Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, mesti bersabar menanti kucuran dana desa termin kedua. Pasalnya, mayoritas desa yang menerima dana pada Agustus lalu lelet mengirimkan laporan pertanggungjawaban. Hingga pekan lalu, 140 dari 198 desa masih berkutat menyiapkan laporan yang menjadi prasyarat pengucuran dana tahap kedua.
Padahal, menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Lumajang Indah Amperawati, bimbingan teknis dan peningkatan kapasitas pengurus desa sudah dilakukan. Tapi urusan teknis administrasi pelaporan dana yang sudah diterima, sebesar Rp 116,1 juta per desa, masih menjadi persoalan. "Kondisi serupa mungkin juga terjadi di seluruh Indonesia karena ini tahun pertama desa mengelola dana yang cukup besar," katanya Kamis pekan lalu.
Persoalan penggunaan dana, yang untuk tahun ini ditetapkan Rp 280,3 juta per desa, juga terjadi di sejumlah daerah. Desa Jemowo, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, misalnya, memakai sebagian uang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 itu untuk membeli 475 tangki air bersih seharga Rp 57 juta. Padahal peruntukan dana desa seharusnya buat pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat desa.
Jemowo, yang terletak di lereng Gunung Merapi di sebelah utara, dihuni sekitar 6.000 orang, yang saat ini mengalami krisis air bersih. Pemerintah Kabupaten Boyolali hanya menyediakan sepuluh tangki air bersih per pengiriman. "Pemberian bantuan tak tiap hari, sehingga tidak semua warga kebagian," ujar Kepala Desa Jemowo Untung Widada. Akibatnya, sebagian penduduk terpaksa iuran membeli air bersih seharga Rp 120 ribu per tangki kapasitas 5.000 liter.
Di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, beberapa desa mengaku membelanjakan seluruh dana desa termin pertama untuk membayar gaji perangkat desa selama setahun. Desa Rejowinangun, Kecamatan Trenggalek, membayar gaji kepala desa Rp 2,5 juta per bulan dan delapan perangkat desa masing-masing Rp 1,25 juta. "Totalnya Rp 150 juta. Masih sisa Rp 150 juta lagi," kata Sekretaris Desa Rejowinangun Misroni.
Desa Karangturi, Kecamatan Munjungan, bahkan menghabiskan Rp 170 juta untuk gaji perangkat desa dan petugas hansip serta buat kegiatan Badan Permusyawaratan Desa, Karang Taruna, dan kelompok masyarakat.
Ternyata Misroni dan Kepala Desa Karangturi Puryono tak bisa membedakan dana desa dengan alokasi dana desa. Sebab, yang mereka gunakan untuk membayar gaji itu adalah anggaran alokasi dana desa dari APBD Kabupaten Trenggalek. "Masyarakat sering keliru. Peruntukan masing-masing juga berbeda," ujar Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Trenggalek Joko Wasono, Rabu pekan lalu.
Jumlah total alokasi dana desa per tahun minimal 10 persen dari dana perimbangan kabupaten/kota yang diterima dari APBN minus dana alokasi khusus. Tahun ini Rp 750 juta per desa dengan termin pertama mengucur pada Mei lalu sebesar 40 persennya.
Adapun pengucuran dana desa adalah pelaksanaan dari Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. Termin pertama cair pada Agustus lalu (40 persen), walau semestinya pada pekan kedua April. Termin kedua mulai pekan kedua Agustus (40 persen), lalu termin ketiga (20 persen) mulai pekan kedua Oktober nanti. Total dana desa Rp 20,7 triliun tahun ini buat 74.093 desa. Untuk 2016, pemerintah mengusulkan Rp 47,6 triliun dan direncanakan menjadi Rp 1,5 miliar per desa pada 2019.
Bukan hanya peruntukannya tak jelas, dana desa juga rawan dipakai untuk politik menjelang pemilihan kepala daerah serentak di 269 daerah pada Desember nanti. Badan Pengawas Pemilu Maluku Utara curiga calon kepala daerah akan memainkannya dalam pemilihan di Kabupaten Halmahera Selatan, Halmahera Utara, dan Kepulauan Sula.
Indikasinya, banyak kepala desa menjadi anggota tim sukses calon dan 112 pelaksana tugas kepala desa adalah pegawai negeri. Diduga kuat pencairan dana kepala desa akan dipermudah oleh calon inkumben dengan kompensasi dukungan atau pemotongan dana. "Kami akan mengawasi ketat," kata Komisioner Badan Pengawas Pemilu Muksin Amrin.
Meski di lapangan amburadul, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi justru menganggap pelaksanaan program dana desa tahun pertama sukses. Alasannya adalah pendeknya waktu serta kondisi dan kemampuan perangkat desa yang masih membutuhkan perbaikan.
Hingga 18 September lalu, sudah 44 ribu desa atau sekitar 55 persen menerima kucuran, baik termin pertama maupun kedua. "Ini sukses," ujar Ahmad Erani Yustika, Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Soal penggunaan, asalkan untuk masyarakat dan tak dikorupsi, masih bisa ditoleransi.
Menurut dia, pemerintah memang tancap gas untuk merealisasi program dana desa. Gerak cepat ini buah dari perintah Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas pada awal September lalu yang antara lain membahas pelaksanaan program itu.
Penyerapan anggaran sangat rendah waktu itu sehingga perlu digenjot. Juga terjadi turbulensi ekonomi global. Sedangkan APBN 2015 yang disusun pemerintah terdahulu tak mencantumkan pos dana desa, sehingga anggaran baru bisa muncul dalam APBN Perubahan 2015. "Beliau pingin cepat dilaksanakan," katanya.
Beberapa hari kemudian, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengundang Menteri Desa Marwan Jafar, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro untuk membahas percepatan penyerapan dana desa. Erani ikut hadir dalam pertemuan itu mewakili Menteri Marwan, yang berhalangan.
Menurut Erani, Kalla meminta jangan terlalu rumit dalam penyalurannya. Selain syarat yang harus dipenuhi desa mesti dipermudah, targetnya untuk tahun ini disederhanakan. Kalla menulis di papan tulis beberapa contoh kegiatan pembangunan infrastruktur yang bisa cepat dilaksanakan di desa-desa. "Menjelaskan mirip dosen," ujarnya.
Pertemuan itulah cikal-bakal terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Percepatan Penyaluran, Pengelolaan, dan Penggunaan Dana Desa 2015, yang diteken pada 15 September lalu. SKB kelar disusun sekitar dua pekan. Rapat pertama digelar di Kementerian dalam Negeri.
Persyaratan pencairan yang dipermudah adalah desa cukup menyerahkan anggaran pendapatan dan belanja desa untuk mengucurkan dana yang sudah dikirim Kementerian Keuangan ke kas kabupaten. Sedangkan rencana pembangunan jangka menengah desa (enam tahun) dan rencana kerja pemerintah desa tahunan, yang semula juga disyaratkan, bisa menyusul.
Peruntukan dana pun ditentukan, yaitu pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi. "Sekarang kami pantau efektivitas SKB itu," kata Erani.
Menurut seorang pejabat yang mengetahui pembahasan SKB, Kementerian Dalam Negeri sempat mengusulkan dana desa bisa dipakai buat membangun kantor desa untuk mempercepat penyerapan anggaran. Sedangkan Kementerian Keuangan mengusulkan duit itu untuk bantuan langsung tunai atau buat menebus beras untuk rakyat miskin. Menteri Desa dan Menteri Dalam Negeri sempat menahan tanda tangan gara-gara usul Kementerian Keuangan.
Namun Erani mengatakan tak ada pertentangan dalam pembahasan SKB. Sedangkan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Teguh Boediarso membenarkan kabar bahwa pihaknya pernah mengusulkan itu. Tapi usul ditolak karena dikhawatirkan akan terjadi penyelewengan dana, apalagi menjelang pemilihan kepala daerah. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menolak menjawab soal usul penggunaan dana untuk pembangunan kantor desa. "Kementerian kami hanya bertugas membangun sistem penguatan aparatur desa," ujarnya.
Jobpie Sugiharto, Larissa Huda (jakarta), Budhy Nurgianto (maluku Utara), Hari Tri Wasono (trenggalek), David Priyasidharta (lumajang), Dinda Leo Listy (boyolali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo