Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pamor profesi gamer kian mencuat setelah esports alias olahraga elektronik dipertandingkan untuk pertama kalinya di Asian Games 2018. Bak atlet profesional, gamer pun berburu berbagai kompetisi dari tingkat lokal hingga kejuaraan dunia yang berhadiah ratusan miliar rupiah. Kemenangan dalam turnamen top bakal mengantarkan pemain game menjadi gamer populer yang diincar tim-tim hebat dan sponsor besar. banyak anak muda memilih karier sebagai pemain game profesional.
Tiga ruangan di Trapesium Esport Arena, Kota Bandung, kerap dipadati para penggemar game. Dari layar komputer masing-masing, para pemain yang terdiri atas pelajar sekolah menengah, mahasiswa, hingga pekerja kantor mengadu strategi dan keahlian untuk memenangi pertandingan. Di tempat itu pula Andrew Bachtiar alias Tiar dan anggota tim Trapesium Esport mengasah kemampuan bermain game setiap hari.
Satu setengah tahun lalu, kata Tiar, saat tim Trapesium Esport dibentuk, mereka hanya bermain Point Blank. Ini salah satu game daring (online) taktis jenis first-person shooter (FPS) dengan hadiah menggiurkan di arena olahraga elektronik (esports). Dalam kejuaraan internasional Point Blank yang digelar di Jakarta pada 2017, hadiah yang diperebutkan sebesar US$ 100 ribu atau sekitar Rp 1,4 miliar.
Mereka biasa berlatih di satu ruangan khusus yang dilengkapi kursi spesial bak jok mobil balap yang nyaman. Komputer desktop dengan spesifikasi tinggi lengkap dengan headset, tetikus, dan keyboard menjadi “pegangan” standar selama bermain.
Andrew Bachtiar, atlet esports dari tim Trapesium di Bandung./TEMPO/Prima Mulia
Sesi latihan harian biasanya dihadiri tiga orang. Anggota lain bergabung dan bermain secara daring. Namun, setiap akhir pekan, tim beranggota lima pemain itu berkumpul di Trapesium Esport untuk berlatih dan bertanding dengan tim lain. “Main tiga-lima jam, setelah itu diskusi soal permainan tim,” ucap gamer 27 tahun itu kepada Tempo, Rabu, 27 Maret lalu.
Menurut Tiar, mereka lebih senang mengikuti turnamen Point Blank di luar Bandung. Mereka sudah melanglang ke Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Yogyakarta. Demi mengasah kemampuan, mereka memburu setiap pertandingan, termasuk turnamen antar-warung Internet (warnet) yang hadiahnya cuma Rp 1-2 juta. “Nilainya jauh dari turnamen nasional, apalagi dunia,” ujarnya.
Tak patah semangat, mereka terus berkompetisi. Catatan prestasi mereka pun membaik. Dari level jawara warnet, mereka kemudian tiga kali menjuarai turnamen tingkat regional. Pada 2017, Tiar dan kawan-kawan menempati peringkat ketiga turnamen nasional yang digelar di Yogyakarta. “Kami ingin menjadi juara nasional,” tutur Tiar.
AGUS Hurip Santoso baru berusia 28 tahun saat membeli mobil Honda Jazz dan satu unit apartemen Gateway Pasteur di Bandung lima tahun lalu. Total uang yang ia keluarkan kala itu Rp 400 juta. “Itu hasil main game,” kata lulusan teknik elektro Universitas Kristen Maranatha, Bandung, itu, Selasa, 26 Maret lalu.
Dunia game mengubah hidup Agus. Gandrung bermain game sejak duduk di kelas III sekolah dasar, Agus turut serta dalam kompetisi game FPS Counter-Strike yang ramai dimainkan di warnet. Ia membangun kariernya sebagai gamer profesional meski sempat ditentang orang tuanya, yang menilai aktivitas itu hanya menghamburkan uang dan mengganggu studi.
Agus Hurip Santoso di Bandung./ TEMPO/Prima Mulia
Bersama sejumlah kenalannya di warnet, Agus membentuk tim War Without End alias W2E dan mengejar aneka kompetisi di berbagai tempat. Menjadi tim yang populer, mereka kerap diundang bermain gratis oleh pemilik warnet yang menjadi tuan rumah turnamen. “Sekarang beberapa tim esports dibuatkan camp, dulu kita baru mimpi,” tutur pemilik julukan gamer August Alvaro itu.
Selesai kuliah pada 2009, dia ingin berhenti dari dunia esports. Namun game Point Blank yang naik daun kembali menarik minatnya. Bersama tim baru yang disponsori seorang penggemar Point Blank, Agus mengikuti turnamen di berbagai kota. Biaya bukan masalah baginya. Selain diberi ongkos akomodasi dan transportasi, setiap anggota tim mendapat uang saku Rp 1-3 juta, tergantung lokasi turnamen. “Sebulan bisa empat kali ikut turnamen.”
Agus dan timnya memenangi kejuaraan dunia Point Blank yang digelar di Trans Studio Bandung pada 2012. Turnamen itu diikuti tim dari sejumlah negara, antara lain Filipina, Peru, Amerika Serikat, Brasil, dan Korea Selatan. Mereka meraih hadiah US$ 30 ribu setelah mengalahkan wakil Filipina di final. “Hadiahnya dibagi untuk lima orang,” kata Agus, yang kini bekerja sebagai penyelenggara acara game dan bendahara Indonesia Esports Association Jawa Barat.
Bukan sekadar kompetisi, esports merupakan bisnis dengan keuntungan menggiurkan. Sejumlah turnamen game terkenal menyediakan hadiah belasan juta dolar Amerika. Atraksi teknologi mutakhir menyertai turnamen yang biasanya digelar di stadion besar berkapasitas belasan ribu orang di negara yang menjadi kiblat video game seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan itu. “Esports sudah menjadi tontonan dan industri,” ujar Presiden Indonesia Esports Premier League Giring Ganesha, Senin, 18 Maret lalu.
Turnamen Dota 2, The International, merupakan salah satu turnamen esports dengan hadiah paling besar. Pada 2018, kejuaraan yang digelar di Roger Arena—stadion berkapasitas 19 ribu orang di Vancouver, Kanada—itu menyediakan hadiah senilai US$ 25 juta atau sekitar Rp 326 miliar.
Richard Permana di Gaming Room NXL CS:GO, Kedoya, Jakarta Barat./ Dok. Team NXL
Siaran langsung pertandingan—lewat televisi dan Internet—yang menjadi incaran para sponsor juga menjadi pemasukan besar bagi penyelenggara turnamen esports. Piala Presiden turnamen perdana Mobile Legends tingkat nasional pun ikut naik daun. Tayangan pertandingan yang dibuka pada Januari lalu itu sudah ditonton lebih dari 17 juta kali di kanal YouTube dengan durasi tonton sekitar 52 juta menit. “Esports itu hidupnya di online,” tutur Giring, yang juga menjadi Ketua Pelaksana Piala Presiden. “Kalau lihat angka-angka itu dan suasana pertandingannya, jelas bikin happy.”
Kemajuan teknologi dan bisnis video game berdampak besar pada perubahan cara pandang kaum milenial—mereka yang saat ini berusia di bawah 35 tahun—terhadap esports. Sebagian generasi yang lebih tua mungkin saja menganggap bermain video game sebagai kegiatan yang tidak produktif. “Dinilai menghabiskan waktu dan uang,” kata Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot Sulistiantoro Dewa Broto.
Padahal pemain esports bisa menjadi profesi yang menguntungkan. Selain gaji bulanan dan kucuran dana sponsor tim, ada bonus tambahan jika pemain berhasil menjuarai turnamen atau menjadi atlet populer. Makin banyak kompetisi yang diikuti, makin besar peluang menambah pundi-pundi uang. “Tidak semua pemain game bisa menjadi atlet esports,” ujar Gatot. “Mereka sangat selektif memilih pertandingan.”
Hansel Ferdinand menjadi salah satu atlet esports Indonesia dengan karier gemilang. Namanya masuk daftar atlet esports berpenghasilan tertinggi. Pada 2018, dia mengumpulkan US$ 57 ribu atau sekitar Rp 812 juta dari sejumlah turnamen. Dikenal sebagai kampiun game Counter-Strike, mantan pemain TEAMnxl> dan Recca itu direkrut tim esports raksasa asal Cina, Tyloo, pada 2017.
Bergabung dengan Tyloo menjadi tantangan baru bagi Hansel, yang tak paham bahasa Mandarin. Rekan setimnya asal Cina tak begitu menguasai bahasa Inggris. Akhirnya mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dan Mandarin sederhana. “Kadang ada salah pengertian, tapi kita perbaiki setiap hari,” kata Hansel lewat surat elektronik kepada Tempo, Senin, 18 Maret lalu.
Hansel mengatakan esports di Indonesia berkembang sangat pesat. Banyak atlet populer, terutama dari game Mobile Legends, muncul. “Kompetisi sudah berkembang. Dulu jarang ada turnamen,” ujar Hansel, yang memupuk kemampuannya bermain Counter-Strike di bilik komputer warnet sejak kelas V SD.
Richard Permana juga menjadi pemain esports yang mendulang keuntungan. Berawal dari hobi bermain di warnet, sejak 2000 Richard aktif mengikuti kompetisi game Counter-Strike, yang menjadi spesialisasinya. Pada 2005, Richard membangun salah satu tim esports tertua di Indonesia, TEAMnxl>.
Richard bersama TEAMnxl>, setelah menjadi juara nasional turnamen Counter-Strike pada 2008, mewakili Indonesia mengikuti World Cyber Games di Jerman. Ini kejuaraan tertinggi untuk semua atlet esports. Nama tim mereka makin kinclong karena menjuarai turnamen internasional Counter-Strike: Global Offensive tiga tahun berturut-turut sejak 2013. “Hingga saat ini belum ada tim Indonesia lain yang bisa mengalahkan rekor itu.”
Gelar juara terkumpul, fulus pun mengalir mulus ke saku Richard. Dia pernah membawa pulang hadiah sebesar Rp 100 juta setelah bertanding di India pada 2014. Semua pemain TEAMnxl> pun mendapat gaji bulanan dan dukungan dari sejumlah sponsor yang sebagian merupakan perusahaan teknologi. “Kelihatannya saja sekarang enak, tapi butuh disiplin tinggi untuk benar-benar menjadi professional gamer,” ucap Richard, yang kini menjabat Chief Executive Officer TEAMnxl>.
Menurut Richard, para pemain esports menghabiskan sebagian besar waktu sehari-hari dengan berlatih. Mereka juga harus memiliki kemampuan belajar mandiri yang tinggi. Kondisi fisik dan asupan makanan pun dijaga. “Kalau mau serius banget jadi pemain game profesional, latihan delapan jam sehari saja masih kurang, ya,” tuturnya.
Kompetisi Mobile Esports Cup di Mangga Dua Mall, Jakarta, 17 Maret 2019./ Tempo/Gabriel Wahyu Titiyoga
Program latihan itu juga harus diimbangi dengan pasokan peralatan yang memadai. Para pemain esports profesional biasanya memiliki sponsor yang menyuplai perlengkapan bermain, dari komputer khusus untuk game, headset, hingga kursi khas gamer yang nyaman. Pemain yang belum memiliki sponsor atau pendapatan besar harus berani berinvestasi mandiri. “Jangan pernah berkompromi dengan hardware yang kita pilih,” kata Richard. “Kalau banyak menang, sponsor pasti berdatangan.”
Popularitas nama pemain, seperti Hansel Ferdinand, juga bisa membawa pemasukan sampingan bagi gamer di luar kompetisi. Dia salah satu pemain top Counter-Strike yang memiliki stiker digital bertulisan nama karakternya dalam game, “BnTeT”. Stiker ini menjadi komoditas dalam game yang bisa diperjualbelikan para pemain di seluruh dunia dan ditempelkan pada senjata karakter game mereka.
Stiker “BnTeT” yang dirilis untuk kompetisi Counter-Strike: Global Offensive, FACEIT London 2018, menurut laporan laman Steam Community Market, dijual dengan harga berkisar Rp 400 hingga Rp 15 ribu. Bahkan ada stiker “BnTeT” dalam kejuaraan Boston 2018 yang dibanderol seharga US$ 8 atau sekitar Rp 112 ribu per unit. Hasil penjualan stiker ini biasanya dibagi sesuai dengan perjanjian antara pemilik nama dan penerbit game. “Jadi pro gamer kayak begini sudah enak banget,” tutur Richard.
Menurut Richard, pemain esports adalah profesi yang menjanjikan. Selain gaji bulanan dari organisasi dan sokongan sponsor, ada bonus besar menanti ketika pemain memenangi turnamen. Enggan menyebutkan gajinya, Richard mengatakan pendapatannya sebagai gamer sudah lebih dari cukup. “Penghasilannya bisa lebih wah lagi kalau dia gamer populer dan punya skill tambahan bikin konten.”
Gatot S. Dewa Broto mengatakan esports menjadi bagian dari gaya hidup kaum milenial. Bermain esports satu kasta lebih tinggi dari sekadar bermain video game di PC atau smartphone. Para gamer profesional pun sudah dinilai seperti atlet olahraga yang membutuhkan persiapan fisik, mental, dan strategi serius untuk bertanding. “Federasi olahraganya lengkap, tinggal diperkuat saja branding esports,” ujarnya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo