Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 16 Oktober 2022, genap Anies Baswedan lima tahun menjabat Gubernur Jakarta. Periode pertamanya memimpin Ibu Kota habis. Tapi tak ada pemilihan kepala daerah setelah Anies lengser. Pemilihan Gubernur Jakarta baru akan digelar pada 2024 karena Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah Nomor 10 Tahun 2016 mewajibkan pilkada serentak di 541 daerah otonom pada 27 November 2024.
Pemilihan kepala daerah serentak ini mengikuti tata waktu pemilihan legislator dan pemilihan presiden yang disatukan penyelenggaraannya pada 14 Februari 2024. Menurut para penyusun Undang-Undang Pilkada, pemilihan umum serentak bertujuan menyederhanakan pemilu agar keriaan demokrasi ini berjalan efisien.
Lalu siapa yang menggantikan Anies Baswedan memimpin DKI Jakarta selama dua tahun ke depan? Di sinilah pangkal soalnya. Pembuat Undang-Undang Pilkada tak hati-hati, baik disengaja maupun tidak sengaja, mengatur jabatan kosong ditinggalkan kepala daerah yang pemilihannya tak klop dengan jadwal pemilu serentak. Akibatnya, penjabat ditunjuk dari kalangan pegawai negeri sipil.
Penunjukan ini akan berakibat pada legitimasi kepala daerah. Sesuai dengan amanah konstitusi, Undang-Undang Pilkada seharusnya menyediakan mekanisme pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau memperpanjang masa jabatan kepala daerah hingga pemilu berikutnya terselenggara. Pengangkatan pegawai negeri sipil oleh presiden atau Menteri Dalam Negeri, selain mencederai demokrasi, juga rawan konflik kepentingan. Terlebih lagi di masa jabatan kepala daerah yang ditunjuk itu ada pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah. Sudah bukan rahasia lagi penjabat dari kalangan pegawai negeri selama ini gampang disetir dan ditunggangi kepentingan politik.
Di daerah, pada era demokrasi elektoral kini, faktor figur kepala daerah sangat menentukan. Dia menjadi lokomotif dalam transformasi. Suatu daerah bisa maju, jalan di tempat, atau malah mundur bila salah memilih pemimpin kepala pemerintahan. Karena itu, pejabat yang berwenang mengangkatnya perlu hati-hati dan hendaknya menjadikan kriteria baku sebagai pedoman penunjukan.
Di samping itu, sejak 2007, warga Jakarta telah memilih sendiri secara langsung gubernurnya. Pada tahun itu sebagian besar penduduk Jakarta memilih Fauzi Bowo, seorang birokrat pemerintahan DKI Jakarta yang berkarier dari anggota staf biasa hingga menjabat Sekretaris Daerah. Ia dikalahkan oleh Wali Kota Solo Joko Widodo saat maju sebagai petahana dalam pilkada dan gagal memimpin untuk periode kedua.
Dalam pemilihan kepala daerah 2017, Anies Baswedan mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama, wakil Jokowi yang melaju ke kursi presiden pada 2019. Rektor Universitas Paramadina yang menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla ini menjadi DKI-1 mengalahkan Basuki lewat pertarungan sengit yang diwarnai politik identitas. Semua itu adalah proses demokrasi yang seharusnya tak diabaikan begitu saja oleh para pembuat undang-undang kita.
Kini masa jabatan Anies Baswedan selesai. Menurut ketentuan Pasal 201 ayat 10 Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, jabatan gubernur harus diisi oleh pegawai negeri yang menyandang jabatan setara dengan eselon 1. Semula hanya Menteri Dalam Negeri yang bisa mengusulkan tiga calon pelaksana tugas gubernur kepada presiden. Belakangan, atas desakan masyarakat, DPRD boleh pula mengajukan tiga calon.
Tiga calon yang diusulkan DPRD DKI Jakarta kepada Presiden Jokowi adalah Heru Budi Hartono, Kepala Sekretariat Presiden yang pernah menjadi Wali Kota Jakarta Utara; Marullah Matali, Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta yang pernah menjabat Wali Kota Jakarta Barat; dan Bachtiar, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri yang pernah menjadi penjabat Gubernur Kepulauan Riau.
Dalam sidang tim penilai akhir (TPA) pada 6 Oktober 2022, Presiden Jokowi memutuskan Heru Budi Hartono sebagai penjabat Gubernur DKI Jakarta. Berarti dia dianggap “clean” dan cakap memimpin DKI Jakarta. Jika ada beberapa kasus hukum yang berkaitan dengan Heru Budi, seperti disuarakan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia, TPA tentu telah membahasnya dengan teliti. Nyatanya, Presiden telah memilih siapa yang memimpin Jakarta dua tahun ke depan.
Naiknya Heru Budi menjadi DKI-1 memunculkan kesan “gubernur rasa Istana” untuk menunjukkan dulu ada “gubernur rasa Menteri Dalam Negeri”. Pada 2017, Jokowi juga pernah mengadang-gadang Heru Budi berpasangan dengan Basuki tapi gagal. Butuh lima tahun agar Jokowi bisa menunaikan cita-citanya mengangkat Heru menjadi Gubernur Jakarta.
Setelah melantiknya, Jokowi berpesan agar Heru mengendalikan banjir Jakarta, menurunkan kemacetan lalu lintas melalui integrasi transportasi publik, juga membereskan tata ruang. Tugas lain adalah memfinalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta 2023 paling lambat 30 November 2022. Dalam konteks itu, kemampuan Heru meyakinkan DPRD DKI Jakarta bakal diuji sehingga anggaran bisa diketuk tepat waktu.
Dua tugas penting lain Heru Budi Hartono adalah memfasilitasi kepindahan ibu kota Nusantara dari Jakarta ke Kalimantan Timur dan mendukung kelancaran pemilihan legislator dan pemilihan presiden 14 Februari 2024 serta pemilihan Gubernur Jakarta 27 November 2024. Sebagai “orang Istana”, rasanya Heru tak akan banyak kesulitan menanganinya. Sebab, ia punya akses ke pucuk kekuasaan, pengelola otorita Nusantara, para menteri, serta pimpinan lembaga sipil dan militer. Sebagai pegawai negeri, Heru tentu wajib bersikap netral, tidak mempolitisasi aparatur sipil negara, dan tidak mencalonkan diri menjadi gubernur Jakarta pada 2024.
Bagaimana nasib Anies Baswedan? Di luar keberhasilannya menata Jakarta, meluaskan sarana transportasi publik, dan menurunkan kemacetan, ia juga pemimpin kontroversial. Guna mewujudkan mimpi membuat Jakarta menjadi kota global, pada 14 Juni 2022 ia menggelar balapan Formula E dengan alokasi biaya hajatan sekitar Rp 380 miliar. Belakangan, Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa Anies untuk menyelidiki dugaan korupsi dalam ajang balapan mobil listrik itu.
KPK kabarnya segera menetapkan Anies Baswedan sebagai tersangka korupsi. Menurut majalah Tempo, rencana pengumuman itu yang membuat Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh buru-buru mengumumkan Anies sebagai calon presiden dalam Pemilu 2024. Jika benar, keterlambatan mencalonkan Anies karena kalah cepat dengan pengumuman status tersangka oleh KPK akan membuat ia sulit masuk ke gelanggang politik.
Dari kursi Gubernur Jakarta, kini Anies Baswedan terlempar ke kursi calon presiden. Bila hasil surveinya menanjak, koalisi partai pengusung berhasil dibentuk, dan calon wakil presiden yang dipilihnya bisa menambah perolehan suara, Anies berpeluang besar memenangi pemilihan presiden 2024. Berarti ia meneruskan jejak Joko Widodo yang naik ke kursi presiden dari jabatan Gubernur DKI Jakarta.
Kalau Anies Baswedan kalah dan tak menjadi calon presiden, jika mau, ia masih punya peluang ikut lagi berlaga di pemilihan Gubernur Jakarta untuk periode kedua. Meski begitu, ia harus menunggu pemilihan berikutnya setelah keriuhan pemilihan presiden beres akibat kekacauan desain pilkada serentak dalam Undang-Undang Pilkada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo