Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah orang yang telah berusia lanjut masih terus menjalani hobi mendaki gunung.
Para lansia itu mendaki gunung-gunung tinggi di Indonesia dan mancanegara.
Bagi mereka, di puncak gunung, usia seolah-olah hanya soal angka.
BAGI Agam Napitupulu, Gede dan Pangrango menjadi gunung yang akrab belakangan ini. Sejak Agustus 2022, pria 73 tahun ini sudah 12 kali mendaki dua gunung yang berada di kawasan Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat, tersebut. “Gunung Gede dan Pangrango itu sudah seperti halaman belakang rumah saya,” kata Agam ketika berbincang dengan Tempo di rumahnya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Selasa, 1 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agam bercerita, ia pertama kali mendaki Gede dan Pangrango pada Desember 1968, saat baru menjadi anggota Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI). “Sejak itu, saya sering banget naik Gede dan Pangrango, sudah enggak terhitung lagi,” ujar anggota senior Mapala UI ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1980-an, alumnus Fakultas Ekonomi UI ini sempat vakum mendaki gunung karena urusan pekerjaan. Agam mulai aktif mendaki kembali pada 1997. Agam mengungkapkan, sekitar dua tahun sebelum aktif kembali, ia giat melatih fisiknya agar bugar.
Sore itu, Agam memperlihatkan tiga buku catatan latihan fisik yang ia tulis sejak 1995. Salah satu buku berisi daftar panjang latihan fisiknya, dari push-up, sit-up, hingga angkat beban. Semuanya tersusun secara rinci. Agam menjelaskan, ia rutin mencatat latihan agar dapat melihat perkembangan fisiknya dari hari ke hari.
Agam adalah tipe pendaki yang selalu menghitung banyak hal. Dia melatih diri untuk mempersiapkan segala sesuatu sematang mungkin, termasuk dengan melatih fisik secara rutin. “Setelah fisik kembali bugar, pada 1997 saya mulai naik gunung lagi,” tuturnya.
Selain mendaki Gede dan Pangrango yang sudah menjadi langganannya, Agam menggapai tujuh puncak gunung tertinggi di Indonesia: Bukit Raya, Binaiya, Latimojong, Semeru, Rinjani, Kerinci, dan Carstensz Pyramid (Puncak Jaya). Agam juga sudah menjelajahi beberapa gunung tinggi di luar negeri. Pada 2015, ayah dua anak ini sukses menaklukkan Gunung Elbrus di Rusia yang berketinggian 5.642 meter di atas permukaan laut (mdpl). Dua tahun berselang, ia menjejakkan kaki di puncak Gunung Aconcagua (6.961 mdpl), Argentina.
Agam menuturkan, salah satu pengalamannya yang berkesan adalah ketika dia mencapai Carstensz Pyramid di Papua pada 2013. Bersama dua rekannya di Mapala UI, Fandhi Ahmad dan Adiseno, dia menempuh perjalanan panjang selama 15 hari melalui jalur pendakian Sugapa. Jalur tersebut murni ditempuh dengan berjalan kaki, sonder sarana transportasi seperti helikopter.
Lebih dari satu bulan Agam mempersiapkan diri untuk pendakian itu. Dia melatih kemampuan teknis memanjat, menuruni tebing, serta menyeberangi tebing menggunakan tali. Latihan itu, kata Agam, disesuaikan dengan medan pendakian yang hendak ditempuh. “Selain itu, kami menyiapkan porter. Setiap dua pendaki harus menggunakan jasa tiga porter,” ujar Agam.
Pada hari kedelapan pendakian, Agam menerangkan, mereka mulai berjalan menuju puncak Carstensz. Di tengah udara dingin dengan suhu di bawah 0 derajat Celsius, mereka menjelajah medan yang berat: tebing curam dan jurang lebih dari 200 meter di kanan dan kiri jalur yang tipis. Pergerakan juga kian lambat.
Tepat pada pukul 14.15 WIT, Agam tiba di puncak Carstensz yang berketinggian 4.884 mdpl. Di puncak yang luasnya kurang dari 5 meter persegi dan dikelilingi tebing curam, ia menemukan pemandangan yang berbeda. “Sewaktu di puncak, saya tidak lagi mendapati salju,” ucap Agam ihwal puncak gunung yang selama ini dikenal diselimuti salju itu.
Pengalaman-pengalaman berkesan dan tak terduga seperti itulah yang membuat Agam terus bersemangat mendaki gunung. Agam kerap merenung, sampai usia kepala tujuh, ia masih mempunyai stamina yang kuat hingga dapat menginjakkan kaki di puncak gunung. “Saya memaknai banyak hal, saya bersyukur, di umur 73 tahun masih bisa naik gunung. Bahwa saya diberkati, dan itu terjadi karena proses, bukan instan,” tuturnya.
•••
PENDAKI senior yang juga masih aktif adalah Djukardi Adriana alias Bongkeng. Saat ditemui Tempo di Bandung pada Kamis, 27 Juli lalu, pria 72 tahun itu baru seminggu pulang dari mendaki Gunung Talamau di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat.
Bongkeng pertama kali datang ke gunung setinggi 2.928 meter di atas permukaan laut itu setahun lalu. Pengelola Gunung Talamau mengundangnya mengikuti perayaan Hari Kemerdekaan sambil memberi edukasi tentang zero waste. Sosok legendaris di kalangan pendaki itu kemudian datang lagi untuk memeriksa jalur sekaligus kebersihannya sambil menggendong ransel seberat 15 kilogram. “Buat saya, naik gunung itu untuk kebugaran,” katanya.
Djukardi Adriana berisitirahat di Base Camp Harimau Campo, Gunung Talamau, Pasaman, Sumatera Barat, Agustus 2022. Dok. Pribadi
Sebulan sekali dia rutin memeriksakan kondisi fisiknya ke dokter. Pun ketika dia hendak naik gunung, guna memastikan tubuhnya siap untuk pendakian. Bongkeng mengaku tidak lagi berlatih secara khusus untuk mendaki gunung seperti saat berusia muda. Dia hanya bersepeda, berjalan kaki, dan menjaga pola makan. Dia juga tidak memaksakan diri untuk sampai ke puncak ketika staminanya menurun. Dalam pendakian, Bongkeng memilih berehat lima menit setiap satu jam melangkah.
Bongkeng bercerita, kebanyakan kawan mendakinya adalah anak muda. Dia mengaku tidak pernah bersama atau bertemu dengan pendaki seusianya lagi atau yang berumur 50 hingga 60-an tahun. “Mungkin beda kelompok dan pendakian gunungnya,” ujar Bongkeng. Sejauh ini, dia melanjutkan, keluarganya tidak pernah melarangnya pergi ke gunung. Mereka justru heran kalau Bongkeng terlalu sering di rumah.
Dulu Bongkeng suka naik gunung untuk menghindari suasana ramai kota. Gunung yang sepi dan bersih menjadi lokasi favoritnya sampai sekarang. Bongkeng muda pun berharap banyak orang yang naik gunung karena bermanfaat banyak untuk kondisi fisik dan mental serta karakter.
Namun belakangan ini dia menghindari gunung-gunung yang populer karena merasa prihatin, kecuali ada tugas dan misi khusus memantau kondisi mutakhir. “Karena kondisi gunungnya rusak dan kotor, banyak sampah,” ucapnya. Keprihatinan itu, Bongkeng menambahkan, ia rasakan sejak sekitar satu dekade lalu, seperti di Gunung Gede-Pangrango serta Rinjani di Nusa Tenggara Barat dan Bawakaraeng di Sulawesi Selatan.
Namun, Bongkeng melanjutkan, masih ada beberapa gunung yang relatif bersih dan pengelolanya bertekad menjaganya dari sampah buangan pendaki. Misalnya Gunung Talamau, Kembang di Wonosobo, Jawa Tengah; serta Bulu Baria di Gowa, Sulawesi Selatan.
Agar para pendaki makin peduli terhadap lingkungan, Bongkeng pun ikut memberi edukasi lewat berbagai acara dan program. “Gunung kotor juga akibat banyak pendaki pemula yang tidak punya pengetahuan dasar tentang konservasi,” katanya.
Nama Bongkeng—akronim "bongkok" dan "kerempeng"—merupakan julukan yang diberikan teman-temannya pada saat remaja. Ia akrab dengan alam pegunungan sekitar Bandung sejak kecil karena sering diajak ayahnya yang bekerja di perkebunan. Bongkeng mulai gemar mendaki gunung pada 1970-an. Gara-gara sering naik gunung, antara lain Merapi, kuliahnya di Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, berantakan. Hingga akhirnya dia dikeluarkan setelah dua tahun kuliah.
Balik ke Bandung, Bongkeng bertekad hidup dari hobinya itu. Dia memperdalam pengetahuan dengan mengikuti Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri pada 1973. Sambil bertualang, dia pun mengajak teman-teman sependakian membekali diri dengan pengetahuan lewat yayasan yang berkegiatan di alam terbuka.
Selama sekitar 50 tahun menjalani hobi mendaki, dia tak pernah menghitung berapa banyak gunung yang telah ia jelajahi. Paling tidak ia sudah mendaki gunung-gunung populer di Pulau Jawa, Rinjani, serta Carstensz. Pada 1980 sampai 1990-an, Bongkeng mengikuti ekspedisi pendakian puncak tertinggi di lima negara Eropa Barat, yaitu Gunung Kleinglockner dan Grossglockner di Austria; Gran Paradiso dan Tresenta di Italia; Zugspitze di Jerman; Monterosa di Swiss; serta Mont Blanc di Prancis.
Panjat tebing juga menjadi aktivitas rutin di masa mudanya, seperti di Tebing Batu Unta Gunung Daya, Kalimantan Barat; dan Batu Lingga di Trenggalek, Jawa Timur. Dalam kesempatan lain, Bongkeng ikut tergerak menjadi relawan dan bergabung dengan tim pencarian ketika ada pendaki yang tersesat di gunung. Begitu pula saat terjadi musibah besar, seperti kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 yang menabrak tebing Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, pada 2012 hingga menewaskan 45 awak dan penumpangnya.
•••
ENGKOS Kurnia dan Endah Juwita juga masih aktif mendaki gunung di usia mereka yang telah memasuki 66 tahun. Suami-istri yang kini tinggal di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, itu menaruh minat pada kegiatan alam bebas sejak mereka menikah pada Agustus 1989. Saat itu Engkos dan Endah memutuskan untuk mendaki Gunung Ciremai di Kuningan bersama lima kawannya.
Engkos bercerita, tantangan pertama saat mendaki Ciremai adalah jalur yang masih ditumbuhi pohon besar, gelap, dan melewati tebing. Tapi nyali mereka tak ciut. Justru gunung menjadi satu-satunya tempat melepas penat bagi sejoli ini. “Bukannya kapok, kami malah ketagihan,” kata ayah tiga anak itu kepada Tempo.
Mereka sempat vakum ketika Endah mengandung. Pada 2013, keduanya kembali rutin naik gunung. Saat itu pasangan ini pun mulai mengajak anak mereka yang duduk di bangku sekolah menengah pertama ke gunung. Mereka telah menjelajahi sejumlah gunung di Jawa, seperti Gede, Salak, Slamet, Sindoro, Merbabu, dan Semeru.
Engkos Kurnia dan istrinya Endah Juwita saat berhasil mencapai puncak Gunung Kerinci, Sumatera Barat, September 2019. Dok. Pribadi
Terakhir kali mereka mendaki Gunung Kerinci di Sumatera Barat pada 2019. Saat itu, setelah menaklukkan Kerinci, mereka berencana mendaki Gunung Latimojong di Sulawesi Selatan. Tapi niat itu kandas ketika pandemi Covid 19 melanda pada awal 2020.
Hingga kini Engkos masih bercita-cita menyelesaikan pendakian tujuh puncak tertinggi di Indonesia. Pria yang lahir pada Juni 1957 itu baru tuntas mendaki Semeru, Rinjani, dan Kerinci.
Engkos menjelaskan, di usianya yang kini tidak muda lagi, dia rutin menjalani latihan fisik dengan berolahraga lari 1 kilometer dan bersepeda. Kedua jenis olahraga itu ia lakukan hampir setiap hari mulai pukul 6 pagi.
Menurut Engkos, latihan fisik sebelum naik gunung bertujuan menjaga tubuh tetap fit. “Janganlah kita menganggap enteng naik gunung, walau sudah beberapa kali," ujar pria yang kini membuka usaha penyewaan perlengkapan aktivitas luar ruangan (outdoor) itu.
Engkos juga selalu ingat untuk senantiasa menaati aturan atau adat masyarakat setempat. “Kita tetap berhati-hati, waspada, karena nasib orang kan enggak tahu, ya. Namanya juga di hutan,” tuturnya.
•••
DI puncak Gunung Slamet, Jawa Tengah, yang diselimuti udara dingin 6 derajat Celsius, Wahyuni berulang kali bersujud. Pada Sabtu, 15 Juli lalu, perempuan 70 tahun itu berhasil mencapai puncak Slamet setinggi 3.428 meter di atas permukaan laut untuk kedua kalinya. “Ketika di puncak gunung, aku seperti menjadi angka nol, aku menyaksikan kekuasaan Allah,” kata Wahyuni kepada Tempo melalui sambungan virtual, Jumat, 28 Juli lalu.
Wahyuni mengunggah momen pendakiannya ke Gunung Slamet itu di akun media sosialnya. Saat itu perempuan asal Pekalongan, Jawa Tengah, ini mendaki gunung tertinggi kedua di Jawa tersebut bersama putra bungsunya, Mochammad Menang Susilo, dan beberapa pendaki yang tergabung dalam kelompok Paramurba.
Wahyuni menuturkan, bagi dia, Gunung Slamet menyimpan kesan personal. Wahyuni baru mulai menjalani hobi mendaki gunung pada 2012, saat usianya menginjak 59 tahun, dan Slamet menjadi gunung pertama yang didaki perempuan yang lahir pada 24 Juni 1953 ini.
Wahuni, saat menuju puncak Gunung Slamet, Jawa Tengah, 15 Juli 2023. Dok. Pribadi
Wahyuni menjelaskan, ia tertarik mendaki gunung karena hampir setiap bulan melihat ketujuh anaknya pergi naik gunung. Rasa penasarannya pun memuncak. “Aku bilang sama mereka, di atas puncak gunung itu ada apa, sih? Terus aku minta diajak,” ucap Wahyuni.
Menang dan kakaknya, Endang Cahyo Wiroyowati, tak bisa menolak keinginan sang ibu. Saat itu kondisi fisik Wahyuni yang masih bugar menjadi pertimbangan mereka untuk berkenan mengantarnya mendaki Gunung Slamet untuk pertama kali. “Aku biasa berolahraga pagi, setiap bangun pasti jalan kaki,” ujar Wahyuni.
Wahyuni telah mendaki beberapa gunung di Indonesia. Pada 2019, dia sukses mencapai puncak Gunung Latimojong. Lalu, pada 2022, Wahyuni berhasil mendaki Gunung Andong, Jawa Tengah; Raung, Jawa Timur; dan Tambora, Nusa Tenggara Barat.
Boleh dibilang Wahyuni mempunyai pendamping yang tepat dalam setiap pendakiannya. Menang selalu membuat persiapan yang matang apabila hendak melakukan pendakian. Dalam pendakian di Latimojong, misalnya, ritme perjalanan diukur begitu matang dengan mempertimbangkan kapasitas Wahyuni.
Menang juga mengukur secara rinci segala perlengkapan yang diperlukan ibunya, dari obat-obatan hingga oksigen. Sebab, Wahyuni mempunyai alergi terhadap udara dingin. Namun sejauh ini, menurut Wahyuni, reaksi alergi itu tidak pernah muncul.
Wahyuni terus melangkah. Dia berencana mendaki Gunung Ciremai pada 14-16 Agustus mendatang. “Semoga pendakian ini lancar dan saya bisa menyelesaikan perjalanan,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ihsan Reliubun dan Anwar Siswadi dari Bandung berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menaklukkan Gunung di Usia Senja"