Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Untuk Apa Kementerian Kesehatan Mendirikan BGSi

Pusat Genom Nasional yang berdiri pada 2018 menghilang. Berganti Biomedical and Genome Science Initiative Kementerian Kesehatan?

6 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sudah hampir setahun Kementerian Kesehatan meluncurkan Biomedical and Genome Science Initiative (BGSi).

  • BGSi diklaim sebagai proyek genom nasional untuk mendukung kedokteran presisi demi pelayanan kesehatan yang lebih baik.

  • Pusat Genom Nasional sebenarnya sudah dibentuk lebih dari lima tahun lalu, tapi kini menghilang.

DUA mesin sebesar lemari es itu berada di ruangan paling ujung di sayap kanan gedung Eijkman di kompleks Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Satu mesin berlabel Illumina NovaSeq 6000 dan lainnya yang lebih besar, BGI DNBSEQ-T7. Satu mesin lagi, Oxford Nanopore PromethION, belum terpasang di laboratorium milik Biomedical and Genome Science Initiative (BGSi) itu. “Mesinnya sengaja berbeda karena pengalaman pandemi Covid-19 dulu, susah sekali mendapatkan reagen. Kami enggak mau bergantung pada satu merek,” kata Ririn Ramadhany, staf teknis BGSi Kementerian Kesehatan, Jumat, 28 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketiga mesin itu menjadi andalan BGSi dalam memberikan layanan pembacaan seluruh genom atau whole genome sequencing. Genom adalah rangkaian lengkap informasi genetik yang menentukan sifat (karakteristik dan kondisi) suatu organisme. Genom terdiri atas asam deoksiribonukleat (DNA), gen, dan kromosom. “Setiap individu mempunyai genetik yang berbeda. Karena itu, informasi genetik ini sangat dibutuhkan agar dapat memberikan pelayanan yang sesuai untuk masing-masing pasien,” ujar Indri Rooslamiati, kolega Ririn yang juga staf teknis BGSi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam pengobatan maju, Ririn menjelaskan, pengetahuan mengenai informasi genetik sangat penting untuk mengetahui apakah suatu obat tepat bagi seseorang. “Tidak ada satu obat untuk semua orang. Pasien A dan B yang diberikan obat yang sama ternyata perkembangan penyakitnya berbeda,” tutur Ririn. Dia memberi contoh kejadian di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof Dr Mahar Mardjono (RSPON), yang para klinisinya mengaku ragu dan takut memberikan clopidogrel, obat anti-penggumpalan darah, kepada pasien stroke. Musababnya, implikasi dan hasilnya berbeda-beda. “Ada yang cocok, ada yang mengalami perdarahan.”

Selain itu, Ririn mengatakan, dosis obat itu terlalu tinggi untuk orang Indonesia. “Clopidogrel memang lebih cocok untuk orang Kaukasia,” ucapnya. “Obat, saat diciptakan atau pertama kali diteliti, kebanyakan memakai referensi dari populasi Kaukasia. Padahal kondisi genetik orang Asia saja bisa berbeda dengan orang Kaukasia, apalagi orang Indonesia yang lebih beragam,” Ririn menjelaskan. Ihwal tidak adanya referensi dari populasi Indonesia, Ririn mengimbuhkan, juga dikeluhkan oleh para peneliti dalam negeri yang ingin melakukan penelitian.

Kondisi itulah, Ririn melanjutkan, yang mendasari pendirian BGSi. Peluncuran BGSi, yang diklaim sebagai Proyek Genom Nasional, dilakukan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada 14 Agustus 2022. “Teknologi ini sangat penting untuk kesehatan masyarakat ke depan. Melalui bioteknologi genome sequencing ini, kemampuan kita untuk mengidentifikasi sumber penyakit dan mengobatinya akan sangat pasti dan personal,” tutur Menteri Budi dalam sambutan peluncuran BGSi. Pengobatan yang pasti dan personal itu dikenal dengan istilah kedokteran presisi. “Dengan adanya BGSi ini, kita bisa mengidentifikasi lebih cepat sakitnya apa sehingga bisa segera kita obati,” ucap Budi.

Indri menambahkan, BGSi bukanlah badan riset, melainkan platform atau koordinator untuk membentuk ekosistem yang berbasis genomik. BGSi, Indri mengungkapkan, memiliki sembilan rumah sakit sebagai hub untuk memberi layanan genomik, yakni RSCM, Rumah Sakit Kanker Dharmais, Rumah Sakit Prof Dr Sulianti Saroso, dan RSPON. Ada pula RSUP Dr Sardjito, RSUP Prof Dr I Goesti Ngoerah Gde Ngoerah, RSUP Persahabatan, Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, serta Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.

Menurut Ririn, BGSi mengumpulkan data genom orang Indonesia untuk mendukung seluruh ekosistem. “Yang diharapkan oleh Pak Menteri Budi adalah BGSi mendukung kedokteran presisi di Indonesia karena di negara-negara lain sudah ada,” ujar Ririn, seraya memberi contoh inisiatif serupa BGSi di Amerika Serikat bernama All of Us dan Precise di Singapura. “BGSi juga membangun infrastruktur di hub. Tidak hanya fisik, juga melatih sumber daya manusianya. Kami juga mengingatkan industri farmasi nanti harus menciptakan pengobatan yang sesuai buat masyarakat kita.”

Ririn membantah kabar adanya investor asing dalam pendirian BGSi. “East Ventures memang investor, tapi mereka tidak memberikan investasi, melainkan donasi,” kata Ririn. Adapun Beijing Genome Institute (BGI), Illumina, dan Oxford Nanopore Technologies menjadi mitra kolaborator BGSi. “Donasi tak harus berbentuk uang. Mereka menawarkan pelatihan yang tidak menuntut bayaran. Itu juga donasi,” katanya. “Yang berdonasi ke BGSi itu berpikir sudah waktunya kedokteran presisi ada di Indonesia. Inisiatif pemerintah ini bagus menurut mereka.”

BGSi menargetkan dalam dua tahun sejak berdiri akan dapat mengumpulkan 10 ribu genom orang Indonesia. Ada enam tipe penyakit yang menjadi prioritas BGSi, yakni kanker (payudara, kolorektal, ovarium, dan paru); penyakit infeksi, terutama tuberkulosis; penyakit otak dan neurodegeneratif, seperti stroke; penyakit metabolik, seperti diabetes melitus tipe 2; kelainan genetik, seperti Duchenne muscular dystrophy dan pulmonary arterial hypertension; serta penuaan, seperti psoriasis. Dari situs Monitoring & Evaluation BGSi yang diakses pada Kamis, 3 Agustus lalu, telah berhasil dikumpulkan sebanyak 2.046 sampel spesimen. Dari jumlah itu, telah dilakukan pembacaan seluruh genom sebanyak 12 sampel.

•••

LIMA tahun tiga bulan dan sebelas hari lalu, di gedung tempat berdirinya BGSi itu, diluncurkan Pusat Genom Nasional oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir. Pusat Genom Nasional (PGN) merupakan unit milik Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, lembaga riset di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Amin Soebandrio, guru besar Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang menjadi Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman terakhir, mengatakan PGN sangat membantu ketika kita menghadapi pandemi Covid-19.

“Dengan fasilitas yang sudah terpasang di PGN, alatnya sudah ada, dan tenaganya sudah tersedia, kami dengan segera bisa melakukan pembacaan seluruh genom terhadap sampel-sampel yang masuk waktu Covid-19 mulai merebak,” tutur Amin melalui wawancara virtual pada Kamis, 13 Juli lalu. “Lembaga Eijkman termasuk yang paling leading mengirimkan whole genome sequence (WGS) virus SARS-CoV-2 ke GISAID (Global Initiative on Sharing All Influenza Data),” ujar Amin. Menurut rilis Lembaga Eijkman, hingga 30 Agustus 2021, mereka telah melaporkan 2.016 data WGS virus SARS-CoV-2. Adapun total yang telah dikumpulkan berbagai institusi di Indonesia berjumlah 5.788 data WGS.

Pada 28 Desember 2021, Lembaga Eijkman dinyatakan tidak ada lagi dan diganti Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). “Saya, istilahnya, bukan diberhentikan, tapi dikembalikan ke Universitas Indonesia. Saya diangkat oleh menteri tapi tidak pernah diberhentikan sebagai Kepala Lembaga Eijkman. Jadi tidak ada serah-terima jabatan waktu itu,” ucap Amin. Yang lebih berat lagi, Amin menambahkan, semua alat dipindahkan ke kantor Lembaga Eijkman di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. “Bukan laboratorium yang dipindahkan, tapi alat-alatnya. Semua alat dipindahkan, termasuk alat di PGN.”

Bersama alat-alat itu, ikut terbawa juga semua spesimen yang menjadi sampel penelitian Lembaga Eijkman selama hampir dua dekade. “Kami menyimpan spesimen bukan hanya dari pandemi Covid-19, juga ada penyakit zika yang terjadi pada 2015, demam berdarah dan hepatitis, termasuk sampel pandemi flu burung 2004-2005,” tutur Amin. Ia mengaku tidak tahu bagaimana nasib spesimen yang sangat berharga itu karena ia tak dilibatkan ketika spesimen itu dipindahkan. “Ada info bahwa freezer yang menyimpan spesimen tidak kebagian socket listrik yang khusus sehingga ada beberapa freezer sempat tidak menyala beberapa hari.”

Penelitian, Amin menerangkan, praktis terhenti karena pada akhir 2021 dinyatakan tidak akan dibiayai dan orang-orangnya tidak diberi honorarium lagi. "Setahu saya, penelitian genom manusia dilanjutkan oleh grup itu sendiri di tempat lain yang bisa menampung. Mereka yang melanjutkan karena punya pengalaman dan expertise," ujar Amin"Jadi saya tidak tahu penelitian Lembaga Eijkman yang mana yang oleh pimpinan BRIN dikatakan dilanjutkan itu," kata Amin, yang tengah membimbing tujuh mahasiswa calon doktor dan lima calon master.

Elisabeth Farah Novita Coutrier, Kepala Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman BRIN, mengatakan Pusat Genom Nasional sudah tidak ada dan berganti dengan Repositori Ilmiah Nasional (RIN). “Dari sumber yang kami masukkan ke alat itu, hasilnya adalah data. Data berupa bioinformatika inilah yang sangat penting. Ini yang disimpan di RIN,” ujar Farah pada Senin, 31 Juli lalu. “Termasuk data di server PGN, sudah digabungkan ke RIN. Nanti kalau ada peneliti yang membutuhkan datanya bisa memanfaatkannya,” tutur Farah, yang mengaku tidak tahu mewarisi berapa besar data PGN.

Kepala Organisasi Riset Kesehatan yang membawahkan Lembaga Eijkman, N.L.P. Indi Dharmayanti, mengatakan koleksi spesimen yang semula dimiliki Lembaga Eijkman itu kini disimpan di gedung Kehati BRIN. “Semua spesimen baik manusia, hewan, maupun tumbuhan disimpan di sana. Besar sekali tempatnya, selapangan bola, mungkin,” ujarnya di gedung Genomik BRIN di Kawasan Sains dan Teknologi Soekarno, Cibinong, Bogor. Adapun untuk melakukan pembacaan seluruh genom, Indi menerangkan, BRIN memiliki fasilitas bernama Laboratorium Pusat Sekuensing Nasional yang berada di lantai 4 gedung Genomik.

Peneliti di Lab Genomik BRIN, Jakarta, Juli 2023/Tempo/Dody Hidayat

Tempo berkesempatan melihat laboratorium tersebut, tapi tidak bisa masuk ke ruangan. Dari balik dinding kaca, terlihat satu mesin next generation sequencing bermerek Illumina NovaSeq 6000 di sebelah kiri depan ruangan. “Ini mesin eks Lembaga Eijkman,” ucap Tika, petugas Laboratorium Pusat Sekuensing Nasional. Menurut dia, mesin tersebut berfungsi normal. Ketika ditanyakan apakah ada alat yang sempat mengalami kerusakan saat dipindahkan dari Jakarta, dia menjawab, “Bisa difungsikan kembali, kok. Kami panggil vendornya untuk diperbaiki.”

Selain mesin untuk WGS, beberapa peralatan yang berasal dari Lembaga Eijkman, di antaranya mikroskop, mesin reaksi berantai polimerase (PCR), dan mesin sequencing target dengan metode Sanger, tersebar di beberapa laboratorium di lantai 1, 2, dan 3. Termasuk juga beberapa freezer yang menyimpan sampel dan reagen, seperti tiga freezer yang terdapat di area dekat laboratorium penelitian virus hepatitis dan penyakit hati yang bekerja sama dengan Fondazione Italiana Fegato.

Menurut Farah, Lembaga Eijkman memiliki lima kelompok riset. Pertama, kelompok riset molekuler patogen yang mempelajari semua patogen secara molekuler, terutama pada bakteri dan virus hepatitis. Kedua, riset malaria dan resistansi vektor. Ketiga, riset patologi penyakit emerging dan tular vektor. Keempat, riset keanekaragaman dan penyakit genetik pada manusia. Kelima, riset biologi struktur dan persinyalan sel. “Hampir semua penelitian yang kami kerjakan itu, kami kerjakan juga secara genomik supaya lebih jelas hasilnya,” kata Farah, mantan peneliti malaria di Lembaga Eijkman.

Indi menambahkan, ada empat penyakit yang menjadi prioritas penelitian Organisasi Riset Kesehatan, termasuk di Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman. Keempat penyakit itu adalah malaria, demam berdarah, hepatitis, dan tuberkulosis. “Jadi periset yang mengajukan untuk empat penyakit tersebut akan mendapatkan poin yang lebih tinggi, karena itu prioritas.”

Kehadiran BGSi, bagi Indi, bukan pesaing untuk BRIN. “Data genom BGSi kan berasal dari rumah sakit-rumah sakit vertikal di bawah Kementerian Kesehatan. Data tersebut akan masuk ke Repositori Ilmiah Nasional. RIN ini konsepnya wajib serah dan wajib simpan. Jadi BGSi menyimpan data, RIN punya semacam salinannya,” tutur Indi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hilang-Timbul Pusat Genom Nasional"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus