Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Spiral untuk Qelbinur

Kaum Uighur terus ditekan pemerintah Cina. Para perempuan dipaksa melakukan aborsi dan sterilisasi untuk mengendalikan populasi. Jumlah kamp "pendidikan" dan pabrik kerja paksa terus bertambah.

17 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Guru perempuan di kamp tahanan warga Uighur dipaksa memasang alat kontrasepsi spiral dan menjalani prosedur sterilisasi.

  • Para perempuan Uighur menjadi korban praktik aborsi dan pemasangan alat pencegah kehamilan paksa yang menjadi program pengendalian populasi etnis Uighur di Cina.

  • Pembangunan barak tempat menahan warga Uighur terus bertambah.

LEBIH dari 28 tahun Qelbinur Sidik mengajarkan bahasa Mandarin di sekolah dasar di Urumqi, Provinsi Xinjiang, Cina. Hidupnya berubah total tatkala dia dipanggil untuk mengajar di beberapa kamp tempat warga Uighur ditahan di Urumqi pada 2017. Selama tiga tahun mengajar, Qelbinur menyaksikan kekerasan, penyiksaan, dan ancaman kematian membayangi warga Uighur di barak-barak yang dikelilingi pagar tembok dan besi serta kawat berduri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Qelbinur pertama kali mengajar di kamp pria pada Maret 2017. Dia juga mengajar di kamp perempuan yang dibangun di bekas sebuah panti jompo. Dia memperkirakan ada 10 ribu orang menghuni di kamp-kamp yang dikawal ketat itu. Qelbinur mengingat ketakutan terpancar dari wajah murid-muridnya. Mereka tak boleh berbicara dalam bahasa Uighur. Selama pelajaran, mereka juga dilarang bertanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada kalanya, saat Qelbinur tengah mengajar, polisi masuk dan mengambil beberapa murid. Kamp itu rupanya dilengkapi ruang interogasi. Dari dalam kelas, Qelbinur dan murid-muridnya bisa mendengar pekik kesakitan orang-orang yang diinterogasi. Jeritan mereka bahkan terdengar saat istirahat makan siang. Sebagian orang yang keluar dari ruang interogasi tampak mengalami luka-luka. Ada pula yang akhirnya meninggal. “Saya mendengar banyak orang yang juga menjadi gila,” kata Qelbinur seperti dilaporkan Radio Free Asia pada Senin, 5 Oktober lalu.

Pengalaman itu membuat Qelbinur sulit tidur. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa karena berada di bawah tekanan. Dia sadar hidupnya tak akan bisa damai lagi setelah melihat apa yang dilakukan pemerintah Cina untuk menekan warga Uighur. “Saya bahkan sudah tak bisa tersenyum lagi,” ucap ibu satu anak itu.

Aksi unjuk rasa warga etnis Uighur terhadap pemerintah Cina di Istanbul, Turki, 1 Oktober lalu./REUTERS/Murad Sezer (b

Trauma Qelbinur makin dalam karena dia juga menjadi korban. Pada Juli 2017, dia diminta pemerintah mengikuti program pemeriksaan kandungan rutin. Tiba di rumah sakit, antrean perempuan Uighur sudah mengular. Qelbinur melihat tak ada satu pun perempuan etnis Han, kelompok mayoritas di Cina, di antara mereka.

Alih-alih menjalani pemeriksaan, Qelbinur dipaksa mengenakan alat kontrasepsi spiral untuk mencegah kehamilan. Usianya 50 tahun kala itu. “Kasar sekali. Saya menangis karena merasa dipermalukan dan dilecehkan seperti itu,” ujar Qelbinur seperti dilaporkan The Diplomat.

Qelbinur juga menjalani proses sterilisasi. Belakangan, dia sadar program itu adalah bagian dari kampanye pemerintah untuk menekan angka kelahiran warga Uighur. Dia terpaksa mengikutinya karena khawatir terhadap ancaman kepada putrinya, yang tengah bersekolah di luar negeri.

Dari petugas dia mendapat kabar bahwa setiap perempuan Uighur berusia 19-59 tahun wajib mengikuti program itu. Proses itu membuat Qelbinur beberapa kali jatuh sakit. Akhirnya, pada Oktober tahun lalu, dengan alasan hendak berobat, Qelbinur mendapat izin pergi ke Eropa. Tapi, sejak saat itu, dia tak pulang ke Urumqi.

Qelbinur kini tinggal di Belanda. Tekanan psikis yang ia alami membuatnya nyaris tak bisa berbicara. Dia memulai hidup baru setelah bergabung dengan Dutch Human Rights Foundation (DUHRF), lembaga non-pemerintah yang membantu memulihkan trauma warga Uighur, terutama kaum perempuan. Para anggota staf DUHRF meminta Qelbinur menulis jurnal sebagai bagian dari terapi. Sebagian ceritanya dipublikasikan dalam laporan DUHRF.

Keberanian Qelbinur bercerita kepada masyarakat dan media massa makin besar. Menurut dia, kondisi warga Uighur dan kelompok minoritas lain yang ditahan di kamp-kamp itu sangat buruk. Warga yang tinggal di Xinjiang pun terus mengalami represi. Banyak perempuan Uighur juga menjadi korban perundungan seksual di rumah mereka sendiri. “Saya tak bisa lagi tinggal diam,” tutur Qelbinur seperti dilaporkan The Guardian.

Perempuan etnis Uighur berunjuk rasa terhadap pemerintah Cina di Istanbul, Turki, 1 Oktober lalu./REUTERS/Murad Sezer (b

Hasil investigasi Associated Press pada Juni lalu menunjukkan ada upaya aborsi paksa pada ribuan perempuan Uighur dan kelompok etnis minoritas lain di Xinjiang. Gulnar Omirzakh, warga Cina dari etnis Kazak, mengatakan pemerintah memaksanya memakai alat kontrasepsi spiral setelah dia melahirkan anak ketiga pada 2016.

Gulnar juga diminta membayar pajak sekitar US$ 2.600 atau kurang-lebih Rp 38 juta karena memiliki lebih dari dua anak. Dia bahkan diancam dimasukkan ke kamp seperti suaminya jika tak sanggup membayar pajak. “Anak adalah berkah Tuhan dan melarang orang memiliki anak adalah kesalahan,” katanya. “Mereka ingin menghancurkan kami.”

Apa yang dialami para perempuan Uighur itu diduga merupakan bagian dari kebijakan pengendalian kelahiran untuk menekan populasi kelompok etnis tersebut. Padahal, di sisi lain, etnis Han justru didorong agar memiliki anak lebih dari satu. Para perempuan etnis minoritas diwajibkan memeriksakan kehamilan. Mereka juga dipaksa menggunakan alat kontrasepsi spiral dan menjalani sterilisasi. Laporan Adrian Zenz, peneliti Jamestown Foundation, pada Juli lalu menyebutkan kebijakan itu dibuat untuk mengurangi populasi Uighur.

Program pengendalian laju kelahiran berdampak serius pada populasi warga Uighur. Angka kelahiran di wilayah yang dihuni warga Uighur, seperti di Hotan dan Kashgar, turun hingga 60 persen pada 2015-2018. Adapun laju kelahiran di wilayah Xinjiang pada tahun lalu anjlok hampir 24 persen. Sementara itu, penurunan angka kelahiran nasional hanya 4,2 persen. “Ini bagian dari kampanye besar menyingkirkan warga Uighur,” ujar Zenz.

Seorang dokter perempuan Uighur juga mengukuhkan dugaan mengenai hal tersebut. Dalam wawancaranya dengan stasiun televisi ITV pada 2 September lalu, perempuan yang menolak disebutkan identitasnya itu mengatakan program pengendalian populasi etnis Uighur telah berlangsung bertahun-tahun. Selama dua dekade menjadi dokter, dia mengaku terlibat dalam 500-600 operasi untuk memasang paksa alat kontrasepsi. Dia juga terlibat dalam tindakan aborsi dan sterilisasi.

Dokter itu mengaku memutuskan bercerita sebagai penebusan kesalahannya di masa lalu. Menurut dia, program pengendalian kehamilan adalah kedok pemusnahan etnis Uighur. Namun para dokter diminta mempercayai program itu sebagai bagian dari pengendalian populasi. “Waktu itu saya merasa itu adalah tugas semata,” tutur dokter yang akhirnya melarikan diri ke Turki dan membantu para perempuan Uighur yang mengungsi di sana tersebut. "Saya sangat menyesal."

Masalah yang mendera warga Uighur adalah dampak kebijakan politik pemerintah Cina di Xinjiang. Terletak di wilayah barat Cina, Xinjiang merupakan provinsi terbesar di Negeri Tirai Bambu. Populasinya diperkirakan mencapai 26 juta jiwa dan 11 juta di antaranya adalah warga Uighur. Masyarakat Uighur, yang mayoritas beragama Islam, sudah lama dikenal tak akur dengan pemerintah Beijing. Dengan status wilayah otonom, Xinjiang bisa mengatur pemerintahan sendiri. Hal ini terus menjadi ganjalan pemerintah Cina untuk menjaga stabilitas keamanan negara.

Represi terhadap warga Uighur menguat beberapa tahun terakhir. Banyak yang dibawa ke kamp-kamp yang dibangun pemerintah di sejumlah tempat di Xinjiang. Komite Penghapusan Diskriminasi Ras Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menerima laporan tentang banyaknya warga Uighur yang ditahan. Selain berisi warga Uighur, kamp tahanan itu dihuni orang-orang dari sejumlah kelompok minoritas muslim lain. Setidaknya ada 1,8 juta orang Uighur yang pernah dijebloskan ke kamp sejak 2017.

Laporan Human Rights Watch menyebutkan orang-orang yang memiliki kerabat di 26 negara yang dinilai "sensitif", seperti Indonesia, Kazakstan, dan Turki, ikut diciduk. Siapa pun yang mengontak orang lain melalui aplikasi komunikasi WhatsApp juga menjadi sasaran. Di kamp-kamp pelatihan itu, para penghuni dididik bahasa Cina, membuat janji setia kepada Presiden Xi Jinping, dan diminta meninggalkan agama mereka.

Pada Oktober 2018, pemerintah Cina akhirnya mengakui keberadaan kamp-kamp tersebut. Namun mereka menyangkal kabar bahwa fasilitas itu merupakan rumah tahanan. Beijing menyebut sejumlah kamp itu sebagai pusat pelatihan kerja serta pendidikan keterampilan dan masyarakat mengikutinya dengan sukarela. Fasilitas pelatihan itu didirikan untuk mencegah berkembangnya kelompok ekstremis yang dinilai bisa mengganggu stabilitas keamanan dalam negeri.

Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi menyebutkan orang-orang yang dikirim ke barak-barak pelatihan itu sudah dilepaskan dan mendapat pekerjaan. Dalam konferensi pers di French Institute of International Relations di Paris pada akhir Agustus lalu, Wang Yi mengatakan ada peserta program pelatihan yang telah terpapar paham terorisme dan ekstremisme. Meski demikian, hak-hak mereka tetap dijamin. “Mereka sudah lulus, tak ada lagi yang berada di pusat edukasi dan pelatihan,” ucap Wang Yi seperti dilaporkan Channel News Asia. “Mereka semua telah mendapat pekerjaan."

Sejumlah upaya untuk menyelidiki kasus warga Uighur di Xinjiang terus berjalan. Hasil studi Australian Strategic Policy Institute (ASPI) menyebutkan pemerintah Cina kini justru telah memperluas fasilitas yang digunakan untuk menahan warga Uighur. Laporan riset yang dirilis pada September lalu menunjukkan ada 380 kamp yang dibangun sejak 2017 di kawasan barat Cina. Lebih dari 60 fasilitas tahanan dibangun sepanjang Juli 2019-Juli 2020. Sementara itu, ada 14 kamp yang masih dalam tahap konstruksi pada tahun ini. Para peneliti yakin bahwa mereka telah mendapatkan sebagian besar lokasi jaringan fasilitas tahanan di kawasan Xinjiang berdasarkan wawancara, testimoni, laporan media lokal, dan citra satelit.

Peneliti ASPI, Nathan Ruser, mengatakan temuan lokasi dan pembangunan kamp yang masih berlanjut tersebut bertentangan dengan pernyataan pemerintah Cina yang menyebutkan semua penghuni fasilitas pelatihan telah "lulus" pada akhir 2019. Bukti yang dikumpulkan para peneliti menunjukkan banyak orang ditahan di fasilitas dengan penjagaan ketat, "Atau dikirim ke pabrik-pabrik yang dikelilingi tembok untuk kerja paksa," ujar Ruser.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (THE GUARDIAN, ASSOCIATED PRESS, DEUTSCHE WELLE, RADIO FREE ASIA, CNN)

Komputer dari Xinjiang

Pekerja berjalan di pusat pendidikan keterampilan Dabancheng di daerah otonom Uighur, Xinjiang, Cina, 4 September 2018.

MASYARAKAT internasional kini menyoroti berbagai laporan mengenai produk dari pabrik yang mempekerjakan kaum Uighur secara paksa. Australian Strategic Policy Institute telah mengidentifikasi 27 pabrik di sembilan provinsi yang mempekerjakan kaum Uighur dari Xinjiang secara paksa sejak 2017. Pabrik-pabrik ini adalah bagian dari rantai produksi 82 merek internasional, seperti Acer, Apple, Asus, Amazon, Google, Microsoft, Nike, Huawei, Oppo, Victoria’s Secret, Vivo, Volkswagen, Xiaomi, dan ZTE. Mereka memperkirakan sedikitnya 80 ribu orang Uighur ditempatkan di pabrik tersebut melalui kebijakan "Bantuan Xinjiang".

Bea-Cukai dan Perlindungan Perbatasan Amerika Serikat telah melarang barang impor dari empat perusahaan dan pabrik di Xinjiang yang diduga melibatkan kerja paksa kaum Uighur. Jenis produk yang dilarang sejak September lalu itu antara lain kapas, pakaian, suku cadang komputer, dan alat perawatan rambut. Tahun lalu, pemerintahan Presiden Donald Trump juga melarang impor delapan jenis barang, termasuk kapas dan tomat dari seluruh wilayah Xinjiang, dengan alasan yang sama. Kebijakan ini juga bagian dari perang dagang Amerika-Cina.

Amerika telah menerbitkan Undang-Undang Tarif pada 1930 yang melarang barang-barang impor dari penjara atau perbudakan untuk memastikan kompetisi yang adil di antara pabrik-pabrik Amerika. Penegakan hukum mengenai hal ini meningkat sejak regulasi itu diperkuat di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama pada 2016.

Ken Cuccinelli, penjabat wakil menteri di Departemen Keamanan Dalam Negeri, menolak klaim Cina bahwa fasilitas itu adalah pusat pendidikan. "Itu kamp konsentrasi, tempat minoritas agama dan etnis ditekan dan dipaksa bekerja dalam kondisi buruk tanpa ada jalan lain dan tanpa kebebasan," katanya. "Ini perbudakan modern."

ASSOCIATED PRESS
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus