Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Berkas Ismail Bolong Cs Dikembalikan ke Penyidik, Aktivis: Jangan Masalah Perizinan Tambang Saja

Polri didesak menelusuri tindak pidana pencucian uang dan suap yang dilakukan Ismail Bolong.

26 Desember 2022 | 10.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah memberikan tanggapan soal penanganan kasus tambang ilegal di Kalimantan Timur dengan tersangka Ismail Bolong Cs. Dia menilai polisi seharusnya juga menyelidiki masalah dugaan suap maupun tindak pidana pencucian uang atau TPPU.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aktivis yang juga merupakan inisiator Aksi Kamisan Kaltim ini mengungkapkan bahwa Polisi semestinya tidak berfokus pada perizinan tambang ilegal saja. Dalam menyelidiki suap dan gratifikasi, menurutnya, akan bisa membongkar adanya keterlibatan Polri dalam bisnis tambang ilegal ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kalau soal teknis penyelidikan, penerapan pasal pencucian uang memang bisa jadi pertimbangan. Tapi jauh lebih penting mengejar dugaan korupsinya, dalam hal ini dugaan suap dan gratifikasinya. Delik korupsi ini yang bisa membongkar keterlibatan aparat kepolisian terutama petinggi polri yang diduga menikmati hasil kejahatan bisnis tambang ilegal," kata Herdiansyah lewat pesan tertulis Senin 26 Desember 2022.

Sejak awal sudah curiga kasus ini akan dilokalisir

Herdiansyah sedari awal sudah mencurigai bahwa penanganan kasus ini janggal. Kecurigaan itu muncul setelah ada upaya Polri untuk melokalisir kasus Ismail Bolong hanya kepada kejahatan tambang ilegal saja. Sementara dugaan suap dan pencucian uangnya seolah diendapkan. 

"Padahal kalau merujuk video pengakuan Ismail Bolong dan surat hasil penyelidikan Divisi Propam tertanggal 7 april 2022 itu, mestinya nama-nama petinggi Polri yang disebutkan juga mesti diperiksa," ujarnya.

Disampaikan oleh Herdiansyah bahwa kejanggalan ini justru dapat menimbulkan rasa penasaran publik. Terlebih tidak adanya nama anggota Polri yang menjadi terseret dalam kasus ini.

"Ini kejanggalan yang membuat publik heran. Jangan sampai kasus ini hanya mentok di Ismail Bolong tanpa menyasar aparat kepolisian yang diduga kuat terlibat dalam bisnis haram ini. Jadi seharusnya tidak hanya menyeret Ismail Bolong sebagai pelaku di lapangan, tapi juga mesti menyasar mereka-mereka yang menikmati hasilnya," tuturnya.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyatakan telah mengembalikan berkas perkara Ismail Bolong cs ke polisi. Kejaksaan Agung menyatakan masih ada beberapa hal yang harus dilengkapi oleh penyidik. 

Selanjutnya, kontruksi perkara kasus Ismail Bolong versi polisi

Sebelumnya, Penyidik Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri telah resmi menetapkan Ismail Bolong dan dua orang lainnya sebagai tersangka pada kasus tambang ilegal di Kalimantan Timur. Dua tersangka itu adalah Budi alias BP, dan Rintho alias RP.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Polri Komisaris Besar Nurul Azizah mengatakan Ismail dalam kasus ini berperan sebagai pengatur kegiatan tambang ilegal di Kalimantan Timur. Selain itu, Ismail merupakan Komisaris dari PT Energindo Mitra Pratama (PT EMP).

Ismail diduga mengatur kegiatan penambangan ilegal di terminal khusus PT Makaramma Timur Energi (MTE) dan di lokasi penyimpanan batu bara hasil penambangan yang termasuk PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) PT Santan Batubara.

"IB (Ismail Bolong) berperan mengatur rangkaian kegiatan penambangan ilegal pada lingkungan PKP2B perusahaan lain," kata Nurul lewat pesan video yang dibagikan, Kamis 8 Desember 2022.

Untuk tersangka Budi alias BP, menurut Nurul, berperan sebagai penambang batu bara tanpa izin. Untuk Rinto alias RP bertugas sebagai direktur PT Energindo Mitra Pratama.

"BP berperan sebagai penambang batu bara tanpa izin atau ilegal. RP sebagai kuasa direktur PT EMP berperan mengatur operasional batu bara dari mulai kegiatan penambangan, pengangkutan dan penguatan dalam rangka dijual dengan atas nama PT EMP," kata Nurul. 

Nurul mengungkapkan bahwa mereka bertiga dikenakan Pasal 158 dan 161 UU Nomor 3 tahun 2020 tentang pertambangan Mineral dan Batu bara. "Dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar serta pasal 55 ayat 1 KUHP," ujarnya.

Selanjutnya, kasus Ismail Bolong bongkar praktek beking tambang ilegal oleh aparat

Dugaan adanya perlindungan dari aparat terhadap aktivitas tambang ilegal mencuat sejak awal November lalu. Saat itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil mengadakan diskusi bertajuk 'Persekongkolan Geng Tambang di Polisi dengan Oligarki Tambang.'

Dalam diskusi itulah pertama kalinya video pengakuan Ismail Bolong diputar. Akan tetapi pemutaran video itu sempat mengalami pembajakan dari pihak yang tak diketahui.

Dalam video yang kemudian viral di dunia maya itu, Ismail mengakui memberikan uang bernilai miliaran rupiah kepada sejumlah petinggi Polri. Diantaranya adalah Kabareskrim Komjen Agus Andrianto. 

Belakangan, Ismail Bolong membantah keterangan dalam video itu. Dia menyatakan video itu dibuat saat dirinya diperiksa oleh Dvisi Profesi dan Pengamanan  (Propam) Polri. Dia mengaku dipaksa membaca teks yang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh seorang perwira.

Dokumen LHP Divpropam sebut aliran dana ke perwira Polri

Tak lama setelah video itu viral, muncul dua dokumen laporan hasil penyelidikan yang dikeluarkan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Dua dokumen itu ditandatangani oleh mantan Kepala Biro Pengamanan Internal Polri, Brigjen Hendra Kurniawan, dan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Irjen Ferdy Sambo. Keduanya kini menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. 

Dalam laporan tersebut, Sambo cs menyebut telah menemukan bukti yang kuat terkait adanya pembiaran aktivitas tambang ilegal yang dilakukan oleh Ismail Bolong. Sambo juga memperinci aliran dana kepada sejumlah perwira tersebut. 

Hendra Kurniawan membantah adanya tekanan dalam pemeriksaan terhadap Ismail Bolong. Melalui pengacaranya, Henry Yosodiningrat, dia menyatakan video itu dibuat untuk menguatkan tudingan adanya keterlibatan sejumlah perwira dan anggota Polri lainnya. 

Kabareskrim Komjen Agus Andrianto pun membantah menerima aliran dana Ismail Bolong seperti tertuang dalam dokumen yang ditandatangani Sambo dan Hendra. Dia justru balik menuding Sambo dan Hendra menerima uang dari Ismail karena tak langsung menangkapnya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus