Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAPORAN dugaan pelanggaran kode etik hakim yang sedang ditangani Komisi Yudisial memunculkan sosok pengacara bernama Ahmad Riyadh. Laporan yang diterima KY pada 19 April 2024 itu di antaranya menyebutkan sejumlah hakim dan petinggi Mahkamah Agung dua kali menghadiri perjamuan makan malam yang ditraktir seorang pengacara Surabaya, Jawa Timur. Riyadh berdomisili dan memiliki firma hukum di Surabaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim investigasi KY masih menelusuri informasi ini. Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Mahkamah Agung Nomor 28/BP/SK/III/2021 pada 5 Maret 2021, undangan makan termasuk kategori gratifikasi bagi hakim. Undangan makan tidak disebut gratifikasi jika penjamunya keluarga dekat sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim KY sebetulnya sudah mendapatkan beberapa informasi, tapi masih sumir. Juru bicara Komisi Yudisial, Mukti Fajar Nur Dewata, mengatakan tim investigasi masih membutuhkan pendalaman soal kapan peristiwa terjadi, siapa yang hadir, dan siapa yang mentraktir. “Tapi, apabila ada dugaan kuat telah terjadi pelanggaran perilaku hakim, hakim yang bersangkutan akan diperiksa,” ujarnya.
Dari penelusuran Tempo, perjamuan pertama ditengarai diadakan di restoran Layar Seafood di Jalan Manyar Kertoarjo, Surabaya, pada 2021. Tempo memperoleh foto yang diduga menangkap momen perjamuan makan malam tersebut. Ada belasan pria dan wanita yang duduk di sana. Dalam foto itu terlihat sosok Riyadh dan mantan Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya, Zaid Umar Bobsaid, serta mantan Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Joni.
Ahmad Riyadh mengaku mengetahui namanya disangkutkan dalam dugaan pelanggaran kode etik yang sedang ditangani KY. Seorang wartawan pernah menanyakan perihal ini kepadanya beberapa waktu lalu. Ia juga mengaku sering makan di restoran Layar. “Tapi saya membantah jika dikatakan pernah mentraktir makan malam hakim dan pimpinan Mahkamah Agung di restoran tersebut,” tutur Riyadh lewat keterangan tertulis kepada Tempo pada Rabu, 8 Mei 2024.
Perjamuan kedua diduga berlangsung di Nur Pacific Restaurant, Jalan Raya Gubeng, Surabaya, pada pertengahan 2024. Seorang hakim agung dan panitera muda perdata khusus Mahkamah Agung ditengarai hadir dalam acara makan malam itu. Ahmad Riyadh mengaku pernah datang ke restoran itu, tapi tidak untuk makan, apalagi mentraktir hakim di sana. “Tidak familier dengan restorannya,” ucapnya.
Kepala Biro Humas Mahkamah Agung Sobandi di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 20 September 2023. Tempo/Imam Sukamto
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung Sobandi mengatakan pihaknya sudah mengetahui adanya laporan terhadap sejumlah hakim yang dituduh melanggar kode etik di Komisi Yudisial. Informasi yang dia terima, laporan itu berasal dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Ia mengaku hanya mengetahui laporan perjamuan makan malam pada 2021. “Saya tidak tahu peristiwa yang terjadi pada 2024,” katanya kepada Tempo pada Kamis, 9 Mei 2024.
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, enggan mengomentari pelanggaran etik yang dilaporkan ke Komisi Yudisial. Ia tidak ingin kasus ini dikaitkan dengan lembaganya. “Tidak ada urusannya dengan MAKI, itu ranah KY,” ucapnya.
Mahkamah Agung sudah mengklarifikasi laporan tersebut kepada sejumlah pihak. Sobandi mengatakan lembaganya perlu mengklarifikasi informasi itu karena turut menyeret hakim agung sekaligus Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Sunarto. Dalam kasus tersebut, sejumlah informasi menyebutkan Sunarto ikut menghadiri acara makan malam, tapi berada di ruangan berbeda. Ketika itu Sunarto masih menjabat Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial.
Lewat keterangan Sobandi, Sunarto membantah kabar bahwa ia hadir dalam acara itu, baik di dalam ruangan yang sama dengan hakim maupun di ruangan berbeda. “Beliau mengatakan tidak hadir di acara jamuan makan malam itu,” kata Sobandi.
Meski demikian, Sobandi membenarkan pernah ada perjamuan pada 2021. Informasi itu diperoleh MA setelah mengklarifikasi informasi tersebut kepada Zaid Umar Bobsaid yang turut hadir. MA memperoleh informasi perjamuan itu difasilitasi mantan Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Joni, sebagai tuan rumah, bukan seorang pengacara. “Jadi anggarannya bukan dari pihak luar,” tutur Sobandi.
Saat ini Zaid Umar Bobsaid sudah pensiun. Ia tak membantah jika disebut ikut dalam perjamuan tersebut. Tapi ia tak menjelaskan alasan Ahmad Riyadh ikut hadir. Dia mengatakan acara itu hanya makan-makan biasa yang dihadiri banyak orang. “Tidak membicarakan hal-hal lain,” ucapnya. Hingga Jumat, 10 Mei 2024, Joni tak merespons panggilan telepon dan permintaan wawancara yang dikirimkan ke nomor telepon selulernya.
•••
BEBERAPA hari setelah muncul dalam laporan kode etik hakim, nama Ahmad Riyadh kembali mencuat dalam perkara hukum lain. Kali ini namanya diucapkan berkali-kali saat jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi membacakan surat dakwaan perkara gratifikasi hakim agung nonaktif Gazalba Saleh di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Senin, 6 Mei 2024.
Gazalba didakwa menerima uang S$ 18 ribu atau sekitar Rp 200 juta dari Ahmad Riyadh. Uang Riyadh itu diduga bersumber dari Jawahirul Fuad, pengusaha dari UD Logam Jaya di Desa Janti, Kecamatan Jogoroto, Jombang, Jawa Timur. Sebelumnya UD Logam Jaya tersangkut kasus pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) jenis slag aluminium tanpa izin. Dalam perkara ini, Riyadh disebut membantu Jawahirul mengurus perkara UD Logam Jaya yang berada di tahap kasasi Mahkamah Agung melalui Gazalba Saleh.
Kasus gratifikasi itu ditangani KPK. Gazalba juga pernah berurusan dengan KPK dalam kasus suap Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Putusan kasasi Mahkamah Agung membebaskan Gazalba pada Agustus 2023. Empat bulan kemudian, KPK kembali menahan Gazalba dalam kasus gratifikasi UD Logam Jaya.
Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Sunarto di Istana Negara, 3 April 2023. Antara/Sigid Kurniawan
Penyidik KPK sudah memeriksa Riyadh dalam kasus Gazalba Saleh. Sejauh ini baru Gazalba yang ditetapkan sebagai tersangka. Juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan penyidik akan mendalami peran pihak lain. “Penyidik dan jaksa sudah memiliki alat bukti, tinggal nanti dibuktikan di depan hakim,” katanya. Ia tak menjawab apakah pihak yang dimaksud adalah Ahmad Riyadh.
Ahmad Riyadh enggan mengomentari tuduhan menjadi perantara gratifikasi antara Gazalba Saleh dan Jawahirul Fuad. Meski berstatus saksi, Riyadh belum memberikan keterangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Itu sebabnya dia tak mau memberikan pernyataan soal kasus ini. “Agar tidak mengganggu jalannya proses persidangan karena adanya keterangan saya di luar persidangan,” ucap Riyadh.
Selain menjadi pengacara, Ahmad Riyadh menjabat anggota Komite Eksekutif Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia atau Exco PSSI dan Ketua Asosiasi Provinsi PSSI Jawa Timur. Sebagai advokat, Riyadh masuk jajaran Komisi Pengawas Daerah Perhimpunan Advokat Indonesia Surabaya.
Ia pernah menangani beberapa perkara menonjol. Salah satunya ketika dia menjadi kuasa hukum La Nyalla Mattalitti, mantan Ketua Umum PSSI yang sekarang menjabat Ketua Dewan Perwakilan Daerah, dalam kasus dana hibah Kamar Dagang dan Industri Indonesia Jawa Timur. Kasus bergulir sampai ke tingkat kasasi dan La Nyalla tetap divonis bebas pada 2017.
•••
JAWAHIRUL Fuad mengaku mengikuti persidangan Gazalba Saleh di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Jawahirul pernah menjadi terpidana dalam kasus pengelolaan limbah B3 tanpa izin. Dua tahun lalu, ia divonis bebas lewat putusan kasasi. Kini kasus gratifikasi Gazalba turut menghantuinya. Apalagi namanya juga disebut dalam surat dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi. “Kondisi psikologis saya tidak karu-karuan, saya lebih banyak pasrah,” katanya pada Kamis, 9 Mei 2024.
Proses penyidikan kasus limbah B3 tanpa izin itu ditangani Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Dalam operasi pada 2018, penyidik mendapati UD Logam Jaya yang berlokasi di Desa Janti, Jogoroto, Jombang, diduga mengolah limbah B3 tanpa izin. “Selain Pak Jawahirul, banyak pengusaha lain,” tutur Agus Mardiyanto, yang kala itu menjabat koordinator penyidik Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, pada Kamis, 9 Mei 2024.
Jawahirul kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Pengadilan Negeri Jombang lalu menjatuhkan vonis satu tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider satu bulan penjara kepada Jawahirul. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya.
Seorang penegak hukum yang mengetahui kasus tersebut mengatakan ada kejanggalan dalam penanganan perkara ini. Pasalnya, Jawahirul bukan pemilik dan Direktur UD Logam Jaya. Pemilik UD Logam Jaya adalah mertua Jawahirul, Imam Nawawi. Jawahirul diduga pasang badan untuk mertuanya dengan menyuap penyidik, yakni Agus Mardiyanto. Jawahirul disebutkan meminta penyidik menjadikannya tersangka untuk menggantikan mertuanya. Jawahirul beralasan merasa kasihan kepada mertuanya yang sudah sepuh.
Agus Mardiyanto membantah dugaan bahwa ia menerima suap. “Bagi saya, itu fitnah dan pembunuhan karakter,” ujarnya. Ia juga merasa heran kabar ini muncul lagi karena kasus Jawahirul sudah selesai di pengadilan. Sebab, dia mengungkapkan, berdasarkan berkas acara pemeriksaan, Jawahirul sudah mengakui perbuatannya.
Jawahirul juga membantah kabar bahwa ia pasang badan untuk mertuanya dan menyuap penyidik. “Tidak benar,” katanya. Jawahirul meyakini sejak awal ia tak bersalah. Karena keyakinan itulah dia melawan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Agar perlawanannya mulus, Jawahirul menghubungi teman lamanya yang menjabat kepala desa di Jombang. Saat itu proses kasasinya masih berlangsung. Mereka lantas mendatangi seorang pemimpin pondok pesantren terkemuka di Jombang.
Jawahirul mengakui mendatangi kiai pemimpin pondok pesantren tersebut dan mencurahkan masalah hukum yang tengah menjeratnya. Dari pembicaraan itu, kiai tersebut mengarahkan Jawahirul mendatangi seorang pengacara di Surabaya. “Nok kono onok pengacara baik (di sana ada pengacara baik),” ujar Jawahirul, menirukan ucapan kiai itu.
Rupanya, pengacara tersebut adalah Ahmad Riyadh. Setelah berkunjung ke rumah kiai di Jombang, Jawahirul dan temannya langsung tancap gas menuju kantor Riyadh di Wonokromo, Surabaya. Jawahirul mengaku mencari sendiri kantor Riyadh. Dalam dakwaan Jawahirul, kiai tersebut sempat menghubungi Riyadh untuk menyampaikan masalah Jawahirul.
Setelah bertemu dan mendengar cerita Jawahirul, Riyadh menyatakan bersedia membantu. Apalagi ia melihat salah seorang hakim agung yang menangani kasasi Jawahirul adalah hakim agung yang dikenalnya, yakni Gazalba Saleh. Jawahirul diduga menyetorkan uang pertama kali senilai Rp 500 juta kepada Riyadh pada akhir Juli 2022.
Terdakwa hakim agung Gazalba Saleh mengikuti sidang perdana pembacaan surat dakwaan dugaan gratifikasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 6 Mei 2024. Tempo/Imam Sukamto
Jawahirul mengaku menyetorkan uang kepada Ahmad Riyadh untuk mengurus perkara ini. Tapi dia tak mau menyebutkan siapa yang menentukan nilai uangnya. “Uang itu dibuat apa saya tidak tahu. Pokoknya, saya menyerahkan perkara kepada Pak Riyadh,” ucap Jawahirul.
Surat dakwaan Gazalba Saleh di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyebutkan, masih pada bulan yang sama, Riyadh bertemu dengan Gazalba Saleh di Sheraton Surabaya Hotel & Towers, Surabaya. Riyadh diduga menyampaikan permintaan Jawahirul kepada Gazalba. Gazalba menindaklanjuti permintaan itu dengan menghubungi asistennya agar membuat resume perkara kasasi dengan utusan “Kabul Terdakwa”.
Resume yang dibuat asistennya itu digunakan Gazalba sebagai dasar membuat lembar pendapat hakim (advise blaad). Pada 6 September 2022, majelis hakim kasasi yang dipimpin Desnayeti dengan anggota Gazalba Saleh dan Yohanes Priyana mengabulkan permohonan kasasi Jawahirul.
Gazalba akhirnya menerima Rp 200 juta dari Riyadh yang diserahkan di Bandar Udara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur. Tambahan uang Rp 150 juta lagi juga disetor oleh Jawahirul kepada Ahmad Riyadh. Jaksa KPK menyebutkan total dana yang diterima Riyadh lebih banyak dari Gazalba, yaitu Rp 450 juta.
Pengacara Gazalba Saleh, Aldres Jonathan Napitupulu, enggan menjawab pertanyaan mengenai kliennya. Ia berjanji menjelaskan duduk perkara kasus ini setelah agenda pembacaan eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta. “Mesti meminta konfirmasi kepada klien dulu,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Riky Ferdianto, Moh. Khory Alfarizi, dan Nur Hadi (Surabaya) berkontribusi pada penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Pengacara Konco Hakim Agung".
*
Catatan:
Artikel di atas telah direvisi mulai dari paragraf ke-13 dan seterusnya pada Jumat, pukul 11.43 WIB, 24 Mei 2024. Tulisan tulisan di atas dikoreksi dari sebelumnya menyebut perkara terbaru yang menjerat Gazalba Saleh adalah kasus suap, direvisi menjadi kasus gratifikasi.