Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAAT memimpin rapat Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto tak pernah membuang waktu. Misalnya dalam rapat tentang kebijakan dana sawit yang membahas faktor konversi dalam penentuan harga indeks pasar (HIP) biodiesel. “Rapatnya singkat dan padat, sat-set, paling lama setengah jam,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Rino Afrino kepada Tempo, Jumat, 29 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam struktur BPDPKS, Komite Pengarah berwenang menyusun kebijakan dan mengawasi penghimpunan dana sawit. Diketuai Menteri Koordinator Perekonomian, komite ini berisi tujuh menteri lain. Mereka kerap mengundang pihak lain dalam rapat. Salah satunya Asosiasi Petani Kelapa Sawit yang kerap diundang mengikuti rapat sejak BPDPKS dibentuk pada 2015 di bawah Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rino Afrino mengklaim kerap menghadiri rapat Komite sejak 2020. Ia mengatakan salah satu pokok pembahasan rapat Komite Pengarah BPDPKS adalah HIP biodiesel. Tapi ia mengaku tiap mengikuti rapat, tema yang dibahas bersamanya bukan harga pasar biodiesel. “Kami berfokus pada isu petani,” ujarnya.
Belakangan, penentuan HIP ini menjadi masalah. Kejaksaan Agung mengendus pelanggaran yang berpotensi menimbulkan kerugian negara. Masalah ini muncul saat jaksa tengah menyidik kasus korupsi minyak goreng. Untuk mengklarifikasi peran Menteri Airlangga dalam Komite Pengarah BPDPKS, jaksa memanggilnya ke Gedung Bundar, kantor penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, pada 24 Juli lalu.
Dua bulan berselang, jaksa menaikkan status penanganan perkara ini ke tingkat penyidikan. Belasan saksi dipanggil dan sejumlah kantor para pihak yang masuk pusaran kasus turut digeledah. “Kami tinggal menunggu sidang perkara selanjutnya, lalu menetapkan tersangka,” ucap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana.
Baca: Peran Menteri Airlangga Hartarto dalam Korupsi Minyak Goreng
BPDPKS dibentuk lewat Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 di bawah supervisi Menteri Sofyan Djalil. Kala itu struktur organisasi badan ini sudah mencakup komite pengarah. Tak lama berselang, terbit Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 yang memberi kewenangan bagi Komite Pengarah untuk menunjuk pelaku usaha menjadi narasumber. Sofyan menyebut narasumber ini hanya berbicara bila diminta. “Mereka tidak punya hak suara,” tuturnya.
Pada masa itu Sofyan sudah melibatkan Master Parulian Tumanggor, mantan Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia, dan Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei untuk membahas subsidi biodiesel. Belakangan, Tumanggor dan Lin Che Wei menjadi terpidana kasus korupsi minyak goreng yang merugikan keuangan negara hingga Rp 6,47 triliun.
Presiden Joko Widodo melantik Airlangga Hartarto sebagai Menteri Koordinator Perekonomian pada 2019. Airlangga menunjuk lima pengusaha sawit sebagai narasumber di Komite Pengarah BPDPKS pada 2 Mei 2020. Mereka adalah Arif P. Rachmat, anak T.P. Rachmat, pendiri PT Triputra Agro Persada Tbk; Franky Oesman Widjaja, anak taipan Eka Tjipta Widjaja yang memimpin Sinar Mas Group; Martias Fangiono alias Pung Kian Hwa dari Surya Dumai Group; dan Martua Sitorus, pendiri Wilmar Group. Rino Afrino kemudian juga dilibatkan mewakili petani sawit.
Seseorang yang mengetahui detail penyelidikan dana sawit di Kejaksaan Agung mengatakan penyidik menyoroti peran Komite Pengarah dalam penyaluran dana sawit. Mereka menganggap struktur ini rancu secara hukum. BPDPKS merupakan lembaga pemerintah berbentuk badan layanan umum atau BLU. Tapi nomenklatur komite pengarah tidak dikenal dalam sederet regulasi yang mengatur BLU.
Contohnya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 yang hanya menyebutkan tentang dewan pengawas BLU. Sementara itu, peran komite pengarah di BPDPKS sangat berpengaruh karena mengambil kebijakan krusial yang seharusnya diurus dewan pengawas. Misalnya penentuan faktor konversi yang berpengaruh pada subsidi yang diterima produsen biodiesel. Besaran subsidi didapat dari selisih HIP biodiesel dengan HIP solar.
Padahal Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 menyatakan ongkos angkut dan faktor konversi ditentukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dalam praktiknya, faktor konversi yang diusulkan kementerian acap diinterupsi pengusaha dalam rapat Komite Pengarah BPDPKS. Pengusaha kerap mengusulkan faktor konversi yang lebih besar, yang membuat subsidi yang mereka terima juga lebih tinggi.
Anggota Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit, Mansuetus Darto, mengatakan penentuan HIP abu-abu. Ia mengklaim tak ada satu pun kajian independen yang menyimpulkan biaya produksi setiap liter biodiesel. “Selama ini penghitungannya sangat tertutup,” ujar Darto.
Selain menetapkan HIP biodiesel, Komite Pengarah BPDPKS ikut memutuskan pungutan ekspor, yaitu dana yang ditarik dari pengusaha sawit yang kemudian disalurkan untuk subsidi biodiesel. Pada Oktober 2022, misalnya, Airlangga memimpin rapat Komite Pengarah BPDPKS yang memutuskan pungutan ekspor US$ 0 per metrik ton. Masalahnya, pungutan ekspor kerap tak sebanding dengan subsidi yang diterima produsen.
Contohnya Wilmar Group. Data Serikat Petani Kelapa Sawit menyebutkan korporasi ini paling diuntungkan oleh adanya skema subsidi biodiesel dan pungutan ekspor. Sepanjang 2019-2021, Wilmar mengantongi subsidi biodiesel Rp 22,14 triliun. Adapun pungutan ekspornya hanya Rp 7,71 triliun. “Surplus yang diperoleh Wilmar Rp 14,42 triliun,” demikian bunyi kajian yang dirilis organisasi tersebut pada awal tahun ini.
Tempo menghubungi sejumlah pejabat Wilmar di Indonesia dan di kantor pusat mereka di Singapura. Mereka tak kunjung membalas permintaan konfirmasi hingga Sabtu, 30 September lalu.
Saat diperiksa jaksa pada Juli lalu, Airlangga menjawab dua perkara, yakni korupsi minyak goreng dan dana sawit BPDPKS. Salah satu fakta yang didalami penyidik adalah rapat Komite Pengarah BPDPKS pada 16 Maret 2022 bersama Franky Widjaja, Martua Sitorus, dan Arif P. Rachmat. Di ujung rapat, para bos perusahaan sawit itu berkomitmen menyalurkan minyak goreng sebagai syarat agar mereka tetap bisa mengekspor.
Belakangan, jaksa menemukan indikasi kerugian negara karena adanya penerbitan izin ekspor minyak sawit mentah atau CPO yang tak sesuai dengan aturan. Tiga petinggi korporasi sawit ikut dinyatakan bersalah. Selain Tumanggor, ada Pierre Togar Sitanggang dari Musim Mas Group dan Stanley Ma dari Pertama Hijau Group. Mereka juga sudah menjadi terpidana korupsi minyak goreng. Pada 15 Juni lalu, Kejaksaan Agung turut menetapkan tiga korporasi kelapa sawit sebagai tersangka korupsi minyak goreng, yaitu Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group.
Tempo mengirim pesan untuk meminta konfirmasi Airlangga Hartarto melalui Sekretaris Menteri Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso. Namun, hingga Sabtu, 30 September lalu, pesan itu tak berbalas. Airlangga membantah dugaan keterlibatannya dalam korupsi minyak goreng selepas diperiksa jaksa pada Juli lalu. “Ini kasus ekonomi,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Riky Ferdianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terkepung Dua Perkara"