Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hak guna usaha (HGU) menjadi sumber perdebatan belakangan ini. Awalnya sentil-an Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto dalam debat calon presiden, Februari lalu. Jokowi menyebut pesaingnya itu memiliki 220 ribu hektare lahan di Kalimantan Timur dan 120 ribu hektare di Aceh Tengah. Prabowo mengatakan lahan HGU tersebut milik negara dan ia rela mengembalikannya.
Bola panas HGU menggelinding ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Koalisi lintas organisasi yang anggotanya antara lain Forest Watch Indonesia, Greenpeace, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menuntut pemerintah membuka data hak guna usaha. Penolakan Kementerian Agraria kandas oleh putusan kasasi Mahkamah Agung pada Maret 2017, yang memerintahkan Kementerian membuka data pemegang HGU. Namun, karena data tidak kunjung dibuka, Menteri Agraria Sofyan Djalil dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Selasa, 26 Maret lalu.
Sofyan, 65 tahun, berkukuh menolak membuka data HGU. Ia berpegang pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan BPN yang menyatakan buku tanah, surat ukur, dan warkatnya sebagai informasi yang dikecualikan untuk dibuka kepada publik.
Sofyan juga menjabarkan soal rendahnya kepemilikan sertifikat tanah di Indonesia. Sejak republik ini berdiri, dia menjelaskan, baru ada 46 juta sertifikat dari perkiraan minimal 126 juta persil atau bidang tanah. Pemerintah menargetkan semua tanah di Indonesia dilengkapi sertifikat pada 2025. “Ini seharusnya dilakukan negara sejak 1960, sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria,” ujar Sofyan kepada Reza Maulana dan Angelina Anjar dari Tempo di kantornya di Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan, Jumat, 29 Maret 2019.
Mengapa Anda berkukuh menolak membuka data hak guna usaha?
Prinsipnya, HGU adalah properti pribadi, seperti rumah Anda. Lalu untuk apa mereka minta data HGU? Lembaga swadaya masyarakat yang menuntut itu melayani siapa? Kepentingannya apa?
Penuntut mengatasnamakan masyarakat yang terkena dampak industri sawit....
Semua orang bisa mengaku membela masyarakat. Apakah pemerintah tidak membela masyarakat? Media pun membela kepentingan masyarakat. Ada sekitar 20 juta penduduk Indonesia yang secara langsung ataupun tak langsung bergantung pada sawit.
Mahkamah Agung memutuskan data HGU harus dibuka sejak dua tahun lalu. Mengapa belum dibuka juga?
Untuk kepentingan tertentu, HGU memang boleh dibuka. Tapi satu per satu. Silakan datang ke sini untuk memperoleh informasi data tanah seseorang. Bayar Rp 50 ribu untuk satu informasi, sesuai dengan peraturan. Yang penting harus jelas apa kepentingan pencarian informasi itu.
Bukankah Komisi Informasi memerintahkan BPN membuka data itu?
Secara internal, kami juga punya peraturan menteri yang menyatakan tidak boleh membuka data HGU karena merupakan private property. Kalau mau, silakan gugat aturan tersebut.
Dengan pembukaan data HGU, publik bisa ikut mengawasi penggunaan HGU yang banyak jatuh tempo pada 2023-2024….
Kalau ada HGU yang telantar, kami ambil, kami berikan kepada rakyat. Masalahnya, kalau rakyat yang menanam sawit, produksinya hanya 2-3 ton per hektare. Kalau perusahaan, bisa mencapai 7-8 ton per hektare. Mana yang lebih mendesak untuk kepentingan publik?
Tanpa keterbukaan data HGU, apakah pendampingan kepada masyarakat yang berkonflik lahan dengan korporasi tidak akan sulit?
Kalau ada pelanggaran, laporkan. Kami akan mengambil tindakan. Saat ini sudah berapa banyak yang dihukum dan dituntut sampai triliunan rupiah oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Memangnya pemerintah tidak peduli? Pemerintah juga berkepentingan menjaga itu.
Ada yang menganggap kedekatan Anda dengan pengusaha sawit yang membuat Anda tidak mau membuka data HGU….
Bukan. Saya melindungi kepentingan bangsa dan negara.
Dengan berkukuh tidak membuka data HGU, Anda bisa dicap melindungi pengusaha. Pembelaan Anda?
HGU diberikan untuk 35 tahun dan dapat diperpanjang dua kali, masing-masing 25 tahun. Kalau sudah habis masa berlakunya, tanah itu akan menjadi milik negara kembali. Lalu mau diapakan? Kalau ada yang meminta HGU lagi untuk tanah yang sama, kami berikan, selama menjadi tanah yang produktif.
Bukankah ada program land reform?
HGU telantar bisa kami berikan kepada orang yang tidak punya tanah. Ini untuk memperkecil rasio Gini kepemilikan tanah di Indonesia yang sekitar 0,6 (angka 0 menunjukkan pemerataan sempurna, 1 ketidakmerataan sempurna). Jangan berpikir membagi-bagikan tanah kepada rakyat itu selalu bagus. Belum tentu. Kalau di tangan rakyat tidak produktif, tanah itu juga akan kami ambil. Sebenarnya mesin yang paling cepat menciptakan kekayaan adalah korporasi.
Mengapa korporasi?
Mereka punya manajemen yang profesional; sumber daya manusia yang berkualitas; akses ke permodalan; akses ke pasar, riset dan pengembangan; serta teknologi yang canggih. Kalau individu, tidak punya. Jadi perusahaanlah yang membuat sebuah negara maju, seperti chaebol di Korea Selatan. Ingat, pajak yang mereka bayarkan sebesar 28 persen. Belum lagi dana corporate social responsibility yang mereka keluarkan. Jadi jangan memusuhi korporasi.
Sofyan Djalil saat penyerahan sertifikat tanah di Banda Aceh, 13 Maret 2019./ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/pd
Masalahnya, terutama di sektor sawit, ada ketamakan pengusaha yang terus memperluas lahan dan berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat atau merambah hutan….
Ya. Sifat manusia memang seperti itu. Tapi tidak semuanya jahat. Saya beberapa kali bertemu dengan Anthony Salim (bos Indofood dan orang terkaya nomor lima di Indonesia) dalam penerbangan ke luar negeri. Dia duduk di kelas ekonomi, saya di bisnis. Saya jadi malu karena orang seperti dia yang menyumbang pajak besar. Pengusaha lain, seperti T.P. Rachmat, membagi-bagikan kebun kepada pekerjanya. Jadi orang kaya itu sebenarnya not bad. Sayangnya, kita tidak kaya, ha-ha-ha….
HGU menjadi pembahasan publik setelah Presiden Jokowi menyinggung kepemilikan lahan Prabowo dalam debat calon presiden, Februari lalu. Data itu dari BPN?
Tidak, itu data umum. Pak Presiden menyatakan fakta dan Pak Prabowo mengakui menguasai lahan di Kalimantan Timur dan Aceh. Pak Presiden hanya menggambarkan bahwa ada orang yang penguasaan tanahnya luas sekali, tapi di sisi lain ada orang yang tidak punya tanah atau punya tanah tapi tidak ada kepastian hukumnya.
Karena itu pemerintah gencar membagikan sertifikat tanah?
Selama ini banyak terjadi sengketa lahan. Ada sengketa antara masyarakat satu dan lainnya, antara masyarakat dan perusahaan, antara masyarakat dan pemerintah. Hal itu terjadi karena banyak orang yang tidak mendaftarkan tanahnya. Kalau tanah dihuni, mungkin tidak ada masalah. Tapi, kalau tanah tidak dihuni dan diserobot orang lain, menjadi masalah. Ujungnya masuk ke pengadilan. Dengan mendaftarkan tanah dan memiliki sertifikat hak milik, mereka akan punya bukti yang kuat sehingga tanahnya tidak diserobot orang lain.
Berapa banyak tanah yang belum terdaftar?
Diperkirakan ada 126 juta persil. Itu jumlah minimal karena satu bidang tanah bisa dibagi, misalnya orang tua mewariskan tanah kepada empat anaknya. Mungkin pada kenyataannya mencapai 150 juta persil. Dari jumlah itu, sejak republik ini berdiri hingga 2015, baru ada 46 juta sertifikat. Jadi ada 80 juta tanah tanpa bukti kepemilikan. Itu sumber konflik. Padahal sudah menjadi kewajiban negara lewat Undang-Undang Pokok Agraria 1960.
Kepemilikan sertifikat minim karena negara tidak proaktif atau masyarakat enggan mengurus?
Keduanya. Kadang-kadang uang warga sudah habis tapi sertifikat tidak keluar. Mengurus pun banyak calo. Presiden Soeharto tidak menjadikan isu ini prioritas karena efek krisis politik 1965. Ada kesalahpahaman yang menganggap Undang-Undang Pokok Agraria sebagai undang-undang kiri karena ada program land reform, bagi-bagi tanah. Orang menganggap aksi sepihak Partai Komunis Indonesia pada awal 1960-an gara-gara undang-undang itu. Presiden silih berganti tidak ada yang peduli terhadap masalah ini. Saat saya masuk BPN, Presiden Jokowi menargetkan 5 juta sertifikat pada 2017. Sebelumnya sertifikasi hanya 500 ribu-800 ribu per tahun.
Tahun ini, Presiden Jokowi menargetkan pembagian 9 juta sertifikat. Anda yakin tercapai?
Insya Allah bisa mencapai 10-11 juta sertifikat. Pada 2017, dari target 5 juta, kami membagikan 5,4 juta sertifikat. Pada 2018, dari target 7 juta, kami bisa membagikan 9,3 juta sertifikat.
Mengapa kenaikan bisa setinggi itu?
Pada 2017, kami memperkenalkan program Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL). Kami mengukur dan mendaftar semua tanah per desa. Sebelumnya, pendekatannya sporadis, per orang, sehingga potensi konfliknya tinggi. Dengan PTSL, semua tanah bisa diidentifikasi sehingga tidak akan ada lagi satu pun bidang tanah yang tidak terdaftar. Kami terbantu kemajuan teknologi. Tidak lagi pakai alat ukur konvensional. Sudah ada peta digital, citra satelit, dan sebagainya. Kedua, karena juru ukur lebih banyak. Kami mencari juru ukur dari swasta karena juru ukur pegawai negeri hanya sekitar 2.200 orang. Dengan juru ukur swasta, juru ukur kami menjadi sekitar 8.000 orang.
Daerah mana yang menjadi prioritas?
Kota-kota besar, Jawa ataupun luar Jawa, karena memiliki potensi konflik tinggi.
Kapan semua bidang tanah Indonesia tersertifikasi?
Kalau Tuhan mengizinkan dan Jokowi terpilih kembali, kami menargetkan 100 persen tanah sudah bersertifikat pada 2025. Untuk tahun ini, Jakarta dan Pulau Bali dulu yang akan 100 persen terdaftar. Ini pun sebenarnya terlambat. Jepang sudah menyelesaikan sertifikasi tanah 150 tahun lalu, Korea seratus tahun lalu, Taiwan pada 1950-an. Ini seharusnya dilakukan Indonesia sejak 1960, sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak dilakukan.
Apakah sengketa tanah terbukti berkurang seiring dengan meningkatnya bukti kepemilikan?
Sebenarnya sengketa lahan tidak banyak. Cuma sekitar 8.000 kasus. Hanya, kalau sudah menjadi konflik, susah diselesaikan. Menang di pengadilan tata usaha, dibawa ke pengadilan perdata. Menang di pengadilan perdata, dibawa ke pidana. Orang kecil pasti kalah. Karena tanah di republik ini begitu luas, satu kasus kami selesaikan, datang lagi kasus lain.
Anda pernah terjun langsung ke lapangan untuk menyelesaikan sengketa lahan?
Pernah ada konflik antara sebuah perusahaan dan suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam mengatakan tanah di Jambi itu sebagai tanah adat. Padahal HGU sudah diberikan kepada perusahaan. Solusinya, sebagian lahan diberikan kepada suku Anak Dalam. Untuk membantu mereka mengelola keuangan, dibuatlah sebuah koperasi yang dibina perusahaan. Saya juga menangani kasus di Karawang, yang dulu datang ke Istana dan memasung dirinya di dalam tanah. Solusinya, masyarakat dibelikan tanah dan dibikinkan rumah.
Saat Presiden meresmikan jalan tol di Lampung, awal Maret lalu, seorang ibu naik ke panggung dan memohon uang ganti lahan. Apa yang terjadi?
Sebenarnya tanah itu telah diserobot sejak era reformasi. Pemiliknya punya sertifikat. Kebetulan, saat jalan tol dibangun, tanah itu terkena. Kami pun mencari tahu siapa pemiliknya. Akhirnya ganti rugi diberikan kepada pemilik, bukan ibu tersebut yang hanya tinggal di atasnya tanpa punya sertifikat. Pemilik senang karena tanah yang tadinya diserobot sudah dibebaskan. Lain halnya dengan ibu tersebut, yang merasa tidak puas. Kami menyuruh dia menggugat. Tapi kan dia tidak punya dasar apa-apa.
Dalam penyelesaian sengketa lahan, pendekatan apa yang biasanya diambil BPN?
Tergantung situasi. Kalau bisa, diselesaikan dengan amicable. Tapi, kalau pihak yang bersengketa tidak setuju kasus itu diselesaikan dengan jalan damai, dibawa ke pengadilan.
Untuk mafia tanah, pendekatannya juga hukum?
Mafia tanah kami targetkan, di mana-mana kami tangkap. Mereka punya banyak cara untuk merampas tanah orang lain. Salah satunya dengan mengklaim tanah orang lain menggunakan girik yang dia miliki. Girik tidak menyebutkan lokasi ataupun titik koordinat. Karena itu, semua orang bisa menaruh girik apa pun untuk mengklaim tanah milik orang lain. Di Medan, biasanya orang menggunakan istilah tanah sultan. Ketika ingin membuat dokumen, dia mengatakan tanahnya berasal dari pemberian sultan di masa kolonial. Di Bekasi, ada mantan lurah dan mantan camat yang bekerja sebagai mafia tanah. Saat mereka ditangkap, polisi menemukan satu tas penuh girik.
PTSL juga mencakup pengubahan girik menjadi sertifikat?
Ya. Girik diambil, sertifikat diberikan. Girik memang bukan bukti kepemilikan tanah. Dulu girik dipakai dalam pencatatan tanah untuk kepentingan pajak pada zaman Belanda.
Selain demi kepastian hukum, apa pentingnya susah-susah mengurus sertifikasi tanah?
Fungsi yang tidak kalah penting adalah memberi akses keuangan terbuka bagi semua masyarakat. Selama ini pedagang kecil yang punya tanah tapi tidak punya sertifikat tidak bisa meminjam uang di bank. Mereka pergi ke rentenir, yang bunganya mencapai 200 persen per tahun. Di bank, bunga kredit usaha kecil hanya 7 persen. Ini yang menyebabkan ekonomi orang kecil susah naik, sementara yang kaya makin kaya.
SOFYAN DJALIL
Tempat dan tanggal lahir: Aceh Timur, 23 September 1953 | Pendidikan: Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1984);
Master of Arts The Graduate School of Arts and Sciences Tufts University, Amerika Serikat (1989); Master of Arts in Law and Diplomacy The Fletcher School of Law and Diplomacy Tufts University (1991); Doctor of Philosophy The Fletcher School of Law and Diplomacy Tufts University (1993)
Karier, di antaranya: Menteri Agraria dan Tata Ruang (2017-sekarang), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (2015-2016),
Menteri Koordinator Perekonomian (2014-2015), Kepala Bidang Telaah Strategis Kantor Wakil Presiden RI (2010-2014),
Menteri Badan Usaha Milik Negara (2007-2009), Menteri Komunikasi dan Informatika (2004-2007).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo