Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSIM panas begitu garang di Washington D.C., Amerika Serikat, Agustus lalu. Patung kolosal berbahan pualam putih Georgia setinggi hampir 6 meter duduk merenung. Di dalam bangunan berbentuk kuil kebangkitan Yunani kuno itu, Abraham Lincoln, ikon pembebas perbudakan Amerika Serikat abad ke-19, digambarkan dengan satu tangan mengepal dan tangan lainnya lebih terbuka. Ia berwajah cekung dan terlihat serius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruang utama Lincoln Memorial disesaki pengunjung dalam guyuran sinar matahari siang di sekitar National Mall, lahan luas dan terbuka di jantung Kota Washington. Bunga bermekaran dengan dedaunan hijau mengelilingi taman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pengaruh jet lag selepas penerbangan selama 32 jam dari Indonesia, saya menikmati tur wisata di monumen dan tugu peringatan yang paling sering dikunjungi wisatawan. Saya datang bersama tujuh pemimpin agama dan kepercayaan dari Tanah Air, memenuhi undangan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat dalam program pertukaran pemimpin atau International Visitor Leadership Program 2024.
Patung presiden ke-16 Negara Abang Sam itu terletak di ujung barat kompleks National Mall serta sejajar dengan Monumen Washington dan Capitol Hill atau gedung parlemen. Direktur FedTour Capital Communication Group—perusahaan konsultan internasional yang bergerak di bidang kebudayaan dan jejaring politik—Vinicius Portugal menemani tur khusus sehari di Washington.
Vinicius seperti seorang pendongeng. Dia menjelaskan detail setiap monumen yang menggambarkan sejarah politik AS, termasuk Lincoln Memorial. “Lincoln sangat dicintai rakyat Amerika karena menghapuskan perbudakan kulit hitam,” kata Vinicius, Ahad, 11 Agustus 2024.
Lincoln meneken Proklamasi Emansipasi dalam undang-undang dasar Amerika pada 1862 ketika perang saudara paling berdarah menewaskan ratusan warga sipil. Proklamasi Emansipasi menjadi dokumen bersejarah paling visioner tentang kesetaraan ras, warisan Lincoln yang mengakhiri perbudakan kulit hitam.
Pengunjung di kawasan Lincoln Memorial di Washington DC, Amerika Serikat, 11 Agustus 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Seabad lebih, monumen paling termasyhur itu berdiri. Pemerintah AS membangun Lincoln Memorial pada 1922 dan menunjuk Daniel Chester French kelahiran Exeter, New Hampshire, sebagai pematung dan arsitek Henry Bacon. Untuk mendekati patung itu, jutaan pengunjung setiap tahun harus melewati 87 anak tangga. Turis lokal dan mancanegara berswafoto, terlihat mungil di bawah patung seberat 170 ton itu.
Di bagian selatan ruangan itu terpahat pidato Lincoln di makam pahlawan di Gettysburg. Pidato paling terkenal pada 1863 yang memuat 272 kata itu mengisahkan pembebasan budak dan demokrasi AS. Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat, untuk rakyat, dan dari rakyat. Selain itu, ungkapan dia yang paling penting dan bersejarah adalah semua manusia diciptakan sama.
Tapi, menurut Vinicius, kesetaraan tak berakhir hanya soal ras. Amerika kini menghadapi tantangan mewujudkan kesetaraan lain, misalnya kesetaraan berbasis gender dan latar belakang yang berbeda-beda. Dia juga masih menemukan rasisme di beberapa tempat di AS. Padahal konstitusi berbicara tentang keadilan yang setara dan perlakuan yang sama di bawah hukum. “Kami belum sempurna.”
Saya kemudian teringat film berjudul Lincoln besutan sutradara Steven Spielberg yang mengisahkan perjuangan Lincoln meloloskan Amendemen 13 yang berisi tentang penghapusan perbudakan. Lincoln merupakan anak petani dari Springfield, Illinois, yang menjadi pengacara andal. Dilantik sebagai presiden pada Maret 1861, dia menghadapi krisis perang saudara. Sebelas negara memisahkan diri dan memproklamasikan kemerdekaan dengan membentuk negara konfederasi.
Negara-negara di bagian selatan itu melanggengkan perbudakan sebagai sistem sosial yang telah mengakar. Mereka menginginkan dominasi kulit putih. Perang saudara pun memanas.
Dua bulan sebelum perang saudara selesai, Lincoln berpidato pada masa jabatannya yang kedua. Ia menyerukan adanya rekonsiliasi Amerika. Menurut dia, tak boleh ada kebencian dan dendam kepada siapa pun. Enam pekan setelah dia berpidato, John Wilkes Booth menembak Lincoln pada 14 April 1865 ketika Lincoln menonton teater.
Perjuangan Lincoln yang berhasil menghapus perbudakan melalui undang-undang mendapat pertentangan keras. Desember 1865, muncul Ku Klux Klan, organisasi rasis yang menebar teror dan melakukan serangkaian kekerasan terhadap kulit hitam demi menegakkan supremasi kulit putih.
Kekerasan terhadap kulit hitam menyebabkan serangkaian perlawanan dari masyarakat sipil. Pada 1950-an, Martin Luther King Jr., aktivis dan pendeta baptis, muncul dan menentang diskriminasi serta rasialisme. King memimpin protes tanpa kekerasan, melawan pemisahan penumpang bus berdasarkan ras di Montgomery, Alabama. Perlawanan itu membuat King diganjar Nobel Perdamaian pada 1964.
Kulit hitam saat itu harus duduk di bus bagian belakang. Bila bus penuh penumpang, kulit hitam harus memberikan tempat duduk mereka kepada kulit putih. Musim gugur, 28 Agustus 1963, Martin Luther King Jr. berpidato di tangga Lincoln Memorial di hadapan sekitar 250 ribu orang.
Pengunjung berfoto di depan patung Martin Luther King Jr., di kawasan Martin Luhter King, Jr Memorial, Wasington DC, Amerika Serikat, 11 Agustus 2024. TEMPO/Shinta Maharani
I Have a Dream, pidato King yang sangat terkenal. Pidatonya menjelaskan tentang mimpi untuk perlakuan adil, bahwa kulit hitam bisa naik bus tanpa harus duduk di belakang, pergi ke sekolah, pasar, kolam renang, toilet, dan tempat umum lain.
Untuk menghormati tokoh hak sipil tersebut, pemerintah AS meresmikan patung Martin Luther King atau Martin Luther King, Jr. Memorial, berjarak 1,5 kilometer dari Lincoln Memorial pada 2011. Berdiri setinggi 9 meter, patung ini dikelilingi kutipan-kutipan yang berbicara tentang pasifisme atau perlawanan tanpa kekerasan yang memperjuangkan persamaan ras, kesetaraan, dan keadilan sosial.
Patung gigantik King berkelir putih berbahan batu granit berada di sisi selatan National Mall, menghadap tugu peringatan Thomas Jefferson, Presiden AS ketiga yang juga pencetus Deklarasi Kemerdekaan. Tugu peringatan King dipahat pematung asal Cina, Lei Yixin. King berdiri tegak dengan tangan dilipat. Pengunjung harus mendongak demi melihat wajah King.
Patung itu satu-satunya penggambaran tokoh non-presiden di antara tokoh bersejarah lain di deretan tugu bersejarah lain di Washington. King menjadi tokoh penting Afrika-Amerika pertama yang mendapat pengakuan. “Dia tewas ditembak karena perjuangannya melawan ketidakadilan,” Vinicius menjelaskan.
Sama seperti patung Lincoln, turis yang terdiri atas anak-anak, orang dewasa, dan manula berkerumun antusias melihat patung King. Semua monumen yang buka setiap hari selama 24 jam itu gratis untuk pelancong. Bagi pendeta Gereja Toraja, Mega Kamase Sambo, salah satu peserta rombongan tur, Lincoln Memorial menjadi tempat paling favorit sepanjang berkeliling di pusat sejarah Amerika.
Tempat bersejarah itu, menurut dia, menggambarkan keutamaan toleransi, kejujuran, dan keteguhan jiwa manusia. Monumen itu mengingatkan ihwal fondasi Amerika, Deklarasi Kemerdekaan, yang sangat berpengaruh, yakni semua manusia diciptakan sama dengan hak yang tak bisa dicabut. “Hak itu menyangkut kehidupan, kebebasan, dan pencarian kebahagiaan.”
Dalam sengatan panas matahari, pendeta Mega menapaki tangga menuju patung Lincoln. Ia kagum karena ada banyak peristiwa historis di monumen tersebut, yakni pemimpin hak sipil, Martin Luther King, Jr. Mega menyusuri tangga tempat King berorasi tentang mimpi persamaan ras kulit hitam yang dikenal sebagai I Have a Dream.
Museum Kennedy di Boston
Dari Washington D.C. yang terik, kami menyusuri Boston, ibu kota Massachusetts, selepas menempuh perjalanan selama satu jam memakai pesawat. Cuaca di Boston lebih sejuk ketimbang di Washington. Di Washington, gedung-gedung pemerintahan federal berderet dengan kotanya yang sangat tertib dan rapi. Lain halnya di Boston. Kota kecil ini memiliki banyak kampus ternama, seperti Harvard University, Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan Boston University.
Salah satu koleksi di ruangan di John F. Kennedy Presidential Library and Museum di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, 18 Agustus 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Libur akhir pekan kami habiskan dengan mendatangi Perpustakaan dan Museum Kepresidenan John F. Kennedy. Langit kelabu siang itu setelah diguyur hujan. Kami mempelajari sejarah JFK yang legendaris di John F. Kennedy Presidential Library and Museum. Bangunan megah berdinding kaca itu berisi ruang teater yang memutar film tentang perjalanan JFK sejak usia balita, bocah, dewasa, hingga menjadi presiden.
Ada juga ruangan yang menyimpan berbagai koleksi tentang pencalonan dan kampanye JFK sebagai presiden melalui Partai Demokrat yang semarak dengan berbagai poster. JFK juga digambarkan sebagai media darling. Ruangan museum banyak memasang pemberitaan media massa ternama AS yang menampilkan JFK, misalnya The Boston Globe, The New York Times, dan Times.
Satu ruangan disulap seperti studio televisi yang lengkap dengan perlengkapan siaran. Ruangan itu juga memamerkan layar berisi siaran televisi yang menayangkan debat JFK dengan Richard Nixon. Ada ruangan yang menempatkan kursi dan layar yang menggambarkan suasana JFK saat bertemu dengan para jurnalis serta ada pula berbagai video.
Museum John F. Kennedy seluas sekitar 10 hektare menghadap ke pintu masuk Pelabuhan Boston dan pulau-pulau di sebelah timur Teluk Dorchester. Taman dengan berbagai bunga dan pepohonan mengitari museum itu. “JFK sangat menyukai laut. Itu sebabnya museum ini dekat dengan laut,” ucap Shawn Callanan, penerjemah profesional yang disewa Kementerian Luar Negeri AS.
Suasana di depan John F. Kennedy Presidential Library and Museum di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, 18 Agustus 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Shawn, yang mahir berbahasa Jawa karena pernah belajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta selama setahun, juga mengenal JFK sebagai presiden yang dekat dengan Presiden Sukarno. John F. Kennedy Presidential Library And Museum mencatat, pada 24 April 1961, JFK menyambut Sukarno di Pangkalan Angkatan Udara Andrews, Maryland.
Presiden Sukarno melawat ke Washington D.C. setelah menerima undangan JFK, empat bulan setelah ia dilantik sebagai Presiden AS. Arsip museum JFK bahkan secara khusus menampilkan foto-foto keakraban Sukarno dan Kennedy dalam persamuhan di Gedung Putih atau White House. JFK sebelumnya mengunjungi Indonesia pada 1957 saat menjadi anggota Kongres AS.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengunjungi museum JFK pada 2009. Museum itu, menurut sejumlah pengunjung, selalu penuh saat libur akhir pekan. Selain pemerintah yang menaruh perhatian besar terhadap sejarah, warga AS antusias mengapresiasi museum sejarah. “Museum JFK sangat interaktif sehingga menarik turis,” ujar Sih Pramukti, warga Virginia.
Museum itu diresmikan pada 1979 dan dikelola Kantor Perpustakaan Kepresidenan AS. Untuk masuk ke museum tersebut, pengunjung perlu membeli tiket yang bisa dipesan melalui situs web museum JFK. Museum ini buka setiap hari pada pukul 10 pagi hingga 5 sore. Tiket masuk untuk dewasa, misalnya, dibanderol US$ 18 atau sekitar Rp 279 ribu per orang dan mahasiswa US$ 12.
SHINTA MAHARANI (Washington D.C. dan Boston)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo