Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Andri Darmawan selaku kuasa hukum guru honorer di Kabupaten Konawe Selatan, Supriyani, mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam proses penyidikan perkara yang menurutnya terdapat penyalahgunaan wewenang. Andri menyatakan penyidikan yang dilakukan tidak memenuhi standar objektivitas dan independensi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sejak awal, sudah terlihat adanya dugaan konflik kepentingan. Barang bukti seperti sapu sudah diambil sebelum ada laporan polisi. Ini jelas menunjukkan ketidakberesan dalam proses hukum yang sedang berlangsung," ujar Andri kepada Tempo saat dihubungi Rabu, 13 November 2024. Ia menuturkan, tindakan tersebut sangat merugikan Supriyani, yang sejak April lalu telah menghadapi tekanan luar biasa dan bahkan sempat ditahan oleh Kejaksaan Negeri Konawe Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andri juga mengungkapkan adanya dugaan penekanan terhadap saksi dan terdakwa selama proses pemeriksaan. "Penyidik melakukan penekanan terhadap Ibu Supriyani untuk memberikan pengakuan. Ini tentu bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum yang harus dijalankan oleh aparat penegak hukum," katanya.
Dia pun mengkritik bagaimana visum yang menjadi salah satu alat bukti dalam perkara ini tidak diserahkan kepada pihak berwenang. "Visum itu ternyata dibawa oleh orang tua korban ke puskesmas, bukan oleh penyidik. Ini menambah kecurigaan tentang objektivitas penyidik dalam menangani perkara ini."
Andri juga merujuk pada pernyataan ahli psikologi forensik yang telah dihadirkan oleh pihaknya dalam persidangan. Menurut ahli, luka yang ditemukan pada anak korban bukanlah akibat pukulan sapu, melainkan gesekan dengan benda kasar.
Hal ini, menurut Andri, makin memperlihatkan ketidakrelevanan bukti yang digunakan oleh jaksa dalam mendalilkan dakwaan kekerasan terhadap Supriyani. "Proses penyidikan yang kacau ini mencerminkan adanya potensi kriminalisasi terhadap Supriyani, yang telah mengalami kerugian fisik dan psikologis yang luar biasa," kata Andri.
Mengutip pernyataan ahli psikologi forensik Reza Indragiri di persidangan, Andri bertutur bahwa kualitas keterangan saksi anak tidak bisa diandalkan untuk pembuktian perkara ini. Sebab, pernyataan anak korban dan saksi anak, kedua saksi itu menyebut keterangan yang sama persis kata per kata dengan berita acara pemeriksaan di Polsek Baito.
Ayah korban merupakan salah satu anggota di Polsek Baito. "Sehingga Pak Reza menyatakan bahwa sepertinya ini bukan episodic memory atau atau pengalaman yang dialami sendiri oleh saksi, tapi semantic memory," katanya.
Artinya, kuasa hukum Supriyani itu berpendapat keterangan kedua anak itu sama persis disinyalir lantaran mendapatkan pengaruh dari pihak lain. Yang menurut Andri, mungkin merupakan informasi yang direproduksi oleh penyidik dan kemudian dituangkan dalam BAP.
“Awalnya anak itu mengatakan dia jatuh di sawah,” kata Andri mengutip pernyataan anak korban saat diinterogasi ibunya. Namun, setelah didesak dan dimarahi sampai tiga kali, anak korban mengubah keterangannya dan mengatakan bahwa ia dipukul oleh Supriyani. Hal ini menguatkan kecurigaan bahwa kesaksian anak dipengaruhi oleh tekanan dari pihak tertentu (suggestibility).
Supriyani merupakan seorang guru honorer yang dituding melakukan penganiayaan terhadap muridnya yang merupakan anak dari Aipda Wibowo Hasyim. Kepala SD Negeri 4 Baito, Sanaali, menyatakan tak ada saksi yang menyatakan melihat Supriyani menganiaya muridnya tersebut. Menurut dia, Supriyani hanya pernah menegur muridnya tersebut karena kurang disiplin.
Wibowo lantas menlaporkan Supriyani ke Polsek Baito hingga Supriyani ditangkap dan kini tengah menghadapi sidang. Bupati Konawe Selatan turun tangan dengan memediasi Supriyani dengan Wibowo hingga mencapai kesepakatan damai. Namun perempuan yang telah bertahun-tahun menjadi guru honorer tersebut mengeluarkan surat yang menyatakan dia mencabut kesepakatan damai tersebut pada 6 November 2024.
“Dengan ini menyatakan mencabut tanda tangan dan persetujuan saya dalam surat kesepakatan damai yang ditandatangani di Rujab (Rumah Jabatan) Bupati Konawe Selatan pada 5 November 2024, karena saya dalam kondisi tertekan dan terpaksa dan tidak mengetahui isi dan maksud dari surat kesepakatan tersebut,” tulis Supriyani.