Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tak ada yang mempercayai tanaman lidah buaya atau aloe vera bisa punya nilai ekonomis. Tidak ada yang meyakini, tanaman itu bisa mengubah kehidupan mereka lebih baik, jadi jalan untuk menambah penghasilan. Alan Efendhi, anak muda di kampung itu berusaha membuktikan kepada warga dusun Jeruklegi, Katongan, Nglipar, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, bahwa itu bukan impian, semua keraguan itu bisa diwujudkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua bermula ketika Alan Efendhi, lulusan SMK 45 Wonosari, Gunungkidul jurusan otomotif itu setelah bertahun-tahun merantau di Jakarta, memutuskan pulang kampung. “Alasan utama keinginan buka usaha di kampung, sehingga tak jauh dari orangtua,” kata dia mengisahkan kepada Tempo.co, yang mengunjunginya pada Jumat, 19 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alan, putra asli Gunungkidul itu tahu benar. Kampung halamannya, bukan daerah yang mudah ditaklukkan. “Lahan di sini tadah hujan, ketika musim kemarau tidak ada hasil pertanian sama sekali, dalam bahasa jawa,” kata lelaki kelahiran Gunungkidul, 16 Juli 1988
Keinginan usaha di kampung dengan kondisi seperti itu, telah ia pikirkan sebelum memutuskan pulang. “Usaha di kampung tapi tidak punya basic ilmu pertanian, kira-kira usaha apa yang mudah untuk dibudidayakan dan hasilnya bagus. Tidak mengenal musim, bisa masuk ke beberapa komoditas pabrik dan industri,” katanya, menceritakan awal pergulatannya.
Alan kemudian banyak mencari tahu, jenis tanaman apa yang bisa dikembangkan di kondisi ekstrem geografis kampungnya. “Akhirnya terpilihlah beberapa alternatif waktu itu, seperti anggur, pepaya california, buah naga, dan terakhir aloe vera atau lidah buaya itu,” ujarnya.
Ia pun terus mengulik dari berbagai informasi di internet dan lainnya, sekitar 2013. “Dari keempat komoditas itu, ternyata yang paling mudah itu aloevera. Dia cocok di suhu ekstrem seperti di Gunungksul ini, notabene panas dan gersang,” ujarnya.
Menurutnya, kelebihannya aloe vera adalah perawatannya yang mudah. “Seperti kaktus, digeletakin saja sudah hidup, dan sisi lainnya, tanaman ini masuk 1 dari 10 tanaman terlaris di dunia karena bisa masuk industri farmasi, komestik, dan kuliner,” kata Alan.
Akhirnya, ia memutuskan aloe vera yang akan dikembangkannya. “Bukan hanya ‘bandel’, aloe vera ini bisa ditanam hampir di semua jenis tanah bahkan tanah esktrem. Ini kan tanaman gurun berpasir dan tanpa airpun dan ph rendah bisa hidup. Itu alasan saya pilih aloe vera ketika saya mulai menekuni,” kata lelaki yang pernah bekerja sebagai buruh di konveksi dan kontraktor itu.
Alan tahu benar aloe vera ini panennya setahun. Itu sebabnya, saat ia bertekad pulang kampung dan merintis usahanya pada 2014, sekalian dibelinya 500 bibit aloe vera.
“Saya meyakinkan orang tua saat itu belum jadi apa-apa, tapi tiga sampai lima tahun ke depan bisa mengubah perekonomian keluarga kita, juga masyarakat sekitar. Sejak awal saya memang ingin pemberdayaan di mana nanti ke depan punya sebuah perusahaan pengelolaan aloe vera dan nantinya bahan baku didapat dari masyakarat sekitar itu,” kata dia, menjelaskan.
Selanjutnya: Perjuangan Alan Efendhi yang Tak Mudah
Tentu saja perjuangan Alan Efendhi tak semudah yang dibayangkan. Ia menyadari belum bisa membuktikan. Warga diberikan bibit gratis saja belum tentu mau menanam dalam jumlah banyak. Warga tentu saja membutuhkan bukti, begitu menurut Alan.
“Tapi saya tetap optimistis, jika saya mulai 2014, nanti pada 2015 akan panen pertama. Saya harus bisa memulai membuat olahan yang bisa saya jual, tercetus ide membuat minumab kemasan masih sederhana belum dalam botol atau cup,” ujarnya.
Sebanyak 500 bibit aoe vera jenis sinensis itu ditanamnya di sekitar rumah dan pekarangannya. “Alasan saya menggunakan jenis atau varian aloe vera sinensis ini, karena jenisnya jumbo, dan bisa digunakan dalam industri kosmetik, farmasi, dan kuliner,” katanya.
Pemberdayaan masyarakat budidaya aloe vera di Jeruklegi, Katongan, Nglipar, Gunungkidul, DIY. TEMPO/S. Dian Andryanto
Setelah satu tahun dan mulai panen lidah buaya, Alan mulai pada tahapan berikutnya, membuat produk lanjutan. Ia membuat minuman aloe vera dalam bungkus plastik, diikat karet, dititipkan ke pedagang sayur keliling, warung-warung dan sekolah sekitar kampungnya. “Saya sudah bisa produksi, bisa jual ini dan rasanya enak. Setahu saya, pertama kali di Jogja, belum ada produk minuman dari hulu ke hilir,” ujar Alan.
Tantangan lain muncul. Produk minuman aloe vera miliknya punya daya tahan hanya tiga hari. “Jadi banyak yang retur, saya bertahan 3-4 tahun untuk proses ini sampai maksimal. Saya terus belajar dari kegagalan-kegagalan, terlebih saya belum ada mentor atau teman sejalan dengan apa yang saya lakukan, prosenya lama, maklum otodidak hanya belajar dari riset-riset di internet,” katanya.
Pada 2017, mulai Alan melakukan standar operating procedure (SOP), kemasannya disesuikan, izin produk industri rumah tangga (PIRT) pun diurusnya selain sertifikat halal. “Ruang produksi pun dirombak, dulu proses masih di lantai, ternyata harus di atas meja. Semua ini berkat dukungan dari Pemda Gunungkidul, saya difasilitasi sertifikat halal gratis,” ujar Alan, berkisah.
Pemda Gunungkidul baru mengetahui apa yang dilakukan Alan Efendhi setelah ia berusaha 3-4 tahun, bahwa di wilayah Gunungkidul ini ada potensi budidaya pengolahan aloe vera, meskipun pemasarannya masih lingkup lokal alias kelas dusun.
Selanjutnya: Rasane Vera Mulai Bertumbuhkembang
Pada 2018, kemasan produk milik Alan Efendhi yang dinamainya Rasane Vera terus diperbaiki dengan dukungan Pemda Gunungkidul dan Badan Riset dan Inovasi Nasiona (BRIN). Yang sebelumnya produk minuman aloe vera hanya bisa bertahan 3 hari kemudian mampu daya tahannya sampai 6 bulan. Dengan begitu, Alan bisa meluaskan pemasarannya hingga ke berbagai daerah.
“Pemberdayaan masyarakat pun makin luas, di Sleman hingga daerah Bayat, Klaten mitra petani terus bertumbuh,” ujar tokoh inspiratif ini.
Bagaimana dengan masyarakat sekitar yang semula meragukannya? Setelah bisa menjual produk dengan kualitas bagus, masyarakat pun mulai percaya bahwa aloe vera yang dianggap remeh itu bisa memberikan dampak ekonomi.
“Dulu saudara terdekat saya beri bibit, kemudian setelah panen saya serap. Masyarakat tidak perlu dipaksa, kemudian mereka mulai menanam dan hasilnya bisa saya serap juga. Mereka melihat hasil, terlebih aloe vera ini tak perlu menanam di lahan subur, tak perlu banyak perawatan, tidak perlu pestisida karena tidak punya hama fungisida, Saat kemarau, cukup disiram 3-4 hari sekali, pemupukan 6 bulan sekali cukup dengan pupuk kandang,” kata Alan.
Aloe Land, Kampung Edukasi Aloevera di Katongan, Nglipar, Gunungkidul, Yogyakarta. TEMPO/S. Dian Andryanto
Bukan hanya melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar dalam bentuk budidaya aloe vera, tapi Alan telah mengembagkan daerahnya dengan mendirikan Aloe Land, Kampung Edukasi Aloevera. Banyak kalangan dari sekolah hingnga kampus bahkan organisasi masyarakat datang ke sini dari berbagai daerah untuk belajar mengembagkan aloe vera mulai dari cara menanam hingga menjadi berbagai produk layak jual.
“Masyarakat sekitar, khususnya anak-anak muda di sini saya libatkan jika ada rombongan yang datang ke Aloe Land ini,” kata dia.
Alan berharap, perusahaan Mount Vera Sejati miliknya makin besar sehingga ia produksi lebih meningkat. Dengan begitu, mitra petani bertambah, dan tujuan pemberdayaannya akan berhasil.
“Pada awalnya mitra hanya 25 orang dari KWT (kelompok wanita tani), kemudian kelompk inti 75 orang plasma, kini dari data terakhir ada 125-130 orang tergabung dalam KWT atau perorangan,” katanya. Usaha sampingan yang dilakukan kebanyakan ibu rumah tangga itu berdampak pada peningkatan ekonomi keluarga. Aloe vera berdasarkan bobot dan kesempurnaan tiap pelepahnya dibagi dalam grade A dan grade B bisa diserapnya. “Kemampuan saya sekarang per hari 500 kilogram,” ujarnya.
Berbagai produk dari aloe vera pun tak lagi sebatas minuman lidah buaya dengan berbagai varian rasa seperti melon dan lemon, tapi juga keripik, permen, hingga minyak gosok dari bahan aloe vera. Penjualannya pun sudah ke berbagai toko oleh-oleh sekitar Yogyakarta hingga luar kota. Kulit aloe vera ada yang menjadi keripik dan ada yang kemudian menjadi kompos untuk pupuk tanaman aloe vera itu sendiri, artinya tak ada yang terbuang percuma.
Alan Efendhi CEO Mount Vera Sejati (Rasane Vera). Foto: Alan Efendhi
Usahanya itu kemudian berbuah beberapa penghargaan antara lain penerima apresiasi kategori kewirausahaan Astra Satu Indonesia Awards 2023. Juga, Krenovamaskat (2019), Wakil Provinsi Kategori Kewirausahaan Astra Satu Indonesia Awards 2021, Finalis Zona Kategori Boga Wirausaha Muda Mandiri 2020, Penghargaan Pemuda Berprestasi Kabupaten Gunungkidul 2022, Young Ambassador Program Yess Kementerian Pertanian 2023, Juara Harapan 1 Talenta Wirausaha BSI Kategori Berdaya 2023, dan yang terbaru Penghargaan UMKM Milenial Inspiratif 2024 RB PLN.
Alan Efendhi selaku CEO Rasane Vera berharap usahanya dapat menjadi produk ikonik Gunungkidul, seperti Carica di Dieng dan Apel di Malang. “Saya ingin Rasane Vera menjadi pelopor terbangunnya kluster industri aloe vera di DIY. Prioritas saya dan tim sekarang adalah mengoptimalkan Integrated Farming System (IFS) atau Sistem Pertanian Terpadu,” katanya.
IFS adalah sebuah model pertanian yang mengintegrasikan tiga sub-sistem pertanian dalam arti luas, yaitu peternakan, pertanian dan perikanan. Dengan demikian limbah dari masing-masing sub-sistem pertanian bisa dimanfaatkan oleh sub-sistem yang lain. Agar terus bertahan dan tumbuh Alan berencana untuk membuka pintu bagi para investor yang berniat mendukung bisnisnya menggunakan metode syariah atau bagi hasil.