Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buku kompilasi buletin-buletin terbitan Komunitas Hysteria Semarang.
Tema-tema tulisannya variatif dan 'liar'.
Didiskusikan dari kota ke kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
BERAT buku itu diperkirakan 2,5 kilogram. Memang mirip bantal tebalnya. Kurang-lebih 1.600 halaman. “Mau yang jahit atau lem?” kata admin penjualan buku saat dihubungi lewat WhatsApp. “Ada perbedaan harganya?” saya bertanya. “Kalau yang jahit Rp 420 ribu, yang lem Rp 300 ribu. Saya sarankan yang jahit karena lebih awet,” ia menjawab. “Itu sudah termasuk ongkos kirim?” saya bertanya lagi. “Belum termasuk ongkos kirim,” sang admin merespons cepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah buku komunitas Hysteria asal Semarang berjudul Tumbuh Bersama Kota. Sebetulnya buku itu tidak bisa disebut buku. Buku tersebut lebih tepat disebut bundel buletin karena merupakan kompilasi zine yang diproduksi Hysteria. Apa itu zine?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam komunitas seni dan sastra underground atau kelompok kecil fan band punk rock, kita tahu zine adalah semacam media buatan sendiri. Murah meriah, acap menjadi corong untuk menampung gagasan-gagasan perlawanan, biasanya direproduksi dalam bentuk stensilan atau fotokopian. Jumlahnya juga sering terbatas, eksemplar kecil-kecilan, dan dijual ke lingkaran pergaulan sendiri. Zine berasal dari kata fanzine atau magazine. Spirit zine selalu anti-mainstream.
Hysteria sendiri mulanya adalah sebuah komunitas sastra yang didirikan empat sekawan di Semarang pada 2006: Yuswinardi, Adin, Heri, dan Yoyok. Kelompok ini memproduksi buletin indie setebal 8-15 halaman sebulan sekali. Buletin ini meneruskan buletin yang mula-mula dibuat seorang diri oleh Yuswinardi sejak 2004. Motonya: “Gerakan sastra bawah tanah”. Dalam setiap edisi selalu ada kata pengantar pendek berupa seloroh redaksi. Zine itu dijual seharga Rp 500 di kampus-kampus di Semarang atau dititipkan di galeri-galeri. Isinya mula-mula adalah puisi, esai, juga cerita-cerita pendek tanpa beban dengan tema yang tak takut dicap norak, aneh, pelarian karena tak ditampung di media mana pun atau sok kritis dan eksperimental.
Bacalah esai Adin pada edisi 47, April 2007, berjudul “Benang Kusut Regenerasi Kesusastraan di Semarang”; “Sewindu Hysteria dan Gerakan Sastra Semarang”, Agustus 2012; atau “Sastra Balik Desa, Sebuah Laporan Singkat”, Juni 2008. Yang menjadi kegusaran mereka agaknya adalah proses kreatif kepenulisan di Semarang yang mereka nilai stagnan. Perhatian buletin kemudian merambah ke persoalan seni rupa dan pertunjukan. Mereka juga menganggap ada problem di kancah seni rupa Semarang. Dalam sebuah edisi, misalnya, ada tulisan “Gerakan Seniman Muda Semarang, Menyikapi Perkembangan Seni Rupa Dunia”. Lalu dalam edisi lain “Omong Kosong Pemuda dan Kesenian Garda Depan”.
Tema-tema tulisan makin tahun makin berkembang, variatif, dan “liar”. Mereka juga mengeluarkan “edisi khusus” zine bertajuk “Propaganda Hysteria”. Martin Suryajaya, penulis filsafat yang sudah menjadi doktor, pada 2008 pernah menulis “Ekonomi Imanensi: Esei tentang Logika Internal dari Kapitalisme Lanjut”, lalu “Tentang Patologi Modernitas” pada 2022. Zine Hysteria bahkan pernah menurunkan “laporan utama” seni kontemporer cukup mentereng: “Tracing Fluxus: How Ideas Coming Through (Some Artworks of Indonesian Artist)”. Edisi ini membahas gerakan Fluxus dan tokohnya, seperti Joseph Beuys dan komponis Philip Corner, serta bagaimana pengaruhnya di Indonesia.
Bundel tebal (memuat edisi dari 2006 sampai 2018) ini sangat berharga bagi para peneliti sosial atau seni untuk mengamati bagaimana peran kolektif-kolektif seni di medan seni dan sastra kita. Pembicaraan dan pemetaan mengenai kolektif seni sekarang penting. Apalagi setelah Ruangrupa, kolektif seni dari Jakarta, secara prestisius bisa menjadi direktur artistik perhelatan seni rupa lima tahunan Documenta di Kassel, Jerman. Banyak kolektif seni selain Ruangrupa. Mereka memiliki dunia dan jaringan sendiri-sendiri.
Komunitas Hysteria boleh dikatakan sebagai salah satu kolektif seni di Semarang yang paling super-aktif. Programnya beragam, dari keluar-masuk kampung membuat mural, memutar film, sampai ikut mendesain Gebyuran (siraman air) Bustaman, acara tradisi tahunan menyambut Ramadan di Kampung Bustaman, Purwodinatan, Semarang. “Kami mendokumentasi sejarah yang kami buat sendiri,” kalimat Adin di pengantar buku ini agaknya tepat. Melalui bundel zine semacam ini, semua kegiatan mereka, dari yang remeh sampai anjangsana ke mancanegara, dicatat, ditulis, dan kemudian dibundel sebagai arsip.
Sejak terbit awal tahun ini, buku tersebut oleh Hysteria secara maraton dikelilingkan dari kota ke kota dan dari kabupaten ke kabupaten untuk didiskusikan, dari Semarang sampai kota-kota kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di tiap daerah, mereka ditampung komunitas-komunitas indie setempat.
Sampai kini diskusi buku lintas daerah ini belum berhenti. “Di tiap kota kami berdiskusi hangat tentang gerakan zine, juga tentang strategi-strategi kolektif seni. Dokumentasi diskusi kami dari kota ke kota ini nanti bahkan bisa menjadi satu buku tebal tersendiri,” kata Adin saat bertemu beberapa waktu lalu dalam kongko-kongko ngopi sore di rumah aktivis seni Sutanto yang tak jauh dari Candi Mendut, Magelang, Jawa Tengah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo