Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yopie Hidayat *
Pasar keuangan global punya kegemaran mengadopsi satu isu utama sebagai pedoman. Sementara dua pekan lalu orang berbicara tentang naik-tidaknya suku bunga The Federal Reserve, kini topiknya sudah bergeser menjadi ekonomi Cina.
Sebelum tema pasar berganti, batalnya kenaikan bunga The Fed dua pekan lalu sebetulnya sudah menyulitkan Indonesia. The Fed masih memberi sinyal suku bunga bisa naik dalam waktu dekat. Keputusan yang menggantung ini pada akhirnya cuma memicu berlanjutnya spekulasi dan ketidakpastian. Pemerintah ataupun Bank Indonesia jelas semakin sulit menetapkan arah kebijakan?makroekonomi ataupun moneter, karena harus terus menduga-duga keputusan The Fed.
Situasi menjadi semakin runyam pada Rabu pekan lalu, ketika laporan awal indeks Caixin, tolok ukur aktivitas industri manufaktur di Tiongkok, menunjukkan angka 47 untuk September 2015. Ini angka terendah sejak 78 bulan lalu. Indeks Caixin di atas 50 berarti situasi membaik, ada pertumbuhan. Sebaliknya, angka di bawah 50 berarti industri manufaktur di Cina sedang melemah.
Munculnya laporan awal Caixin segera menyeret rupiah dan harga saham di bursa Jakarta jatuh semakin dalam. Sehari menjelang libur Idul Adha, kurs rupiah turun tajam dari 14.486 menjadi 14.623 per dolar Amerika Serikat. Pada hari yang sama, indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia ambles 2,29 persen dalam sehari saja, menjadi 4.244,23.
Melembeknya aktivitas industri di Cina memang akan semakin membenamkan ekonomi negara-negara berkembang ke dalam kelesuan. Terutama negara-negara yang bergantung pada ekspor komoditas sebagai penggerak ekonomi.
Logikanya sederhana: industri yang lesu membuat permintaan akan komoditas tak kencang lagi, sehingga memerosotkan harga minyak sawit, sumber energi, sampai bijih besi. Di sinilah nasib republik rupiah juga turut terkait ke Caixin. Indonesia hingga kini memang belum menemukan sumber penghasilan yang andal sebagai pengganti ekspor komoditas.
Sebagai indikator awal, index Caixin sudah berbicara: ada tren kelesuan yang belum jelas di mana ujungnya.?Para pengelola dana investasi global bahkan sudah menyimpulkan krisis ini akan meluas dan lebih keras menohok beberapa negara berkembang, lagi-lagi termasuk Indonesia. Maka,?kurs rupiah ataupun harga saham agaknya juga akan makin tertekan, entah sampai di mana dan kapan.
Masalahnya, beban kita saat ini sebetulnya sudah amat berat. Misalnya, neraca pembayaran Indonesia?pada kuartal kedua 2015?kembali semburat memerah karena defisit, minus US$ 2,93 miliar. Inilah pemicu longsornya nilai rupiah yang kini semakin dekat dengan kurs 15 ribu per dolar Amerika.
Melihat ihwal persoalan yang begitu jauh di luar jangkauan, yang bisa kita harapkan hanyalah langkah-langkah antisipasi dari otoritas keuangan. Jika krisis terus menggelinding, sudah siapkah mereka?
Yang jelas, sampai sekarang negeri ini belum memiliki protokol penanganan krisis yang mumpuni dan kuat didukung undang-undang. Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan memang sudah masuk daftar prioritas, tapi entah kapan pembahasannya bisa tuntas.
Semoga saja para pemimpin kita belum lupa nasihat usang yang kerap terbuang. Sediakan payung sebelum hujan.?
Kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo