus aset negara atau bukan. “Hasilnya, Wisma Antara tidak tercatat sebagai tanah dan bangunan milik negara,” ujarnya.
BSI, Arya melanjutkan, juga memeriksa status Wisma Antara ke Badan Pertanahan Nasional. Dalam surat yang terbit pada Maret 2022, kata dia, Badan Pertanahan menyatakan status properti itu bersih dan jelas. Tak cukup dengan itu, BSI juga meminta Kejaksaan Agung mengecek. “Tidak ada status kasus di sana. Clean and clear.”
Adapun manajemen BSI enggan menjelaskan detail pembelian Wisma Antara. Lewat jawaban tertulis pada Jumat 14 Oktober lalu, Senior Vice President Corporate Secretary and Communication Group BSI Gunawan Arif Hartoyo mengatakan aset berupa tanah dan bangunan Wisma Antara akan digunakan untuk mendukung kegiatan perseroan. “BSI telah melakukan pengecekan kepada lembaga-lembaga terkait dan hasilnya status kepemilikan gedung tersebut clean dan clear.”
Walhasil, Wisma Antara kini kembali ke tangan negara, melalui transaksi jual-beli oleh BSI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo