Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bisnis fintech lending kian lesu.
OJK mencatat tren kerugian bisnis fintech lending di awal tahun.
Jumlah lender dan borrower fintech lending sama-sama berkurang.
DIMAS Setya Nugroho berupaya menyelamatkan dana investasinya yang masih tersimpan di beberapa perusahaan teknologi finansial pinjam-meminjam atau fintech lending. Empat tahun sudah pria 33 tahun ini menanamkan lebih dari setengah dana investasinya pada perusahaan yang menyediakan layanan pinjam-meminjam dana lewat aplikasi online itu. Sebagai pemberi pinjaman atau lender, Dimas memiliki akun di tiga perusahaan fintech lending dengan investasi Rp 80 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada Tempo, Rabu, 8 Mei 2024, Dimas mengatakan dana sebesar Rp 15 juta yang ia tanamkan di perusahaan fintech Investree tak bisa ditarik. "Karena itu, sekarang saya tarik semua dana yang tersisa di platform lain, kapok,” kata karyawan sebuah perusahaan swasta tersebut. Dimas mengaku kepincut berinvestasi di platform fintech peer-to-peer lending karena tawaran imbal hasil yang relatif tinggi dibanding instrumen investasi lain. Ketika masih untung, dia bisa mendapatkan imbal hasil 12-16 persen setahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setahun belakangan, Dimas merasa lebih banyak merugi karena kasus gagal bayar dan fraud atau kecurangan di industri fintech lending. Dia bernasib serupa dengan ratusan lender lain yang dananya masih tersangkut di Investree. Kini Otoritas Jasa Keuangan sedang menyelidiki penyebab gagal bayar investasi dan dugaan kecurangan oleh petinggi Investree. Tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) Investree per 9 Mei 2024 mencapai 16,44 persen. Dimas pun memindahkan dananya ke obligasi korporasi dan saham. "Cukup dengan imbal hasil 9-10 persen,” tuturnya.
Awan gelap tengah menyelimuti industri fintech peer-to-peer lending. Berdasarkan data statistik OJK, industri fintech lending mengalami kerugian berturut-turut di awal tahun ini, setelah sepanjang 2023 selalu mencatatkan keuntungan. Pada Januari 2024, kerugian industri ini sebesar Rp 135,6 miliar dan pada Februari Rp 97,55 miliar. Padahal, pada Februari 2023, industri tersebut dapat membukukan laba Rp 98,25 miliar.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan OJK Agusman mengatakan tengah memantau kinerja industri fintech lending, khususnya setelah penerapan aturan penurunan suku bunga. Menurut dia, kerugian yang dicatatkan industri pada paruh pertama tahun ini banyak disebabkan oleh peningkatan biaya operasional. “Ada peningkatan signifikan pada beberapa pos biaya, yaitu beban ketenagakerjaan, beban penyusutan dan amortisasi, serta beban kerja sama,” ujarnya pada Kamis, 9 Mei 2024.
Pelaku industri punya alasan soal kinerja yang lesu. Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (Afpi) Entjik S. Djafar menyebutkan sejumlah pemicu kerugian, seperti makin ketatnya persaingan antarperusahaan. “Biaya akuisisi user tinggi, begitu juga risk control cost, tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima,” ucapnya pada Rabu, 8 Mei 2024. Kenaikan biaya pengendalian risiko disebabkan oleh kian selektifnya perusahaan fintech lending dalam memilih calon peminjam atau borrower. "Ada tambahan perangkat untuk menyaring calon borrower sehingga biaya bertambah," kata Entjik.
Suasana kantor Amartha Mikro Fintek di Jakarta. Dok.Tempo/Nurdiansah
Di sisi lain, terjadi penurunan imbal hasil para lender setelah OJK menerbitkan Surat Edaran Nomor 19 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi. Melalui surat tersebut, OJK menetapkan tingkat bunga pinjaman produktif sebesar 0,1 persen per hari mulai 1 Januari 2024 dan 0,067 persen per hari mulai 1 Januari 2026. Tingkat bunga pinjaman konsumsi dipatok 0,3 persen per hari mulai 1 Januari 2024, turun menjadi 0,2 persen per hari pada 1 Januari 2025, dan 0,1 persen per hari pada 1 Januari 2026. Sebelumnya, tingkat suku bunga diatur oleh Afpi maksimal 0,4 persen per hari.
Menurut Entjik, penurunan tingkat bunga berakibat anjloknya margin bunga dan laba usaha industri fintech lending. Kini, dia mengungkapkan, Afpi mencermati tren penurunan pendapatan, termasuk anjloknya jumlah lender individu ataupun institusi. “Kami berharap minat lender masih stabil,” ujar Entjik. Ihwal fraud yang menurunkan minat lender, Entjik mengatakan, “Mayoritas lender sudah mengetahui risiko atas peminjamnya sehingga pemilihan market sangat menentukan kenyamanan lender.”
Direktur Eksekutif Afpi Yasmine Meylia Sembiring mengatakan penurunan bunga menjadi faktor penyebab buruknya kinerja industri fintech lending beberapa bulan terakhir. “Ini menggambarkan manfaat ekonomi yang juga berkurang,” ucapnya. Aturan lain yang juga berpengaruh pada pendapatan, kata dia, adalah pembatasan jumlah pinjaman. Kini borrower maksimal hanya bisa mengakses pinjaman dari tiga platform. “Aturan berikutnya juga membatasi peminjam meminjam lebih dari 50 persen penghasilan," tutur Yasmine.
Sejumlah platform fintech diketahui belum berhasil membukukan laba pada awal tahun ini. Country Head Modalku Indonesia Arthur Adisusanto mengatakan saat ini yang menjadi fokus perusahaannya adalah menekan beban operasional. “Sepanjang tahun lalu, kami berhasil menekan biaya operasional hingga turun 31 persen dibanding tahun sebelumnya,” katanya pada Rabu, 8 Mei 2024. Arthur mengklaim Modalku bisa menekan rasio pembiayaan bermasalah dari 3,15 persen pada Desember 2023 menjadi 1,73 persen pada bulan ini. “Walaupun belum mencatatkan laba, kami optimistis mencatatkan pertumbuhan yang positif,” ucapnya.
Sedangkan Chief Executive Officer Akseleran Ivan Tambunan mengatakan upaya mencetak laba dilakukan dengan memangkas biaya operasional hingga 40 persen pada kuartal I. Dia mengungkapkan, ada pergeseran porsi lender yang kini lebih banyak berupa institusi alih-alih individu. Saat ini Akseleran memiliki 200 ribu lender individu serta belasan lender institusi yang nilai pendanaannya lebih besar. “Dukungan lender institusi sekarang lebih besar daripada lender individu dengan porsi pendanaan 60 : 40, utamanya bank untuk penjajakan credit channeling,” ujarnya.
Tingkat bunga pinjaman berperan besar pada perolehan margin dan laba usaha bisnis fintech lending. Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies Nailul Huda berpendapat, penurunan suku bunga pinjaman membuat laba kian terkikis. Perusahaan fintech, kata dia, juga menghadapi dilema ketika hendak menurunkan biaya manfaat atau imbal hasil lender. “Jangan sampai lender kabur gara-gara manfaat yang diterima berkurang,” ucapnya.
Redupnya bisnis fintech lending, yang dibayangi peningkatan risiko gagal bayar, kian memicu kewaspadaan lembaga jasa keuangan lain seperti perbankan yang selama ini bekerja sama menyalurkan kredit atau channeling. Platform fintech lending selama ini mengandalkan bank sebagai sumber dana pinjaman tunggal dalam jumlah besar dan tingkat bunga tertentu. Penetapan suku bunga untuk credit channeling melalui platform fintech mempertimbangkan tingkat suku bunga pasar yang memperhitungkan biaya pendanaan, premi risiko, dan margin keuntungan yang diharapkan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae meminta bank lebih selektif dalam memilih mitra platform fintech lending guna menekan risiko kerugian di kemudian hari. “Ini bertujuan memastikan bank menjalin kerja sama dengan entitas fintech yang memiliki reputasi baik, keandalan teknologi, penilaian risiko yang memadai, dan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku,” katanya pada Rabu, 8 Mei 2024.
Dalam data statistik fintech lending periode Februari 2024, jumlah outstanding pinjaman mencapai Rp 62,17 triliun. Angka itu jauh di bawah total eksposur kredit bank umum pada periode sama yang sebesar Rp 7.095 triliun. Meski angkanya kecil, Dian mengingatkan bank agar berhati-hati dan tidak jorjoran menempatkan dana pada perusahaan fintech lending. Jika terjadi gagal bayar, dia menjelaskan, bank wajib memiliki strategi mitigasi risiko yang memadai dengan membentuk cadangan kerugian terhadap kredit bermasalah dan menetapkan langkah-langkah penyelesaian.
Salah satu bank yang menjalankan skema channeling dengan entitas fintech adalah PT Bank Jago Tbk. “Strategi penyaluran pinjaman kami hampir seluruhnya adalah partnership lending, melalui kolaborasi dengan berbagai mitra, seperti ekosistem dan platform digital, perusahaan pembiayaan, dan lembaga keuangan lain,” kata Direktur Kepatuhan Bank Jago Tjit Siat Fun pada Rabu, 8 Mei 2024.
Mitra Bank Jago antara lain entitas fintech di bawah grup GoTo, Atome, BFI Finance, Home Credit, serta Kredit Pintar. Meski mengandalkan hampir semua portofolio pinjamannya dari channeling, Tjit memastikan Bank Jago melakukannya dengan penuh kehati-hatian dan menyiapkan mitigasi risiko yang memadai. “Kami berharap ini strategi yang tepat untuk pertumbuhan bisnis secara berkelanjutan.”
Bank besar seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk juga menjalankan skema credit channeling dengan sejumlah perusahaan fintech lending. Di antaranya Akseleran dan Amartha, yang menyalurkan pembiayaan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah. Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Teuku Ali Usman mengungkapkan, sampai Maret 2024, total penyaluran credit channeling Bank Mandiri ke platform fintech lending mencapai Rp 3,92 triliun untuk 271 ribu debitor.
Meski masih terdapat ruang untuk menggenjot porsi credit channeling itu, Ali menambahkan, perseroan cenderung mengambil sikap hati-hati mempertimbangkan kondisi teranyar industri fintech lending. “Kami tetap mempertimbangkan kondisi industri, fokus ekosistem, risiko, dan mitigasi,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mendung Bisnis Kredit Online".