Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA pucuk surat melayang dari Palembang ke kantor Persija, dua pekan lalu. Ini bukanlah surat dari para Jakmania—demikian pemuja tim kesebelasan Persija disebut—yang ada di Kota Pempek. Ini surat dari polisi. Isinya, panggilan kepada tiga pemain Persija dan dua ofisialnya agar datang ke Kepolisian Resor Palembang. "Penyidik akan meminta keterangan mereka," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Palembang Komisaris Frido Situmorang. Panggilan dijadwalkan pada Sabtu pekan lalu
Yang dipanggil, sang kapten Persija, yang juga menyandang ban kapten tim nasional, Bambang Pamungkas. Lainnya, Ismed Sofyan, Leo Saputra, Udin, dan Sudirman. Dua nama terakhir ini adalah anggota staf tim "The Jak". Polisi memanggil mereka lantaran kasus perkelahian antara pemain Sriwijaya FC dan Persija di Hotel Swarna Dipa, Palembang, pada Ahad tiga pekan lalu. "Saksi melihat mereka ada dalam perkelahian itu," kata Frido. Menurut Frido, belum ada tersangka dalam kasus ini meski polisi sudah melakukan rekonstruksi peristiwa itu dua hari sebelum Natal kemarin. Rekonstruksi berdasarkan keterangan dua karyawan hotel, Duddy Parmawan dan Dedi Okta, serta saksi lain.
Sore sebelum perkelahian itu, Sriwijaya FC sebagai tuan rumah menjamu Persija di Stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring. Pertandingan dua tim papan atas Liga Super Indonesia ini berlangsung panas. Sejumlah pemain terlihat adu mulut di tengah pertandingan. Wasit sampai mengeluarkan tiga kartu merah bagi kedua tim. Satu untuk pemain Sriwijaya, Keith Kayamba Gumbs, lainnya untuk Andritani dan Fabiano Bertrand dari Persija. Laskar Wong Kito—julukan bagi Sriwijaya FC—dalam pertandingan itu menang 2-1.
Seusai pertandingan, tim Persija pulang ke Hotel Swarna Dipa. Di tempat yang sama, Hilton Moreira dan Thierry Gathuessi juga menginap bersama keluarga mereka. Sekitar pukul 21.30, Ismed turun ke lobi mencari Hilton, yang menjadi striker di Sriwijaya FC. Pemain belakang Persija itu berhasil menemui Hilton di dekat lobi hotel. Mereka sempat cekcok di tengah keheningan lobi hotel yang saat itu sedang sepi. "Tiba-tiba mereka sudah berkelahi," kata Augie Bunyamin, direktur hotel itu, kepada Tempo.
Melihat keributan ini, beberapa pemain Persija, termasuk Leo dan Bambang, yang saat itu baru keluar dari kamar, mendatangi mereka. Hilton berusaha kabur, tapi gagal. Warga negara Brasil ini terpaksa meladeni serangan beberapa pemain dan ofisial tim Persija. Thierry, yang kebetulan melintas, mencoba melerai perkelahian. Namun belakangan ia malah terlibat perkelahian. Saksi menyebutkan para pengeroyok memukuli dan melempar Hilton dan Thierry dengan benda di sekitar mereka, seperti kayu, kursi, dan tabung pemadam api.
Hilton dan Thierry berusaha kabur ke koridor lantai dua hotel. Di sana, mereka kembali dikejar pemain lainnya. Hilton dan Thierry lalu kabur lewat tangga darurat. Lolos dari pengejarnya, Thierry langsung meminta bantuan tukang ojek sepeda motor. "Saya Thierry, pemain Sriwijaya FC, lagi dikejar orang. Go, go, go!" kata Thierry kepada tukang ojek.
Malam itu juga, ditemani pengurus Sriwijaya FC, Hilton dan Thierry melaporkan pengeroyokan tersebut kepada polisi. Mereka membawa bukti-bukti pengeroyokan, termasuk visum dokter. Sebagian wajah Hilton masih lebam. Kepada polisi, Thierry menunjukkan tangannya yang robek karena pecahan kaca hotel. Akibat perkelahian itu, sejumlah kaca hotel memang pecah. "Fasilitas hotel banyak yang rusak," kata Augie.
Sekretaris PT Sriwijaya Optimis Mandiri (perusahaan yang membawahkan Sriwijaya FC) Faizal Mursyid tak mengetahui alasan di balik pengeroyokan ini. Ia menduga karena masalah pribadi yang tak tuntas saat mereka bertanding. "Mungkin ada dendam antara Hilton dan pengeroyoknya," kata Faizal. Menurut Qusoy, salah seorang ketua kelompok suporter Sriwijaya FC, Hilton selama ini memang dikenal sebagai pemain jail saat berada di lapangan. "Dia suka memprovokasi pemain lawan," katanya. Hilton sendiri tak mau membicarakan kasusnya itu. "Kita membicarakan yang lain saja," katanya kepada Tempo.
Manajemen kedua tim sebenarnya sudah berdamai keesokan harinya. Ketua Umum Persija Ferry Paulus menyebutkan kasus ini sudah diselesaikan secara baik-baik oleh kedua tim, dan tak akan berurusan lagi dengan polisi. Apalagi banyak pemain Persija dan Sriwijaya FC bermain bersama di tim nasional. Salah satunya, misalnya, kapten Sriwijaya, Firman Utina. "Kedua manajemen sudah sepakat kasus ini terjadi hanya karena salah paham antarpemain," kata Ferry kepada wartawan. Faizal juga mengangguk. "Kami sebenarnya sudah menganggap kasus ini selesai," katanya.
Namun polisi tetap melanjutkan kasus ini. Bepe—panggilan Bambang Pamungkas—beserta rekan-rekannya kini terancam duduk di kursi pesakitan. Menurut Frido, ini kasus pidana murni yang bisa menjerat pelakunya dengan pasal pengeroyokan dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara. Polisi, ujar Frido, terus mengumpulkan saksi dan barang bukti. "Kami tetap menuntaskan kasus ini meski mereka sudah berdamai," kata Frido.
Mustafa Silalahi (Jakarta), Parliza Hendrawan (Palembang)
Dilarang Intervensi di Lapangan Hijau
Adu jotos antarpemain sepak bola di lapangan bisa dibilang hal yang biasa terjadi. Pemicunya, menurut Wakil Ketua Komisi Disiplin Persatuan Sepak Bola Indonesia Catur Agus Saptono, emosi pemain yang sering tak terkendali. Laga sepak bola di Indonesia mencatat sejumlah adu jotos yang juga berujung sampai kantor polisi.
Pemain tim nasional asal Uruguay, Cristian Gonzales, misalnya, saat masih membela Persik Kediri, pada Oktober 2008, pernah meninju pemain PSMS Medan, Erwinsyah Hasibuan. Insiden ini terjadi di akhir pertandingan, yang kemudian dimenangi Persik. PSSI menghukum Gonzales satu tahun larangan bertanding di Liga Indonesia. Pengurus PSMS sempat mengadukan pemukulan ini kepada polisi. Penyidikan tak dilanjutkan dengan alasan kedua pihak telah berdamai. Gonzales pun bisa bertanding lagi karena mendapatkan pengampunan dari Ketua Umum PSSI ketika itu Nurdin Halid.
Pada Maret 2011, pemain yang mendapat julukan El Loco, yang artinya gila (merujuk pada sifatnya yang temperamental), itu terlibat pemukulan lagi. Gonzales, yang saat itu membela Persib Bandung, menghajar salah seorang ofisial timnya di jeda pertandingan melawan Persiwa Wamena. Kasus ini kemudian berhenti meski sudah dilaporkan kepada polisi. Keduanya rupanya sepakat tak akan melanjutkan masalah ini.
Kasus paling unik terjadi pada Februari 2009 saat Persis Solo menjamu lawannya, Gresik United. Di tengah pertandingan, Nova Zaenal dari Persis dan Bernard Momadao dari Gresik United baku hantam di lapangan. Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Inspektur Jenderal Alex Bambang Riatmojo, yang ikut menonton pertandingan itu, langsung memerintahkan anak buahnya menangkap kedua pemain tersebut. "Polisi memiliki otoritas di bidang hukum," kata Bambang kala itu. Kasus ini berlabuh hingga meja hijau. Hakim memutus bersalah Nova dan Bernard dengan hukuman tiga bulan penjara.
Catur menyebutkan proses hukuman seperti itu berlebihan. Ia menganalogikan perkelahian di tengah pertandingan sepak bola sama seperti pertandingan tinju. Polisi dan instansi lain, ujar Catur, tak boleh ikut campur dalam menghukum pemain. Apalagi peraturan induk sepak bola dunia, FIFA, menolak intervensi pihak luar dalam sepak bola. PSSI juga punya peraturan sendiri bagi pemainnya jika mereka melakukan kekerasan di lapangan. Adapun jika mereka melakukan tindak pidana di luar lapangan, itu urusan mereka. "PSSI tidak akan membela mereka, misalnya, nyopet di hotel," katanya. Namun faktanya lain. "Kasus Solo" menunjukkan intervensi itu.
Mustafa Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo