Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hiburan

Sajadah di Atap Jepang

Perjalanan wartawan Tempo ke Prefektur Nagano yang sedang mengembangkan wisata halal. 

2 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Nagano menjadi salah satu tempat bermain ski favorit di Jepang.

  • Prefektur Nagano mulai bergeliat dengan wisata ramah muslim.

  • Nagano berupaya memenuhi kebutuhan muslim, seperti makanan halal dan peralatan ibadah.

MONCONG Shinkansen membelah perut Kota Tokyo menuju Prefektur Nagano, Jumat, 17 Februari lalu. Hari itu, temperatur udara masih melorot hingga 2 derajat Celsius. Di dalam kereta peluru putih pucat ini, para penumpang memakai jaket tebal. Pemanas di dalam sepur berkapasitas seribu orang itu agaknya kurang mampu memberikan kehangatan. Saya pun merapatkan syal wol dan terbenam dalam mantel.

Setelah Tokyo tertinggal di belakang, butiran putih mulai merintik di luar. Lanskap gedung tinggi bersulih dengan rumah kubus dan ladang. Hari mengancik siang dan matahari bertengger di atas kepala. Tapi tumpukan salju di atas atap dan halaman tetap tebal. “Kita mendekati Nagano,” kata Takagi Hitoshi, penerjemah Jepang-Inggris yang mendampingi rombongan 20 jurnalis asal Indonesia.

Nun jauh di balik permukiman, Pegunungan Alpen Utara setinggi lebih dari 2.000 meter yang berselubung salju makin jelas terpandang. Deretan ancala itu mengitari Nagano, provinsi berlencir 800 meter di atas permukaan laut, termasuk tertinggi seantero Jepang. Nagano juga kesohor sebagai pusat ski. “Kalau Jepang adalah rumah, Nagano atapnya,” ucap Hitoshi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana Distrik Goryu saat musim dingin, pada Februari 2023. Tempo/Francisca Christy Rosana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah menempuh jarak sekitar 250 kilometer ke utara Tokyo selama 90 menit, laju Shinkansen melambat. Ia berhenti di stasiun kecil di tengah kota. Pada dua sisi peron tempat kereta bertambat, terpacak papan bertulisan “Stasiun Nagano” dalam huruf kanji. Dingin langsung menyergap ketika saya dan rombongan keluar dari gerbong.

Di Nagano, waktu berjalan lebih lambat. Meski dikepung udara dingin, langkah warganya lebih rileks ketimbang penduduk Tokyo yang bergerak serba cepat dan memburu waktu. Mereka pun santai berkendara. Mobil tak berkecepatan tinggi walau jalan sepi. Bising klakson tak terdengar sedikit pun.

Seorang laki-laki berambut putih dan berjaket tebal menunggu di luar stasiun. Bunsei Sato namanya. Kakek 64 tahun itu menjabat Sekretaris Jenderal Asosiasi Pariwisata Hakuba Goryu—diambil dari nama desa dan dusun tempat pusat ski Nagano. Wajahnya selalu tersenyum. “Konnichiwa,” katanya, mengucapkan selamat siang kepada kami.

Suasana Distrik Goryu pada saat musim dingin, Februari 2023. Tempo/Francisca Christy Rosana

Ia lantas meminta kami segera masuk ke bus sebelum turun hujan salju. Langit yang mendung menjadi penanda bahwa salju segera berguguran. Bus pun melewati deretan gedung tua yang mengelilingi stasiun. Tak ada yang menjulang tinggi. Disiram cahaya siang, Nagano terlihat seperti kota masa lalu yang masih hidup.

•••

BUS yang kami tumpangi melaju cepat menuju Distrik Omachi, 40 kilometer dari pusat Kota Nagano. Jalannya sempit dan berbukit-bukit dengan pohon pinus menjulang di kiri dan kanan. Di distrik yang bersebelahan dengan Hakuba, pusat ski di Prefektur Nagano, itu kami akan tinggal beberapa hari.

Dalam perjalanan menuju Omachi yang belum tuntas, salju turun berhamburan dan mempercepat datangnya sore. Magrib pun berangsur-angsur tiba seiring dengan kabut yang menebal. Bunsei Sato mengingatkan bahwa suhu udara dingin di kawasan Hakuba dan sekitarnya bisa mencapai minus 9 derajat Celsius. Membayangkannya saja sudah membikin bergidik.

Saat bus masuk ke area hotel yang akan kami tempati, Sato yang duduk di barisan terdepan mengambil kardus cokelat. Isinya tujuh sajadah hijau dan tiga mukena putih. Semua terlipat rapi. Ia kemudian mengulurkan kardus itu kepada Katriana, wartawan berkerudung yang duduk di barisan ketiga.

Sato menyatakan mereka yang beragama Islam bisa meminjam peralatan salat itu. “Kalian bisa memakainya selama berlibur di Nagano,” tutur Sato dalam bahasa Jepang yang diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Takagi Hitoshi.

Katriana tak menyangka Sato menyediakan perlengkapan ibadah untuk turis muslim. "Di tempat lain atau bahkan negara lain, jarang ada yang meminjami alat salat seperti ini,” ujarnya. Sato tersenyum melihat kardus yang disorongkannya kosong dalam waktu singkat. Sato meminta kami tak ragu bertanya kepada pengelola hotel untuk menunjukkan arah kiblat.

Turis Indonesia melihat pemandangan Distrik Goryu, Nagano, Jepang, dari menara ski. Tempo/Francisca Christy Rosana

Sato terlihat fasih melayani tamu yang muslim. Seorang kawan seperjalanan yang telah beberapa kali ke Jepang mengatakan pemandu wisata seperti Sato terbilang langka di daerah kecil di Jepang, seperti di Nagano. Sebab, banyak prefektur (setingkat provinsi) di pedalaman Jepang tak mengenal Islam.

Melihat tamunya terheran-heran, Sato tersenyum. Dia mengatakan Prefektur Nagano kini sedang merintis upaya menjadi daerah wisata yang ramah bagi semua turis, termasuk yang beragama Islam. Karena itu, pelaku wisata harus memikirkan kebutuhan para pelancong, terkhusus pelancong muslim yang wajib menunaikan salat lima waktu.

Sato adalah pelopor wisata ramah muslim di Nagano. Ia menganggap Nagano tak cukup hanya menjadi daerah yang terkenal dengan wisata ski. Sato yakin citra sebagai prefektur yang bersahabat terhadap pemeluk Islam akan meningkatkan jumlah pelancong. Apalagi Nagano tak seperti Tokyo dan kota besar lain di Jepang yang lebih ramai dikunjungi wisatawan.

Nama Nagano yang berada di wilayah terpencil mendunia lantaran menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 1998. Setahun sebelumnya, pemerintah Jepang memperpanjang jalur Shinkansen sampai ke prefektur itu. Waktu tempuh dari Tokyo ke Nagano yang semula hampir sepuluh jam pun jadi lebih singkat, cukup satu setengah jam. 

Pemerintah setempat juga membangun menara loncat bernama Ski Jumping Stadium di Desa Hakuba untuk kompetisi ski. Tingginya 60 meter dan masih berdiri hingga sekarang. Venue ini ramai dikunjungi baik oleh atlet maupun wisatawan. 

Pelatih ski dari Hakubavalley, Shawn Ho, mengatakan para turis juga kerap berkunjung ke berbagai resor ski di Nagano. Ho mengaku mulai melihat banyak turis asing dari Indonesia dan Malaysia, negara dengan penduduk mayoritas muslim, datang ke resor-resor di Nagano. “Mereka datang saat musim dingin karena ingin melihat salju di Nagano,” tuturnya.

Wisatawan bermain ski di Hakuba 47, Distrik Goryu, Nagano, Jepang, Februari 2023. Tempo/Francisca Christy Rosana

Salah satu resor yang kerap didatangi adalah Hakuba 47 yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Ski Jumping Stadium. Resor ini menyediakan aneka atraksi salju, seperti ski, snowshoeing atau berjalan di atas salju, hiking, naik kereta gantung, dan makan siang di tengah hutan yang tertutup salju. Resor ini dibuka selama musim dingin, yaitu November-Mei.

Benar kata Ho. Suatu sore, ketika berkunjung ke Hakuba 47, saya melihat rombongan orang berbahasa Indonesia duduk-duduk di dekat resor ski di ketinggian lebih dari 2.000 meter. Di antara mereka, tampak perempuan-perempuan berkerudung. Ada juga gerombolan yang berbahasa Melayu.

Turis-turis berjilbab juga terlihat saat rombongan saya bermain lempar bola salju di salah satu puncak Alpen Utara. Kami mencapai puncak itu dengan naik kereta gantung. Dari atas gunung, cerobong-cerobong asap rumah di Hakuba terlihat jelas. Sayangnya, saya hanya sebentar di sana karena suhu dingin bagai menekuk engsel tubuh.

Suasana resor ski di Hakuba 47, Distrik Goryu, Prefektur Nagano, Jepang, Februari 2023. Tempo/Francisca Christy Rosana

Setelah itu kami turun dan melakukan snowshoeing. Pengelola Resor Hakuba 47 meminjamkan sepatu khusus, papan ski, tongkat, serta jaket dan celana tebal. Kami berjalan sekitar 4 kilometer masuk-keluar hutan pinus. Saya melihat monyet hutan berlompatan di sepanjang jalan. Perjalanan berat selama dua jam membuat kami semua kelelahan dan kembali ke resor.

Di salah satu restoran di Hakuba 47, sejumlah turis berkerudung juga terlihat. Seperti pemandu kami Bunsei Sato, pelayan di restoran khusus kari Jepang itu fasih melayani turis muslim. Pelayan yang dibekali aplikasi penerjemah langsung memberi tahu konsumennya jika ada bahan makanan di dalam menu yang mengandung babi. "Buta (babi),” ujar seorang pelayan.

Di kafetaria itu, saya menikmati nasi kari dan ayam goreng. Meski lauknya sedikit hambar, nasinya pulen dan lebih gurih ketimbang di Tanah Air. Sayurannya terasa segar, khas restoran Jepang yang menggunakan bahan gres. Porsinya sangat besar dan membuat saya merasa luar biasa kenyang. Sebelum mulai mengecap, kami wajib mengucapkan selamat makan. “Itadakimasu”.


•••

KERAMAHAN Nagano terhadap turis muslim agaknya merata di semua daerah. Saat kami bertandang ke restoran ramen kecil di Distrik Omachi yang bersebelahan dengan Stasiun Shinano-Omachi, pelayan restoran melayani tamu muslim dengan cekatan. Sambil membuka buku menu, pelayan itu menunjuk sejumlah ramen yang tak halal. Ia berbicara dalam bahasa Inggris yang terbatas.

Begitu juga di penginapan kecil yang berjarak lima menit dari Stasiun Kamishiro. Miyuki Tanaka, pemilik penginapan, tahu bahwa lima tamunya berasal dari Indonesia. Ia lantas menyiapkan nampan berisi lima mangkuk udon di ruang tamu berukuran 3 x 4 meter yang beralas tatami, tikar khas Jepang. Dari dalam mangkuk, asap dari kuah bening beraroma kedelai mengepul.

Nori atau rumput laut yang diiris panjang-panjang mengapung di antara gumpalan mi berukuran besar. Sepotong tempura sayur yang masih panas diletakkan di atas udon, menambah ornamen pada mangkuk yang berwarna hitam. “Silakan disantap, ini halal,” kata Miyuki, ibu rumah tangga 60 tahun yang mengelola penginapan tradisional di Distrik Goryu, Hakuba, tersebut. 

Miyuki berbicara dalam bahasa Jepang seraya menggenggam telepon seluler. Aplikasi penerjemah bahasanya selalu menyala dan melafalkan kalimat yang ia ucapkan dalam bahasa Inggris. Setelah menyajikan udon, ia menuangkan teh hijau bergiliran ke cangkir bulat, lalu mengulurkannya satu per satu kepada kami. 

Bersama suaminya, Toshiaki Tanaka, Miyuki kerap menerima tamu dari Asia Tenggara beberapa tahun belakangan. Misalnya dari Vietnam dan Thailand. Siang itu, kami menjadi turis pertama asal Indonesia yang mereka layani. Tapi Miyuki-san sudah paham bahwa ia perlu menyiapkan penganan halal untuk tamu asal Indonesia.

Informasi itu didapatkan Miyuki dari asosiasi pariwisata setempat yang dipimpin Bunsei Sato. “Kami mencoba menghormati,” ucap Miyuki.

Tak jauh dari penginapan keluarga Tanaka, sebuah guest house milik asosiasi pariwisata Distrik Goryu tampak sedang dibangun. Rumah itu rencananya dikelola oleh orang muslim asal Malaysia. Di sana kelak ada fasilitas berupa ruangan kecil untuk bersalat dan tempat khusus wudu. Restorannya pun akan dilengkapi dengan menu halal.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pariwisata Hakuba Goryu, Bunsei Sato, menyebutkan penginapan itu akan melengkapi keramahan Nagano terhadap turis muslim. “Kalau sekarang kan memang belum ada fasilitas khusus seperti masjid atau restoran halal,” ujarnya. 

Nagano sedang beranjak menjadi tempat wisata yang ramah bagi muslim sejak prefektur itu rutin dikunjungi pelancong dari negara-negara berpenduduk mayoritas beragama Islam 13 tahun terakhir. Menurut Sato, perkembangan kunjungan turis muslim di Nagano ini bermula pada 2010.

Kala itu, rombongan turis asal Indonesia datang ke daerahnya untuk mempelajari budaya Jepang. Acara tukar-menukar informasi itu membuat Sato dan para pegiat wisata lain di Nagano mengetahui wisatawan pemeluk Islam kerap mengalami kesulitan memperoleh makanan di sana. Sejak itulah pariwisata Nagano berbenah.

Menurut Sato, warga Nagano memiliki filosofi membantu orang yang mengalami kesulitan, termasuk dalam hal mencari makanan. Filosofi itu hidup dalam sebuah folklor turun-temurun. Syahdan, seorang nenek datang ke suatu desa untuk meminta makan karena kelaparan. Dalam dongeng itu, mereka yang membantu nenek tersebut hidup sejahtera.

Warga Nagano yang mayoritas menganut Buddha dan Shinto tak mempersoalkan kehadiran orang Islam yang memiliki kepercayaan berbeda. Mereka pun tak takut melihat konsep wisata ramah muslim sebagai upaya islamisasi. “Kalau melihat dari sudut pandang agama, itu akan rawan konflik,” tutur Sato.

Filosofi saling bantu melalui makanan tak hanya ada di Nagano. Orang Jepang secara keseluruhan tampaknya meyakini nilai serupa. Juwita Trisna, warga Indonesia yang menikah dengan orang Jepang dan kini tinggal di Prefektur Kanagawa, mengatakan penduduk Negeri Sakura selalu memperhatikan makanan atau minuman yang akan disajikan kepada para tamu.

Juwita bercerita, ketika bertandang ke rumah orang Jepang, sahibulbait kerap bertanya kepadanya tentang pantangan makanan. “Orang Jepang selalu menanyakan para tamu boleh makan ini-itu atau tidak. Mereka ingin membuat orang lain merasa nyaman."

 
•••

SEBAGAI tempat wisata yang ingin mengembangkan pasar untuk pelancong muslim, Nagano masih jauh dari sempurna. Prefektur itu belum memiliki fasilitas ibadah seperti musala, juga restoran halal. Satu-satunya konsep wisata ramah muslim yang tampak kuat adalah inisiatif pelaku wisata melayani turis yang beragama Islam.

Pengembangan wisata ramah muslim di prefektur ini kalah cepat dibanding Tokyo atau Yokohama. Dua kota besar itu lebih dulu memiliki program khusus bagi pelancong beragama Islam. Di sana, turis bisa menemukan tempat ibadah ataupun restoran berlabel halal dengan mudah.

Pemerintah setempat, melalui situs pariwisata mereka, bahkan menyediakan program bertajuk “wisata halal”. Isinya paket-paket perjalanan wisata dengan fasilitas kembara ke restoran-restoran halal serta menginap di hotel dengan layanan khusus pelancong muslim. Adapun pengelola wisata di Prefektur Okayama mempunyai situs Muslim Friendly Tourism. 

Sejumlah pengunjung menaiki gondola menuju menara ski olimpiade di Ski Jumping Stadion, Nagano, Jepang. Tempo/Francisca Christy Rosana

Juwita Trisna, orang Indonesia yang tinggal di Jepang, melihat wisata ramah muslim di kota-kota besar bergerak maju bersamaan dengan berkembangnya komunitas muslim. Senyampang itu, warga Jepang kian toleran terhadap kehadiran mereka. “Aku merasa tidak dikucilkan atau dianggap mengganggu mereka,” katanya.

Walau fasilitas wisata ramah muslim di Nagano belum selengkap di Tokyo dan Yokohama, kunjungan turis beragama Islam ke prefektur itu tak surut. Dari 350 ribu wisatawan yang datang ke pusat ski di Nagano setiap tahun, asosiasi pariwisata setempat mencatat tak kurang dari 5 persen di antaranya berasal dari Indonesia dan Malaysia. 

Bunsei Sato juga belakangan makin lazim menjumpai turis berkerudung bercakap dalam bahasa Indonesia dan Melayu. Mereka kerap mondar-mandir di stasiun-stasiun kecil di Nagano. “Kami mengembangkannya pelan-pelan,” ucapnya. 

Di mata warga Nagano, juga Jepang secara keseluruhan, turis muslim begitu penting. Jumlah penganut Islam yang sangat besar di seluruh dunia menjadi potensi bagi sektor pariwisata. Sekretaris Tiga Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, Nakagome Kota, mengatakan pemerintah setempat telah melihat ceruk potensi tersebut.

Karena itu, sejak beberapa tahun lalu Jepang berfokus mengembangkan fasilitas wisata yang ramah terhadap pelancong muslim agar jumlah turis meningkat. “Pemerintah Jepang berupaya memperbaiki lingkungan pariwisata bagi muslim di Jepang,” ujarnya, Senin, 20 Maret lalu.

Menurut Kota, wisatawan asal Indonesia menjadi salah satu yang terbanyak dari sekitar 3,8 juta turis yang datang ke Jepang tiap tahun. Pada 2022, jumlah turis asal Indonesia tercatat sebanyak 120 ribu, naik 23 kali lipat ketimbang pada tahun sebelumnya. Naiknya jumlah wisatawan asing, juga turis muslim, tak lepas dari kebijakan pemerintah Jepang melonggarkan syarat visa untuk warga Asia Tenggara sejak 2013. Bahkan pemerintah Jepang membebaskan visa bagi pemilik paspor elektronik. “Kami yakin jumlah wisatawan muslim di seluruh dunia akan tumbuh. Apalagi mobilisasi wisatawan asing dari negara-negara berpenduduk Islam diperkirakan meningkat setelah pandemi Covid-19 berakhir,” tutur Kota.

Katriana, turis asal Indonesia yang serombongan dengan saya, terkesan oleh keramahan Nagano. Sebagai muslim, ia sempat khawatir terhadap perlakuan orang Nagano dan kehalalan makanannya. Namun, setelah beberapa hari di Jepang, ia berharap bisa kembali lagi. "Tapi bareng keluarga, biar lebih seru."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus