Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Apa Saja Tantangan Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi kuartal I disokong penyelenggaraan pemilu. Ada risiko besar dari gejolak ekonomi global.

12 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • BPS menyebut pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2024 lebih tinggi dibanding pada kuartal IV 2023.

  • Belanja pemilu dan bantuan sosial ikut mendorong pertumbuhan ekonomi.

  • Lesunya kurs rupiah dan kenaikan suku bunga mengancam laju ekonomi.

EKONOMI Indonesia masih terlihat baik-baik saja. Itulah yang bisa kita baca dari statistik terbaru kuartal I 2024, yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi masih cukup pesat. Data Badan Pusat Statistik menyatakan produk domestik bruto Indonesia secara tahunan tumbuh 5,11 persen, lebih tinggi dibanding pada kuartal IV 2023 yang tercatat 5,04 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada beberapa hal yang membuat pertumbuhan kuartal I 2024 bisa secepat itu. Salah satunya adanya pemilihan umum serentak. Untuk biaya kampanye pemilu, para calon presiden dan puluhan ribu calon anggota legislatif pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota membelanjakan dana triliunan rupiah yang pada akhirnya turut menyorong ekonomi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum lagi belanja pemerintah, baik berupa bantuan sosial yang mengucur deras di awal tahun maupun berbagai pengeluaran untuk penyelenggaraan pemilu. Sepanjang kuartal I 2024, belanja pemerintah melonjak 19,9 persen dibanding pada kuartal sebelumnya. Lonjakan besar ini membuat belanja pemerintah menjadi komponen produk domestik bruto terbesar pada kuartal I 2024.

Namun angka pertumbuhan ekonomi hanyalah catatan sejarah yang sudah terjadi. Harga berbagai aset finansial di pasar sudah mencerminkan pertumbuhan yang telah lampau itu. Yang lebih penting bagi investor adalah prospek ke depan. Bagaimana kira-kira gambarannya?

Yang harus dicatat, untuk kuartal II 2024 yang masih berjalan saat ini ataupun kuartal-kuartal berikutnya, tak akan ada lagi faktor dorongan ekstra dari penyelenggaraan pemilu. Kita tak bisa berharap ada lonjakan belanja pemerintah yang signifikan. Tak ada lagi daya dorong ekstra yang dapat menyorong pertumbuhan ekonomi. 

Tantangan lain yang juga menghadang adalah harga-harga komoditas ekspor Indonesia yang masih belum pulih. Ini membuat surplus neraca perdagangan Indonesia menipis atau bahkan bisa masuk ke area defisit. Jika itu terus terjadi, kurs rupiah akan makin melorot. Dengan kata lain, harga dolar Amerika Serikat ataupun mata uang asing lain di dalam negeri naik lantaran pasokannya melorot.

Sementara itu, faktor eksternal belum kondusif bagi ekonomi Indonesia. Pasar finansial dunia masih sangat bergejolak. Spekulasi soal bunga The Federal Reserve (The Fed) bakal segera turun atau tetap tinggi masih berlangsung. Seakan-akan sedang berlangsung pertandingan tarik tambang antara The Fed dan pasar yang tak berkesudahan. 

Ketidakpastian ini juga membuat nilai rupiah tidak stabil dan menyulitkan korporasi membuat keputusan bisnis. Ujung-ujungnya, banyak investasi tertunda yang pada gilirannya bisa melemahkan pertumbuhan ekonomi. 

Gejolak pasar dan merosotnya rupiah akhirnya juga membuat Bank Indonesia harus menaikkan bunga rujukannya, BI Rate, akhir bulan lalu. Kenaikan BI Rate punya sisi buruk, bisa mengerem pertumbuhan. Berbagai bunga kredit, entah untuk usaha entah buat konsumsi, akan ikut terkerek naik. Ongkos berutang yang lebih besar otomatis bakal menurunkan daya beli konsumen ataupun korporasi. Ekonomi pun akan berputar lebih lambat. 

Kenaikan bunga juga menambah risiko naiknya angka kredit macet. Perbankan nasional harus memperkuat cadangan kredit macet yang mengurangi laba. Bunga yang lebih tinggi tentu saja juga menurunkan permintaan kredit. Dus, volume bisnis perbankan ataupun profitabilitasnya berisiko menurun. 

Itu sebabnya kita melihat harga saham berbagai bank, baik swasta maupun milik negara, berjatuhan dalam dua pekan terakhir. Harga saham Bank Mandiri, misalnya, turun hingga 9 persen hanya dalam tempo sepekan jika dihitung per Kamis, 9 Mei 2024. Harga saham Bank Central Asia, primadona pasar di sektor perbankan, juga anjlok 4,34 persen. 

Berbagai tantangan itu menunjukkan ekonomi Indonesia tengah menghadapi ancaman merosotnya pertumbuhan. Sementara itu, di arena politik sedang berlangsung proses transisi yang juga menimbulkan ketidakpastian. 

Pasar masih menanti sinyal yang lebih jelas dari Prabowo Subianto selaku presiden terpilih. Bagaimana kira-kira pemerintahannya kelak akan menjawab berbagai tantangan yang sungguh tidak ringan itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ekonomi Tumbuh di Tengah Tantangan".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus