Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYELIDIKAN Kejaksaan Agung tak kunjung membuka penyelewengan anggaran Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sejak penyelidikan dimulai pada awal Juni lalu, jaksa belum menetapkan satu pun tersangka dalam perkara ini. Padahal Kejaksaan Agung sudah memeriksa sejumlah saksi kunci pengelolaan dana sawit, termasuk Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Komite Pengarah BPDPKS itu diperiksa pada pertengahan Juni lalu. Jaksa juga sudah menyelidik mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Begitu pula eks anggota Tim Asistensi Menteri Airlangga, Lin Che Wei, yang kini menjadi terpidana kasus korupsi minyak goreng dengan kerugian negara Rp 6,47 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir September lalu, penyelidik memanggil dua staf Yayasan Warisan Nilai Luhur Indonesia (IHF) yang didirikan Sofyan Djalil sebagai saksi. Pemeriksaan dua staf Yayasan ini menunjukkan jaksa tengah mengincar aliran uang BPDPKS. Hasil penelusuran majalah ini menemukan komunikasi antara Lin Che Wei dan Sofyan Djalil dalam pemberian donasi kepada yayasan dari perusahaan kelapa sawit.
Embrio BPDPKS muncul saat Sofyan Djalil menjadi Menteri Koordinator Perekonomian 2014-2015. Dia pula yang mengajak Lin Che Wei membangun BPDPKS. Mulanya pembentukan BPDPKS bertujuan mengembangkan komoditas sawit dengan enam kegiatan mulia, di antaranya penelitian dan pengembangan, peremajaan sawit, peningkatan sumber daya manusia, serta kemitraan dengan sawit rakyat.
Nyatanya, alokasi terbesar dana sawit BPDPKS justru untuk subsidi biodiesel B30. Subsidi ini tak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, regulasi yang menjadi titik awal pembentukan BPDPKS. Selama 2015-2021, dana sawit terkumpul mencapai Rp 139,2 triliun. Sebanyak 80 persen untuk subsidi biodiesel. Para penikmatnya adalah segelintir perusahaan besar kelapa sawit. Jika dana tersebut dipakai mengembangkan perkebunan sawit, manfaat terbesar akan dirasakan banyak pihak, khususnya pekebun sawit rakyat.
Salah kelola dana sawit mulai terlihat saat pemerintah membentuk Komite Pengarah BPDPKS. Dipimpin Airlangga Hartarto, Komite Pengarah beranggotakan tujuh menteri. BPDPKS merupakan organisasi pemerintah berbentuk badan layanan umum (BLU). Tak ada satu pun aturan BLU yang mengatur pembentukan komite pengarah.
Di BPDPKS, komite ini menentukan kebijakan dan anggaran. Salah satu kebijakan Komite Pengarah BPDPKS yang menjadi obyek penyelidikan Kejaksaan Agung adalah pengucuran Rp 7 triliun untuk subsidi minyak goreng pada awal 2022. Penyaluran dana ini tak kunjung menstabilkan harga minyak goreng kala itu.
Baca liputannya:
- Yayasan Sofyan Djalil dalam Sengkarut Dana Sawit BPDPKS
- Peran Airlangga Hartarto dalam Penyaluran Dana Sawit BPDPKS
Pemerintah mendirikan BLU untuk menjalankan program yang langsung melayani masyarakat dengan anggaran berasal dari negara. Praktiknya, dana BLU kerap menjadi bancakan banyak pihak. Selain minim pengawasan, anggarannya bersifat nonbudgeter alias tidak dibahas secara khusus di Dewan Perwakilan Rakyat sehingga rentan penyelewengan.
Contoh nyata penyalahgunaan dana BLU adalah korupsi program pembangunan base transceiver station (BTS) 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Lewat BLU Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi, negara rugi Rp 8,03 triliun. Menilik fakta ini, ada baiknya pemerintah mengkaji ulang semua penganggaran yang ada di BLU.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Minim Pengawasan Dana Sawit"