Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perempuan di perdesaan dan pelosok kekurangan akses terhadap pembalut bersih.
Sejumlah pengguna pembalut dan popok kain beralasan peduli pada kondisi sampah yang makin menumpuk.
Tren pembalut kain pun terus berkembang mulai dari ukuran, model, hingga berbentuk pakaian dalam.
TUMPUKAN besek memadati beberapa rak di sebuah rumah panggung di Dusun Sembungan, Bangunjiwo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Setiap anyaman bambu itu berisi empat pembalut kain atau menstrual pad beragam ukuran dengan motif batik berbagai warna. Paket itu juga berisi sebuah sabun batang yang berfungsi sebagai pencuci pembalut seusai pemakaian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilik rumah, Westiani Agustin, 45 tahun, adalah pegiat organisasi perempuan Biyung—dalam bahasa Jawa berarti ibu. Sejak 2018, dia menggandeng sejumlah perempuan di sekitar tempat tinggalnya dan wilayah perdesaan untuk mengikuti edukasi kesehatan organ reproduksi wanita. Dia juga memberikan pelatihan jahit kepada anggota organisasinya untuk membuat pembalut kain. Jahitan lalu dijual untuk meningkatkan kualitas ekonomi anggota. “Para penjahit ini tak memiliki kemampuan ekonomi,” kata Westiani saat ditemui Tempo, Kamis, 14 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya Westiani menemukan banyak perempuan desa tak memiliki kebiasaan bersih saat mengalami menstruasi. Sebagian besar tak punya uang untuk membeli produk pembalut sekali pakai. Para ibu ini memilih menggunakan uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau jajan anak.
Pada waktu datang bulan, mereka kemudian hanya menggunakan kain bekas sebagai media penyerapan darah menstruasi yang keluar. Kain-kain bekas itu pun tak melalui proses pembersihan dan perawatan. Hasilnya, beberapa perempuan mengalami sejumlah penyakit, terutama iritasi kulit pada area vagina.
Pembalut kain produksi Biyung Indonesia di Dusun Sembungan, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, 14 Juli 2022/TEMPO/Shinta Maharani
Westiani menjelaskan, beberapa produk pembalut sekali pakai juga menimbulkan efek samping pada pengguna. Sejumlah produk tercatat menggunakan klorin dan dioksin untuk memutihkan warna serta phthalate—zat kimia yang membuat plastik lebih kuat dan elastis—buat menghaluskan permukaan pembalut. Beberapa penelitian menyebutkan potensi masalah kesehatan reproduksi, seperti kanker rahim, kanker serviks, infertilitas, dan gangguan kelenjar tiroid.
Beberapa tahun terakhir, masalah penumpukan sampah dari produk pembalut dan popok sekali pakai pun menjadi sorotan. Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat setidaknya 70 juta perempuan usia produktif di dunia menghasilkan sampah 1,4 miliar pembalut sekali pakai per bulan. Angka ini mengasumsikan setiap perempuan menggunakan sekitar 20 pembalut saat datang bulan.
Alumnus Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang, itu mengatakan Biyung memang ingin melindungi dua sosok ibu, yaitu perempuan dan bumi. Kampanyenya terus berkembang. Hingga kini Biyung telah bekerja sama dengan 142 perempuan di sejumlah desa. Biyung juga telah memberikan latihan menjahit pembalut kain di beberapa komunitas perempuan Yogyakarta, Jawa Tengah, Jakarta, Jambi, Papua, dan Papua Barat.
Menurut Westiani, sebenarnya penggunaan pembalut kain itu bagian dari tradisi turun-temurun perempuan di Indonesia. Kebiasaan itu masih berlangsung di sebagian besar wilayah perdesaan. Itu juga yang membuat edukasi dan kampanye penggunaan pembalut kain Biyung lebih mudah disampaikan kepada kelompok masyarakat tersebut.
Meski demikian, Westiani menambahkan, gaya hidup menggunakan pembalut kain juga mulai diminati kalangan anak muda. Menurut perempuan asal Papua ini, banyak dari generasi muda yang bergabung sebagai dukungan terhadap pengurangan sampah yang sulit diurai alam. Biyung telah beberapa kali menjadi pembicara dalam kegiatan luring dan daring di sejumlah kampus, seperti Universitas Diponegoro; Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur; Universitas Gunadarma, Depok, Jawa Barat; dan Universitas Cenderawasih, Jayapura.
Saat ini Biyung mampu membuat 80 paket pembalut kain per bulan. Dibanderol dengan harga Rp 140 ribu, setiap paket terdiri atas empat pembalut kain dan satu sabun batang. Paket itu juga berisi keterangan petunjuk pemakaian hingga perawatan agar tetap aman dan awet.
Margaretha Subekti, 57 tahun, juga menjadi pelopor penggunaan pembalut kain bagi perempuan di Nusa Tenggara Timur. Semula pegiat perempuan asal Yogyakarta itu mendirikan Rumah Pekerti yang menjadi wadah bagi perempuan di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, pada 2012. Rumah Pekerti menampung penduduk lokal yang mengalami permasalahan, seperti korban kekerasan dalam rumah tangga, korban pemerkosaan, dan orang tua tunggal.
Kelompok itu awalnya hanya melakukan pendampingan psikologis dan pemberdayaan untuk meningkatkan kondisi ekonomi anggotanya. Salah satu caranya adalah melatih anggota membuat kerajinan tangan dari sampah daur ulang menjadi sejumlah cendera mata. Hasil karya anggota kemudian dijajakan kepada para turis domestik dan asing di salah satu destinasi wisata prioritas Indonesia tersebut.
Oma Bekti—sapaan Margaretha Subekti—mulai mengembangkan menstrual pad saat lima anggota Rumah Pekerti divonis menderita kanker serviks. Sebelum wafat, para aktivis itu sempat berpesan agar anggota Rumah Pekerti juga memperhatikan pelindungan dan kesehatan perempuan. Salah satunya ihwal bahaya penggunaan pembalut sekali pakai dan kain kotor.
“Sebenarnya kami belum meneliti apa penyebab kanker mereka. Tapi kebersihan reproduksi kemudian menjadi perhatian serius,” ujar Oma Bekti.
Di NTT, tutur Oma Bekti, toko yang menjual pembalut sekali pakai hanya ada di kota. Tapi hanya terdapat satu-dua merek. Padahal tak semua perempuan cocok dengan merek pembalut tersebut. Namun akhirnya mereka tetap membelinya meski menyebabkan iritasi dan gatal.
Sedangkan di perdesaan, Oma Bekti menambahkan, penggunaan pembalut sekali pakai masih sangat jarang. Para perempuan memakai kain bekas apa saja—biasanya seprai atau pakaian—untuk menahan darah menstruasi. “Bahkan ada yang tak punya kain bekas sehingga terpaksa tak pakai penyerap apa pun, langsung celana atau rok,” katanya.
Saat ini Oma Bekti sedang giat mencari donatur yang berniat membeli pembalut kain buatan Rumah Pekerti, yang mampu membuat 2.500 pembalut per bulan. Dia berharap para donatur memberikan semua produk tersebut kepada para perempuan di daerah pelosok NTT. Menurut dia, Rumah Pekerti memang belum bisa memberikan secara cuma-cuma karena kegiatan itu menjadi penopang ekonomi anggotanya.
Margaretha Subekti memperagakan cara menggunakan popok serta pembalut kain/Dok Pribadi
Pembalut kain Rumah Pekerti dijual dalam bentuk paket berisi empat menstrual pad seharga Rp 100 ribu. Setiap pembalut bisa dipakai berulang kali hingga berumur dua tahun dengan penggunaan dan perawatan yang baik. Toh, ucap Oma Bekti, pembeli hanya perlu mencuci bersih dan menjemur pembalut kain itu setelah digunakan.
Gerakan Oma Bekti ini pun mendapat dukungan dari sejumlah kelompok sosial setempat. Salah satunya Koperasi Serba Usaha (KSU) Sampah Komodo, yang terlibat dalam edukasi mengenai dampak sampah pembalut di Labuan Bajo. Meski tak dominan, banyak pembalut dan popok sekali pakai ditemukan koperasi itu di sampah rumah tangga di Labuan Bajo, yang beratnya mencapai 14 ton per hari. Selain mendukung pengolahan limbah, KSU Sampah Komodo mendorong kampanye penggunaan pembalut kain guna mengurangi sampah berbahan plastik yang membutuhkan waktu 500-800 tahun untuk terurai secara alami.
Sejumlah anak muda juga mulai terlibat dalam kampanye penggunaan pembalut kain, meski berbalut bisnis. Salah satunya Rafiah Rusyda, 31 tahun, yang mulai memakai pembalut kain karena mengalami efek samping saat menggunakan produk sekali pakai. Dia dan ibunya mengalami iritasi kulit meski sudah mencoba beberapa merek pembalut sekali pakai.
Keduanya kemudian kembali ke tradisi turun-temurun dari nenek dalam keluarga mereka, yaitu memakai kain khusus selama masa menstruasi. Awalnya pembalut ini hanya berupa kain yang dijahit sederhana.
Saat itu dia pun mulai mencoba menstrual pad, tapi harus membelinya dari luar negeri. Hal ini kemudian memancing niatnya membuat produk serupa sendiri. Dia meminta penjahit langganannya membuat pembalut kain berdasarkan foto di Internet. Beberapa produk awalnya gagal dan hanya menjadi konsumsi keluarga.
Rafiah kemudian merintis perusahaan kecil, CV Yuspin Indonesia, yang memproduksi pembalut kain pada Januari 2014. Dia mengaku tak menyangka perusahaan ini justru berkembang pesat seiring dengan bertumbuhnya keinginan para perempuan beralih dari pembalut sekali pakai.
Kini Yuspin telah memiliki 75 penjahit yang mampu menghasilkan 5.000 pembalut per bulan di Boyolali, Jawa Tengah. Kampanyenya berkembang tak hanya mengenai kesehatan perempuan, tapi juga ancaman sampah terhadap lingkungan.
Hal ini kemudian mendorong Rafiah menjalin kerja sama dengan sejumlah pesantren perempuan. Menurut dia, pesantren yang memiliki ratusan santri perempuan akan kewalahan menangani sampah pembalut sekali pakai. Setiap hari mereka harus mengumpulkan, mengolah, dan membuang sekitar 200 pembalut sekali pakai. Edukasi tentang pembalut kain pun menjadi solusi paling relevan.
“Persoalan klasik, banyak perempuan yang enggan karena merasa malu dan tabu membahas soal menstruasi. Tapi, ketika saya jelaskan bahwa ini soal kesehatan diri mereka sendiri dan kepedulian terhadap alam, sebagian besar mau mulai mencoba dan akhirnya memakai,” ujar Rafiah.
Pembalut kain terus berkembang dari segi tipe, kemampuan, jahitan, hingga bentuk. Perkembangan ini terjadi terutama sebagai respons untuk memperluas jangkauan terhadap kelompok perempuan, terutama para pekerja dan masyarakat perkotaan. Salah satunya yang dilakukan oleh Tungga Dewi, pemilik PT Putri Fajar Inspirasi, pendamping dan pemasar produk pembalut sekali pakai jahitan para perempuan di Labuan Bajo.
Tungga Dewi mengungkapkan, pengembangan kegiatannya dari grant menjadi startup masih memiliki visi yang sama, yaitu mendorong perempuan meninggalkan pembalut sekali pakai. Menurut dia, perlu ada produk pembalut ramah lingkungan yang menjawab kebutuhan setiap kelompok perempuan.
Dia menggandeng sebuah perusahaan konfeksi di Jawa untuk membuat celana dalam haid atau menstrual pants. Perpaduan antara pakaian dalam dan pembalut ini dinilai cocok untuk kegiatan aktif para perempuan di perkotaan. Material kain dan penyerap cairan juga menciptakan pengalaman seolah-olah penggunanya hanya memakai celana dalam biasa.
Produk dengan label Perfect Fit itu memiliki tiga jenis yang dibedakan berdasarkan kemampuan daya serap cairan. Tungga Dewi menghargai setiap barang dagangannya itu Rp 200-300 ribu. Tapi, dari setiap pembelian satu celana dalam haid ini, konsumen turut menyumbang satu pembalut kain buatan Rumah Pekerti ke perempuan di perdesaan NTT. “Kesadaran tentang pentingnya kesehatan perempuan saat haid dan pentingnya semua orang untuk peduli pada ancaman sampah,” kata Tungga Dewi.
Puteri Indonesia 2006 Agni Pratistha Arkadewi juga ikut dalam gerakan mengurangi sampah pembalut dan popok sekali pakai. Dia mengatakan telah menggunakan popok kain atau cloth diaper—biasa disingkat clodi—sejak anak pertamanya lahir pada Juni 2014. Dia melanjutkan kebiasaan itu kepada anak kedua dan ketiganya. Menurut dia, masyarakat modern memang harus mulai peka dan peduli terhadap permasalahan lingkungan.
Agni mengaku tak mudah menjalankan komitmen menggunakan popok kain. Dia dan suaminya harus rajin mengganti bagian penyerap saat anaknya buang air kecil. Clodi juga harus langsung dicuci dan diganti ketika bayi buang air besar. Hal ini tak sepraktis penggunaan popok sekali pakai, yang bisa langsung dibuang ke tempat sampah. “Tapi popok kain lebih aman dan sehat untuk anak,” ujar perempuan kelahiran Canberra, Australia, 8 Desember 1987, tersebut.
Pembalut kain produk Yuspin, Solo/Yuspin Official
Agni menilai biaya penggunaan popok kain lebih hemat. Dia memiliki 20 popok kain luaran dan 30 pelapis. Semua produk itu masih bisa dipakai sejak anak pertamanya lahir. “Jadi dari kakaknya masih bisa dipakai adiknya,” ucapnya.
Pengguna pembalut kain, Julia Jasmine, 28 tahun, menilai pengeluarannya lebih sedikit sejak berhenti membeli produk sekali pakai. Julia mulai menggunakan pembalut kain, celana dalam haid, dan gelas menstruasi (menstrual cup) pada 2020. Saat itu dia kerap mengalami iritasi dan rasa gatal pada organ reproduksinya. Dia pun berhenti menggunakan pembalut sekali pakai setelah mendapat pengetahuan dari dokter dan seksolog di media sosial.
Julia mengaku sempat canggung saat mencoba tiga alat penyerap cairan datang bulan tersebut. Namun dia makin merasa nyaman setelah beberapa kali penggunaan. Dia menggunakan celana dalam dan gelas menstruasi pada hari pertama dan kedua. Sedangkan pembalut kain dikenakan pada hari-hari berikutnya selama masa haid.
Menurut Julia, harga celana dalam dan gelas menstruasi memang cukup mahal karena mencapai ratusan ribu rupiah. Penggunaan pembalut kain juga bisa menghabiskan nilai nominal yang sama jika beberapa potong dibeli untuk ganti. Namun penggunaan setiap barang itu bisa berulang kali hingga batas usia dua-tujuh tahun. Biayanya lebih murah dibanding akumulasi pembelian pembalut sekali pakai untuk durasi yang sama. “Dan juga ikut menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah pembalut,” tuturnya.
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), AYU CIPTA (TANGERANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo