Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah akhirnya menggelontorkan modal negara untuk menyelamatkan Jiwasraya.
Diwarnai perdebatan antarkementerian karena belum adanya kejelasan pengembalian kerugian dalam perkara korupsi Jiwasraya.
Duit tak serta-merta digunakan untuk membayar klaim nasabah.
PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan Indonesia Financial Group (IFG) Life sedang bermain peran. Jiwasraya menjadi “Si Buruk”. IFG Life, yang sebenarnya belum lahir, menjadi “Si Baik”. Lakonnya: Si Buruk bakal dihabisi, tersisa Si Baik yang hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Skenario penyelamatan Jiwasraya yang tengah disiapkan pemerintah itu mengadopsi penyehatan bank sistemik ala closed bank bail-in. Dalam strategi ini, bank baik (good bank) akan didirikan untuk menampung aset dan kewajiban bank buruk (bad bank) yang dilikuidasi. Jika aset yang diterima kurang dibanding kewajiban, bank baik akan mendapat tambahan modal. “Nah, (untuk kasus penyelamatan Jiwasraya), kami yang menyiapkan good bank-nya,” kata Robertus Bilitea, Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), Jumat, 16 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, Jiwasraya bukan bank. Di industri perbankan, ada Lembaga Penjamin Simpanan untuk menangani bank gagal yang berdampak sistemik. Jadi cara penyelamatan Jiwasraya, perusahaan asuransi jiwa tertua di negeri ini, agak berputar.
Jiwasraya dibiarkan hidup. Hanya aset dan nasabah serta polisnya yang dipindahkan ke IFG Life. IFG Life adalah bakal anak usaha asuransi di bawah bendera Bahana, perusahaan investasi milik negara. Pemerintah lalu akan menyuntikkan dana segar, Rp 22 triliun, agar IFG Life bisa memulai usaha dan membayar klaim eks nasabah Jiwasraya.
Dana jumbo bagian dari strategi penyelamatan nasabah Jiwasraya itulah yang kini memicu reaksi pro dan kontra. Politikus Partai Demokrat, Herman Khaeron, mempertanyakan tambahan modal besar untuk menyelamatkan perusahaan yang berdarah-darah akibat korupsi dalam pengelolaan investasi dana nasabah tersebut. “Ini bukan solusi manajerial. Pembayaran oleh negara saja ini,” ucap anggota Komisi Industri Dewan Perwakilan Rakyat—di antaranya membidangi badan usaha milik negara—itu saat dihubungi Tempo, Kamis, 15 Oktober lalu.
Pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memvonis empat terdakwa kasus korupsi dana investasi Jiwasraya pada Senin, 12 Oktober lalu. Mantan Direktur Utama Jiwasraya, Hendrisman Rahim; bekas Direktur Keuangan Jiwasraya, Hary Prasetyo; eks Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya, Syahmirwan; dan Direktur PT Maxima Integra, Joko Hartono Tirto, dihukum penjara seumur hidup.
Dua terdakwa lain, Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat, baru menjalani sidang pembacaan tuntutan pada Kamis, 15 Oktober lalu. Keduanya juga dituntut penjara seumur hidup. Bedanya, jaksa menambahkan tuntutan terhadap Benny dan Heru berupa pembayaran uang pengganti, totalnya Rp 16,8 triliun—senilai dengan taksiran kerugian dalam kasus ini.
Vonis dan tuntutan itu membuat pemerintah makin yakin untuk segera menggelontorkan penyertaan modal negara (PMN) buat penyelamatan Jiwasraya. Namun, seperti pandangan Herman Khaeron, pemerhati industri asuransi, Irvan Rahardjo, menilai PMN buat IFG Life lewat Bahana itu tak ubahnya bailout, negara menalangi kerugian. “Ini bailout malu-malu. Duitnya diputar dulu di BPUI, lalu klaim polis nasabah dicicil,” tutur Irvan, Sabtu, 17 Oktober lalu.
Ribut-ribut ini mulai menggoyang kepastian PMN buat BPUI, yang sudah diketuk dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021 pada akhir September lalu. Parlemen menyetujui rencana pemerintah menyuntikkan modal kepada Bahana sebesar Rp 20 triliun. Sebanyak Rp 12 triliun disiapkan untuk pendirian IFG Life. Sisanya, Rp 10 triliun, dialokasikan dalam PMN 2022.
Pro dan kontra juga mengancam skema penyelamatan nasabah Jiwasraya lewat IFG Life. Skema yang disiapkan sejak awal 2020 ini pun sempat memicu perdebatan antara Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Kementerian Keuangan. “Nanti setelah reses kami akan rapat lagi dengan Komisi VI DPR untuk memutuskan seluruh skema penyelamatan,” ucap Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo, Jumat, 16 Oktober lalu. Reses masa persidangan I DPR 2020-2021 akan berakhir pada 8 November mendatang.
•••
KARMEN Yanto, 38 tahun, baru bergabung dengan Forum Korban BUMN Jiwasraya pada Agustus lalu. Pengusaha lem itu mengikuti forum tersebut ketika mencuat rencana Nusantara Life, perusahaan baru di bawah Bahana, menjadi pengganti Jiwasraya. “Saya pikir pemerintah mulai serius membereskan Jiwasraya ketika wacana Nusantara Life ini menguat,” kata Karmen, Jumat, 16 Oktober lalu.
Selain bergabung dengan forum itu, Karmen menghubungi manajemen Jiwasraya. Sejak April 2017, dia menjadi nasabah dengan menempatkan dana Rp 350 juta pada JS Saving Plan, produk investasi berbungkus asuransi yang menjadi salah satu biang masalah Jiwasraya. Menurut Karmen, manajer relasi perusahaan yang menerima pertanyaannya menjelaskan bahwa Nusantara Life dan skema penyelesaian klaim nasabah sedang digodok pemerintah. “Manajemen tidak bisa memutuskan,” tutur Karmen.
Anggota Forum Korban BUMN Jiwasraya mengejar hak-hak mereka sejak Jiwasraya gagal membayar klaim polis yang sudah jatuh tempo pada 10 Oktober 2018. Terakhir, forum ini menyurati Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso pada 11 September lalu.
Forum mempertanyakan nasib polis para anggotanya yang akan dipindahkan ke IFG Life, nama baru Nusantara Life yang digadang-gadang menjadi penerus Jiwasraya. “Sebagai nasabah, kami belum pernah dapat penjelasan langsung dari Jiwasraya atau bank penyalur saving plan,” ucap Machril, 66 tahun, pensiunan pegawai negeri yang juga tergabung dalam forum tersebut.
Machril dan istrinya menjadi nasabah Jiwasraya sejak 2014. Istri Machril, ekspatriat asal Jepang, baru saja purnatugas dan mendapat hak pensiun sampai Rp 1,2 miliar setelah bertahun-tahun bekerja sebagai penasihat sebuah perusahaan di Indonesia. Machril masih ingat, kala itu PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk datang menawarkan produk JS Saving Plan dari Jiwasraya sebagai wadah tabungan duit pensiunan tersebut. Imbal hasilnya dijanjikan tinggi. “Istri saya mengiyakan karena ini BUMN. Dipikirnya aman,” ujar Machril. “Hitung-hitung buat membantu pemerintah membiayai infrastruktur.”
Niat membantu pemerintah itu murni pertimbangan istri Machril. “Di Jepang, rakyatnya membantu pemerintah membiayai pembangunan dengan membeli surat utang.”
Mereka sempat menikmati imbal hasil, tapi uang itu tak pernah kembali sejak 10 Oktober 2018. “Saya dan istri baru saja memperingatinya 10 Oktober lalu,” kata Machril.
Utang klaim polis JS Saving Plan mendominasi gagal bayar Jiwasraya. Pada 31 Mei 2020, total utang klaim jatuh tempo Jiwasraya mencapai Rp 18 triliun. Utang klaim produk JS Saving Plan kepada 17.452 nasabah mencapai Rp 16,5 triliun. Adapun utang klaim polis tradisional, yang jumlah nasabahnya mencapai 35.145 orang, hanya Rp 1,5 triliun. Di luar itu, masih ada nasabah jaminan pensiun, yang jumlah pesertanya per 31 Agustus 2020 mencapai 2,3 juta.
Saat Forum Korban BUMN Jiwasraya mengirim surat kepada Jokowi, Sri Mulyani, dan Wimboh Santoso pada 11 September lalu, Kementerian BUMN sebetulnya sudah di ujung kesimpulan penyusunan skema penyelesaian nasabah Jiwasraya. Kementerian BUMN membentuk kantor manajemen proyek atau project management office, diketuai Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko. Wakilnya adalah Direktur Utama BPUI Robertus Bilitea. Keduanya melapor kepada Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo. “Kami dibantu konsultan independen telah menghitung kebutuhan dana penyelamatan polis,” tutur Hexana dalam konferensi pers virtual pada 4 Oktober lalu.
Mulanya, ada tiga opsi di atas meja. Seperti tercantum dalam dokumen skema penyelamatan Jiwasraya, pilihan pertama alias “Opsi A” adalah bailout. Pemerintah merogoh APBN untuk mengganti klaim polis nasabah. Ini dilakukan apabila masalah Jiwasraya berdampak sistemik pada industri asuransi. Namun opsi ini langsung masuk kotak karena tidak ada peraturan, baik di OJK maupun Komite Stabilitas Sistem Keuangan, yang membolehkan bailout terhadap asuransi, seperti model penanganan bank gagal berdampak sistemik.
Pilihan kedua alias “Opsi B” adalah restrukturisasi, transfer, dan bail-in. Polis nasabah Jiwasraya akan direstrukturisasi, baik besaran imbal hasil maupun jatuh temponya, sebelum polis tersebut ditransfer ke perusahaan baru. Setelah itu, pemerintah menggelontorkan modal negara, secara tidak langsung lewat BPUI, untuk memperkuat perusahaan baru tersebut.
Pilihan ketiga alias “Opsi C” adalah likuidasi. Masalahnya, yang bisa membubarkan lembaga keuangan adalah OJK. Selain itu, pembubaran dikhawatirkan bakal berdampak signifikan terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Dampak terbesar secara ekonomi, misalnya, BUMN yang mendaftarkan jaminan pensiun di Jiwasraya harus memutihkan (write-off) kepesertaan karyawannya. Artinya, BUMN tadi juga harus menambal dana pensiun karyawan yang menguap.
Kementerian BUMN bolak-balik meyakinkan Kementerian Keuangan agar menyetujui Opsi B. Namun Kementerian Keuangan sejak awal menghindari kucuran modal negara buat penyelesaian Jiwasraya. Dua pejabat kementerian yang mengikuti pembahasan ini mengungkapkan, Kementerian Keuangan menunggu kepastian nilai aset terdakwa Jiwasraya yang telah disita Kejaksaan Agung. “Kementerian Keuangan resistan dengan PMN karena angkanya gede,” ujar pejabat ini.
Sementara itu, Kementerian BUMN ingin segera merampungkan masalah Jiwasraya. Mereka memakai justifikasi pamungkas: undang-undang tentang asuransi mengatur bahwa pemegang saham wajib menyelamatkan perusahaan asuransi. “Siapa pemegang sahamnya? Kemenkeu (ultimate shareholder),” ucap pejabat ini. Kementerian BUMN juga menyodorkan alasan PMN untuk menyelamatkan nasabah, terutama peserta jaminan pensiun yang kebanyakan guru swasta dan karyawan BUMN.
Kunci-kuncian ini sempat membuat deadlock. Kementerian BUMN senewen dan pasrah bila Jiwasraya memang harus dilikuidasi. Kementerian Keuangan, kata seorang pejabat, baru melunak setelah kasus korupsi Jiwasraya mulai disidangkan dan nilai aset yang disita dari para terdakwa mulai terlihat.
Kejaksaan Agung sempat menyebutkan nilai buku aset yang disita dari para tersangka dan terdakwa mencapai Rp 18,4 triliun. Kementerian Keuangan kian yakin setelah Kementerian BUMN mematangkan skema penggelontoran PMN yang alurnya meniru strategi penyelamatan bank gagal sistemik dengan model closed bank bail-in.
Caranya seperti lakon tadi. Bahana akan mendirikan perusahaan baru, IFG Life, untuk mengelola polis-polis Jiwasraya yang telah direstrukturisasi. Selanjutnya, PMN diguyurkan ke perusahaan baru ini untuk memulai bisnis dan mendapat penghasilan sebagai modal membayar klaim polis nasabah.
Namun Jiwasraya tidak akan dilikuidasi. Ia tetap ada untuk mengelola aset yang belum clean and clear serta nasabah yang tidak mau dialihkan ke IFG Life. “Skema ini membuat PMN lebih aman,” tutur pejabat tersebut. “Terhindar dari kemungkinan terseret oleh gugatan para nasabah Jiwasraya yang tidak puas dengan restrukturisasi.”
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata, yang intens membahas skema penyelamatan Jiwasraya bersama Kementerian BUMN, tidak menjawab pertanyaan Tempo soal tarik-ulur pemberian PMN tersebut.
Begitu pula Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo, yang enggan menjawab soal tarik-ulur dengan Kementerian Keuangan. Namun Kartika menjelaskan, masyarakat pemegang polis adalah korban dan pemerintah adalah pemegang saham 100 persen Jiwasraya. “Kalau menunggu inkracht, pemegang saham harus menunggu lama sekali dan tidak ada kepastian,” katanya.
•••
PEMERINTAH baru mematangkan kebutuhan penyertaan modal negara untuk bail-in Jiwasraya pada 14 September lalu dalam rapat koordinasi terbatas tingkat menteri di Kementerian Koordinator Perekonomian. Saat rapat itu digelar, liabilitas Jiwasraya mencapai Rp 59,7 triliun. Sedangkan nilai asetnya hanya Rp 14 triliun.
Melihat kemampuan fiskal negara yang terbatas untuk mengguyurkan PMN, restrukturisasi polis harus dilakukan. Rinciannya, restrukturisasi liabilitas polis tradisional diturunkan menjadi 25 persen, haircut alias pemotongan manfaat produk saving plan 40 persen, haircut asuransi korporasi 5 persen, dan haircut asuransi retail 5 persen.
Dengan skenario ini, total liabilitas Jiwasraya diperkirakan tinggal Rp 38 triliun. Untuk memenuhi batas rasio solvabilitas (RBC) sebesar 120 persen, Jiwasraya harus punya aset sebesar Rp 40,2 triliun. Artinya, dibutuhkan tambahan modal Rp 26,2 triliun—ditambah biaya pendirian IFG Life sebesar Rp 500 miliar.
Bahana sudah menghitung, ada pendanaan sampai Rp 4,7 triliun yang bisa diraih IFG Life dari proyeksi dividen anak perusahaan Bahana. Dengan asumsi tersebut, praktis sisa pendanaan yang dibutuhkan untuk memutar IFG Life tinggal Rp 22 triliun. Angka inilah yang menjadi acuan kebutuhan PMN ke IFG Life melalui Bahana. “PMN ini untuk mengganjal RBC, bukan buat bayar tagihan klaim,” kata Robertus Bilitea.
Pemerintah ingin cepat. IFG Life mesti berdiri pada Desember nanti dan beroperasi mulai tahun depan. Sedangkan kemampuan PMN terbatas, hanya bisa digelontorkan Rp 12 triliun pada 2021 dan sisanya pada 2022.
Rupanya, pemerintah sudah menyiapkan jalan keluar. Dokumen skema PMN menunjukkan Kementerian BUMN menyiapkan PT Taspen (Persero) untuk memberikan pinjaman talangan (bridging loan) kepada IFG Life sebesar Rp 10 triliun agar perusahaan itu bisa segera beroperasi. Bos Taspen mengaku tak mengetahui rencana talangan itu. “Soal bridging loan malah baru dengar saya,” ucap Direktur Utama Taspen Antonius Steve Kosasih ketika dihubungi pada Sabtu, 17 Oktober lalu.
Pada 29 September lalu, Menteri Sri Mulyani mengatakan PMN tidak ditujukan untuk menambal fraud Jiwasraya. “Going concern dari Jiwasraya tetap jadi tanggung jawab pemerintah. Dan kita pun tidak me-reward para peserta Jiwasraya yang selama ini, yang sifatnya bukan tradisional,” tuturnya.
Menurut Robertus, PMN sebesar Rp 22 triliun itu mula-mula akan diinvestasikan. Baru kelak imbal hasil investasinya akan dipakai untuk membayar klaim nasabah IFG Life eks Jiwasraya. “Kalau PMN langsung dipakai bayar klaim, RBC kami kena,” ujar Robertus. “Makanya, term pembayaran dan cicilannya diatur.” Janji yang layak dipelototi.
KHAIRUL ANAM, AISHA SHAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo