Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELUM lagi mendapat nomor dari Sekretariat Negara, undang-undang itu kini sudah mendapat perlawanan. Mereka yang melawan adalah para aktivis yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah (Karam Tanah). "Kami akan menggugatnya," kata Iwan Nurdin, Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria, kepada Tempo.
Menurut Iwan, bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Karam Tanah, ia akan menyiapkan diri melakukan uji materi (judicial review) Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum itu ke Mahkamah Konstitusi. Tidak hanya menggugat pasal per pasal, Koalisi akan menggugat keseluruhannya.
Koalisi, yang beranggotakan lusinan lembaga swadaya masyarakat, melihat undang-undang yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada 17 Desember lalu itu justru akan menimbulkan sejumlah masalah. Undang-undang itu tak bisa, misalnya, mengakhiri monopoli kepemilikan tanah atau mengakhiri konflik dalam pengadaan tanah.
Sebelum terbitnya undang-undang itu, urusan pembebasan lahan diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993; Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2006, yang kemudian direvisi oleh Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006; dan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Menurut Koalisi, pengadaan tanah untuk kepentingan umum memang harus diatur undang-undang. Sebab, untuk pembebasan lahan rakyat, yang kerap bersinggungan dengan hak asasi manusia, tak bisa diatur hanya dengan keputusan atau peraturan presiden.
Persoalannya, Undang-Undang Pengadaan Tanah, di mata Koalisi, tak prorakyat dan terkesan hanya membuat pemerintah mudah "mencabut" tanah rakyat. "Pemerintah inginnya serba cepat, murah, serta ada kepastian hukum," kata Iwan. Padahal dampaknya, ujar dia, pemilik tanah akan menjadi pihak yang paling rugi. Koalisi memasang target dalam uji materi undang-undang ini, yakni Mahkamah Konstitusi memerintahkan pembentukan undang-undang baru tentang pengadaan tanah untuk warga. "Kami ingin undang-undang penyanding," kata Iwan. "Bila tidak, kami minta undang-undang ini dibatalkan saja."
Segepok berkas itu dikirim dari Istana Kepresidenan ke gedung DPR, Senayan, pada 15 Desember 2010. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengirim surat dan Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan beserta naskah akademiknya.
Pada naskah akademik, yang tebalnya dua kali lipat draf undang-undang, pemerintah menjelaskan sejumlah alasan seputar keruwetan membebaskan lahan milik penduduk. Misalnya besar ganti rugi yang selalu jadi biang sengketa, penolakan rakyat atas pembangunan fasilitas umum, karut-marutnya administrasi pertanahan, hingga absennya kepastian waktu pembebasan lahan. Pendek kata, RUU versi pemerintah itu hadir demi memangkas masalah tersebut.
Namun pembuatan undang-undang ini ternyata tak mulus. Sejak DPR membentuk panitia khusus lintas komisi dan fraksi, penolakan atas rancangan versi pemerintah itu datang dari berbagai penjuru. Kelompok tani, korban penggusuran, sampai masyarakat adat bersuara lantang. Bersama para aktivis Karam Tanah, mereka menggelar sejumlah aksi, dari demonstrasi jalanan hingga lobi-lobi ke gedung parlemen.
Aksi para penentang didasari pada keyakinan yang sama. Jika RUU usulan pemerintah disahkan, konflik pertanahan justru akan makin marak. Penggusuran paksa terus terjadi. Di balik semua itu, mereka curiga, RUU usulan pemerintah diboncengi kepentingan pengusaha, khususnya pengusaha infrastruktur.
Anggota Panitia Khusus RUU Pengadaan Tanah, Abdul Malik Haramain, mengakui aroma kepentingan swasta dalam draf usulan pemerintah memang sangat menyengat. "Karena itu, kami sangat berhati-hati membahas RUU tersebut," kata anggota Komisi II, komisi yang membidangi masalah pertanahan, itu.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu merujuk pada pencantuman pasal-pasal berisi frasa "kepentingan swasta" dalam RUU usulan pemerintah. Pasal 4, misalnya, menyebutkan pengadaan tanah untuk pembangunan meliputi pengadaan tanah buat kepentingan umum dan kepentingan swasta. Urusan kepentingan usaha swasta juga diatur pada pasal 11 dan 12.
Bab V RUU versi pemerintah—dari pasal 54 sampai 58—juga secara khusus membahas pengadaan tanah untuk kepentingan usaha swasta. Pasal 58 ayat 2, misalnya, menyebutkan pemerintah mengatur luas penguasaan tanah untuk kepentingan usaha swasta di pulau-pulau terluar, pulau-pulau kecil, wilayah perbatasan, dan wilayah pesisir.
Sejak awal, menurut Haramain, "pasal-pasal swasta" itu dipertanyakan sebagian anggota Dewan. Mereka berpandangan, undang-undang pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak pas dipaketkan dengan pengadaan tanah buat kepentingan swasta. "Logikanya tidak nyambung. Swasta itu orientasinya mengejar keuntungan," ujar Haramain. Meski sempat terjadi perdebatan, dalam rapat paripurna, semua fraksi di DPR akhirnya sepakat: semua pasal yang mengatur kepentingan swasta dilengserkan dari RUU tersebut.
Kepada Tempo, Direktur Utama PT Jasa Marga Frans S. Sunito awalnya juga mengaku heran mengapa pasal-pasal soal kepentingan swasta itu sampai masuk draf versi pemerintah. "Itu tidak perlu," kata dia. Namun, menurut Frans, ketika membaca bunyi pasal-pasal usulan pemerintah, ia tak merasa khawatir lagi. Soalnya, pasal-pasal itu menyatakan pengadaan tanah untuk kepentingan swasta bergantung pada kesepakatan sukarela para pihak. "Kalau cuma begitu sih enggak bakal berpengaruh." Menurut Frans, dengan hilangnya "pasal-pasal swasta", undang-undang ini memang lebih baik.
Di luar urusan kepentingan swasta, hal kontroversial dalam RUU versi pemerintah menyangkut ruang untuk menyampaikan keberatan bagi pemilik tanah. Dalam rancangan pemerintah, pada pasal 42, pemilik tanah yang berkeberatan dengan ganti rugi hanya bisa menggugat ke pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri dirancang bersifat final dan mengikat. "Ruang pembelaan betul-betul dibatasi," ujar Iwan.
Setelah mendengar masukan dari berbagai kalangan, DPR akhirnya menciptakan "ruang" lebih lebar bagi pemilik tanah yang tak setuju jika tanahnya diambil pemerintah. Menurut Haramain, ada dua kesempatan bagi pemilik tanah yang ingin mengajukan keberatan. Pertama pada tahap penetapan lokasi rencana proyek kepentingan umum. Di sini pemilik tanah bisa menggugat penetapan gubernur soal lokasi proyek ke pengadilan tata usaha negara. Bila tidak puas atas putusan PTUN, pemilik tanah bisa mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.
Berikutnya pada tahap penetapan ganti rugi. Pemilik tanah yang berkeberatan dengan bentuk dan besar ganti rugi—yang ditawarkan Badan Pertanahan Nasional—bisa menggugat ke pengadilan negeri. Mereka pun masih berpeluang mengajukan permohonan kasasi ke MA bila tak puas atas putusan pengadilan negeri.
Awalnya pemerintah enggan menerima usul DPR soal mekanisme keberatan itu. Alasannya, kalau peluang beperkara di pengadilan dibuka sedemikian lebar, pembebasan lahan bisa berlarut-larut lagi. Jalan keluarnya, DPR dan pemerintah sepakat memberi batas waktu yang pasti bagi setiap tahap pengadaan tanah.
Setelah usulan pemerintah banyak dipermak, menurut Haramain, isi Undang-Undang Pengadaan Tanah mengalami banyak kemajuan. Kendati demikian, ia mengakui peluang penyimpangan masih menganga di banyak tahapan. Dari proses konsultasi publik, penentuan nilai ganti rugi, sampai proses di pengadilan. "Karena itu, pelaksanaannya harus terus diawasi," ujar Haramain.
Jajang Jamaludin, Retno Sulistyowati
Dua Tahun Langsung Jalan
Dalam undang-undang baru, pembebasan lahan untuk pembangunan fasilitas umum dirancang tidak berlarut-larut. Dengan memperhitungkan sengketa sampai ke pengadilan, waktu pembebasan lahan hanya memakan waktu paling lama dua tahun.
Perencanaan
Instansi yang memerlukan tanah membuat perencanaan berdasarkan studi kelayakan dan mengajukannya kepada pemerintah provinsi.
Konsultasi Publik ===> sekitar 7 bulan
Instansi Bersama Pemerintah Provinsi:
- Mengumumkan rencana pembangunan
- Mendata tanah dan pemiliknya (maksimal 30 hari kerja)
- Menggelar konsultasi publik untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan (60 hari).
- Bila ada kesepakatan, gubernur menetapkan lokasi (14 hari).
- Jika ada yang berkeberatan, konsultasi publik diulang (30 hari).
- Bila masih ada yang berkeberatan, gubernur membentuk tim pengkaji, apakah keberatan diterima atau ditolak (14 hari).
- Bila keberatan ditolak, gubernur menetapkan lokasi.
- Bila keberatan diterima, gubernur meminta instansi mencari tempat lain.
Sengketa Penetapan Lokasi ===> sekitar 6 bulan
- Pemilik tanah yang berkeberatan atas penetapan lokasi oleh gubernur bisa menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (maksimal 30 hari).
- PTUN harus memutus gugatan (30 hari).
- Pihak yang berkeberatan atas putusan PTUN bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (14 hari).
- MA menjatuhkan putusan final (30 hari)
Penentuan Ganti Rugi ===> sekitar 5 bulan
- Instansi mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah kepada Badan Pertanahan Nasional.
- BPN menginventarisasi dan mengidentifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (maksimal 30 hari).
- Hasil inventarisasi dan identifikasi diumumkan di kantor desa/kelurahan, kecamatan, dan tempat pengadaan tanah (14 hari).
- Pemilik tanah dapat mengajukan keberatan atas hasil inventarisasi kepada BPN (14 hari).
- BPN melakukan verifikasi dan perbaikan (14 hari).
- BPN menunjuk penilai (juru taksir) independen yang memiliki izin praktek dan Kementerian Keuangan untuk menentukan nilai ganti kerugian.
- BPN bermusyawarah dengan pemilik tanah untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi (30 hari).
Sengketa Ganti Rugi ===> sekitar 4 bulan
- Bila musyawarah gagal, pemilik tanah dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri (maksimal 14 hari).
- Pengadilan negeri memutus bentuk dan besarnya ganti rugi (30 hari).
- Pihak yang berkeberatan atas putusan pengadilan negeri dapat mengajukan permohonan kasasi ke MA (14 hari).
- MA wajib memutus perkara kasasi itu (30 hari).
- Bila pemilik tanah menolak putusan MA, ganti rugi dititipkan di pengadilan negeri. Pembangunan mulai jalan.
Sumber: UU Pengadaan Tanah dan wawancara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo