Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan pengusaha mulai mengkhawatirkan beban harga pokok produksi (HPP) semakin tinggi setelah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat betah di level atas Rp 15.000 per dolar AS selama 11 hari ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komite Analisis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan, tekanan terhadap HPP ini akan semakin membebani neraca keuangan pengusaha, terutama yang bahan baku produksinya mayoritas impor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Depresiasi nilai tukar rupiah ini akan memberikan dampak terhadap Harga Pokok Perolehan (HPP) terutama yang memerlukan bahan baku impor," jata Ajib saat dihubungi, Rabu, 5 Oktober 2022.
Setidaknya ada 19 industri yang bahan bakunya masih impor, diantaranya Industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia, Industri peralatan listrik,
Industri kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer, Industri farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional, hingga Industri logam dasar.
Kemudian, industri alat angkutan lainnya, Industri kertas dan barang dari kertas, Industri makanan, Industri komputer, barang elektronik dan optik.
Industri mesin dan perlengkapan, Industri tekstil, Industri karet, barang dari karet dan plastik, Industri furnitur, Industri percetakan dan reproduksi media rekaman.
Selain itu juga ada Industri barang galian bukan logam, Industri barang logam bukan mesin dan peralatannya, Industri bahan jadi, Industri minuman, Industri kulit barang dan kulit serta alas kaki. 19 sektor industri ini pada 2020 juga telah mendapat fasilitas kemudahan impor bahan baku.
Tapi, Ajib menekankan, bagi pengusaha yang menjalablan bisnisnya berorientasi ekspor, justru mengalami sentimen positif dari depresiasi rupiah ini. Meski begitu, dia menekankan secara umum ekonomi nasiobal akan lebih positif jika rupiah bergerak di bawah Rp 15.000 per dolar AS.
"Secara umum ekonomi nasional lebih positif ketika nilai rupiah mengalami apresiasi. Karena ini menjadi indikator bahwa terjadi banyak permintaan nilai uang rupiah atas sistem ekonomi yang berjalan," kata Ajib.
Selain persoalan biaya produksi, Ajib mengatakan, neraca keuangan perusahaan-perusahaan kini juga terancam oleh utang dalam bentuk dolar yang semakin naik beban utangnya. Namun, dia memastikan kondisinya tidak seburuk pada 1998.
Terutama karena secara fundamental ekonomi Indonesia menurut Ajib tetap kuat di samping pencatatan utang luar negeri yang semakin baik. Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur juga kata dua terus ekspansi, bahkan September ini tertinggi se-Asia Tenggara.
"Satu satunya masalah adalah potensi inflasi. Dan inflasi ini disebabkan karena kenaikan HPP. Nah, utang ini yang menjadi problem juga, karena sebagian dalam bentuk dolar, sehingga secara material nilainya terkoreksi naik. Kondisinya tidak seburuk tahun 1998," kata Ajib.
Sebagai informasi, berdasarkan data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, rupiah diperdagangkan antar bank hari ini di level Rp 15.196 per dolar AS. Menguat dari level 4 Oktober 2022 sebesar Rp 15.276 per dolar AS.
Pergerakan rupiah ini menjadi yang ke 11 harinya setelah sejak 21 September 2022 Jisdor mencatat rupiah di level Rp 15.011 per dolar AS. Setelah itu rupiah terus merangkak naik hingga menembus level tertingginya pada 3 Oktober 2022 di level Rp 15.293 per dolar AS.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.