Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Shojin adalah makanan tradisional Jepang yang diolah para biksu di Zenkoji yang halal karena terbuat dari sayuran.
Menjadi makanan alternatif wisatawan muslim yang berkunjung ke Nagano.
Para biksu memasaknya tanpa pikiran kotor.
LEMBARAN kayu berwarna-warni bertulisan doa-doa dalam huruf kanji menggantung di papan tiang berbentuk torii di sebuah sudut pelataran Kuil Zenkoji. Pada pertengahan Februari lalu, pengunjung kuil di Prefektur Nagano ini masih bermantel tebal. Cuaca Jepang sedang beralih dari musim dingin menuju semi, tapi suhu masih di bawah 10 derajat Celsius. Mereka mendekat ke torii itu, lalu mengamati sekilas lembaran kayu doa yang bertumpuk-tumpuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sudut lain, serombongan orang bersiap masuk ke aula ibadah sambil membawa kertas kim berwarna kuning. Mereka membakar kertas kim di dalam guci emas di teras kuil sebelum sampai di depan patung para dewa. "Kalau kertas terbakar, orang-orang percaya doa mereka akan terbang terbawa asap sampai ke para dewa,” kata Hiroyuki Yokoyama, seorang biksu Zenkoji yang menjadi pemandu wisata.
Saya dan 19 orang lain dari Indonesia menyambangi Zenkoji, kuil tertua di Nagano yang berusia 1.400 tahun. Rombongan kami baru saja menjelajah pertapaan Buddha di lorong gelap ruang bawah tanah Zenkoji. Kuil ini memiliki patung Buddha rahasia yang wujudnya tak pernah dilihat oleh siapa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zenkoji merupakan rumah hibutsu, patung Buddha pertama yang dibawa ke Negeri Sakura. Berjalan di lorong tanpa cahaya di tempat patung Buddha bersemayam menjadi ritual wajib bagi para tamu Zenkoji untuk merasakan kehadiran dewa, apa pun agama mereka. Yokoyama mengatakan kuil ini terbuka bagi semua kepercayaan.
Bangunan utama di Kuil Zenkoji yang menjadi tempat para pengunjung bersembahyang di Nagano, Jepang. Tempo/Francisca Christy Rosana
Seusai ritual, Yokoyama mengajak kami keluar dari area kuil seluas 59 ribu meter persegi ini, melewati kompleks-kompleks rumah dan kios-kios cendera mata. Saat itu menjelang tengah hari. Yokoyama mengajak kami bergegas makan siang. "Orang Jepang taat jam makan,” ujarnya.
Berjalan sekitar 15 menit, kami akhirnya tiba di sebuah gang yang kanan-kirinya ditumbuhi pohon matsu dengan dedaunan memucat. Gang selebar empat langkah orang dewasa itu tampak seperti diorama masa lalu. Rumah berdesain minka—rumah tradisional Jepang—berderet dari ujung ke ujung. Rumah-rumah kuno ini, Yokoyama menjelaskan, dulu dimiliki Kuil Zenkoji. Kini sejumlah minka itu menjadi restoran sekaligus hotel yang dikelola para biksu.
Langkah Yokoyama terhenti di sebuah rumah bercat putih dengan papan nama “Fuchinobo” di ujung gang. Rumah tersebut satu di antara 39 restoran dan hotel tradisional Jepang di sekitar Zenkoji. Dari rumah berpekarangan mungil, seorang biksu berpakaian abu-abu menyambut rombongan kami. Biksu itu kolega sepertapaan Yokoyama. Dia memperkenalkan diri dengan nama Ogawa.
Ogawa mempersilakan kami masuk ke rumah yang seluruh lantainya dilapisi tatami—tikar tradisional Jepang. Dia menggiring kami menuju washitu—ruangan serbaguna—di lantai tiga untuk bersantap siang bersama. Di dalam washitu, puluhan kursi dan meja kayu sudah tertata berjajar membentuk dua saf berhadapan. “Saya sudah memasak,” tutur Ogawa.
Para turis dari Indonesia menikmati hidangan di salah satu restoran yang dikelola oleh Kuil Zenkoji. Tempo/Francisca Christy Rosana
Ogawa mengeluarkan puluhan nampan berisi set makanan dan meletakkannya di depan para tamu. Di atas nampan itu, ada piring-piring kecil berisi lauk berwarna-warni, nasi bercampur biji-bijian, sepasang sumpit, dan segelas oca panas. “Itadakimasu,” kata Ogawa. Kami mengikutinya sambil menggenggam sumpit dan merundukkan tubuh. Salam itu adalah ucapan wajib yang dituturkan orang Jepang sebelum menyantap makanan sebagai ungkapan syukur.
Di balik meja, tiap orang akan menyantap makan siang dengan sembilan jenis lauk berbeda. Ada soba, tahu wijen, tempura sayur, juga acar. Penduduk Jepang menyebutnya shojin, masakan tradisional Buddha yang semuanya terbuat dari tumbuh-tumbuhan. Tak ada satu pun campuran protein hewani atau alkohol dalam masakan yang diolah para biksu itu.
Sebelum para tamu menyantap makanan di depannya, Ogawa menerangkan proses memasak makanan tersebut. Makanan itu diolah dari bahan-bahan yang tumbuh sesuai dengan musimnya. “Misalnya saat ini musim dingin, yang dihidangkan adalah olahan dari lobak, rumput laut, umbi-umbian, dan kedelai,” ucap Ogawa.
Akar teratai juga menjadi hidangan yang disajikan tatkala musim salju datang. Adapun pada musim panas, para biksu akan menghidangkan menu shojin yang terbuat dari kacang hijau Maroko dan jahe mioga—tumbuhan yang dipanen saat musim panas.
Semua makanan dimasak dengan cara berbeda: direbus, dikukus, digoreng. Proses masak yang berbeda memberikan sensasi rasa yang berlainan pula ketika orang menyantapnya. Sebagaimana bahan-bahan itu dimasak, semua jenis makanan mewakili elemen rasa yang bervariasi, seperti manis, asam, asin, pahit, serta umami atau gurih.
Ogawa menjelaskan, keseimbangan rasa tiap masakan perlu dijaga. Rasa asin tak boleh menonjol. Misalnya rasa manis dibuat lebih kuat atau asam, gurih, dan pahit dibikin dominan. Para biksu memaknai keseimbangan rasa tersebut sebagai gambaran kehidupan yang tak berlebihan.
Bagi lidah orang Indonesia yang terbiasa dengan makanan kaya rempah, shojin terasa agak hambar. Sebagian orang dalam rombongan saya tak menghabiskan makanan itu. “Kurang asin,” kata beberapa orang.
Selain menjaga keseimbangan rasa, saat memasak, para biksu melakoni pantangan. Mereka tak boleh berpikir kotor dan menuturkan ujaran kasar. “Harus dalam pikiran yang bersih,” ujar Ogawa. Para biksu yakin bahwa mengolah makanan adalah bagian dari ritual merayakan kehidupan.
Untuk menyantap makanan ini, para tamu harus memesannya dulu melalui panggilan telepon sehari sebelumnya. Satu set menu dihargai 2.200 yen atau sekitar Rp 200 ribu. Para tamu akan ditanyai tentang alergi atau pantangan terhadap bahan tertentu. Jika tamu punya alergi kacang, biksu akan memasak pesanan pengunjungnya tanpa mencampurkan bahan yang mengandung kacang-kacangan.
Restoran ini kerap menjadi alternatif bagi turis muslim dari berbagai negara yang membutuhkan sajian kuliner halal Jepang atau pelancong dari India yang umumnya vegetarian. Ogawa menuturkan, masakan yang telah berabad-abad menjadi santapan para biksu ini adalah salah satu jenis hidangan halal yang dapat ditemukan di prefektur pedalaman tersebut.
Restoran yang dikelola para biksu itu juga tak menyediakan minuman selain oca dan air putih, tak seperti restoran-restoran Jepang lain yang umumnya menjual beraneka ragam sake atau bir.
Kobayashi Ayumi, warga Nagano, bercerita, ia kerap melihat orang asing berkerudung keluar-masuk restoran yang menyediakan menu shojin di kampung halamannya. Konsep makanan shojin, menurut dia, dapat diterima oleh semua kalangan. “Apalagi makanan ini dimasak oleh para biksu. Tentu menjadi pengalaman yang mengesankan,” tuturnya.
Bagi orang Jepang asli, shojin adalah makanan khusus yang disantap pada saat upacara, tahun baru, atau perayaan syukur. Seorang pengunjung restoran asal Jakarta, Nurjanti, merasa plong ketika menemukan restoran tradisional Jepang yang menyediakan menu makanan halal. Ia mulanya khawatir bakal kesulitan mendapatkan makanan halal di pedalaman Jepang. “Makanan ini vegetarian, bisa jadi pilihan muslim yang berkunjung ke sini,” kata perempuan 28 tahun itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo